ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN YANG MENGALAMI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS ( PPOK) DENGAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS DI RUANG ANTURIUM RSD dr.SOEBANDI JEMBER WULAN WAHYUNING WISUDA 14.401.16.091

BAB I
PENDAHULUAN

 

1.1    Latar Belakang

Angka kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Indonesia menempati urutan kelima tertinggi di dunia dan setiap tahunnya angka kejadian PPOK mengalami peningkatan secara drastis (Nair & Peate, 2015, hal. 246). Peningkatan pasien PPOK disebabkan oleh meningkatnya presentasi jumlah perokok entah itu aktif ataupun pasif, apalagi di kalangan muda merokok merupakan sebuah trend (Dinkes Jember, 2017). PPOK bersifat progesif pada individu perokok, serta dapat menimbulkan dampak seperti sesak nafas dan batuk produktif yang berkepanjangan (Somantri, 2018, hal. 52). Batuk produktif disebabkan karena adanya inflamasi pada bronkus akibat polusi udara, sehingga hal ini dapat mengurangi aktivitas sillia di dalam bronkus dan menyebabkan hiperplasia sel gobet (Masriadi, 2016, hal 76). Akibatnya, bronkus menjadi tersumbat oleh mukus dan menghambat  jalan napas sehingga mengakibatkan Bersihan Jalan Nafas Tidak  Efektif .

Berdasarkan informasi yang telah didapatkan, diperoleh data mengenai angka kejadian PPOK tahun 2016 – 2018 yang tersaji dalam bentuk tabel berikut:

Tabel 1. 1 Angka Kejadian PPOK tahun 2016 – 2018

Tahun        Dunia             Indonesia     Jawa Timur       Jember       RSD dr.Soebandi

*                    **               **                     ***

2016     65 juta jiwa    4,8 juta jiwa    2750 jiwa        956 jiwa           432 jiwa

2017     74 juta jiwa    5,4 juta jiwa    3523 jiwa        1365 jiwa         587 jiwa

2018     86 juta jiwa    6,5 juta jiwa    4543 jiwa        1895 jiwa         756 jiwa

Sumber :

*World Health Organization (WHO) (2015)

**(Riskesdas,2016)

***(Dinkes Kabupaten Jember, 2016)

Dari tabel diatas diketahui bahwa penderita PPOK setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup drastis.

Selain merokok penyebab lain PPOK yaitu adanya inflamasi akibat  polusi udara dan riwayat ISPA juga dapat menjadi salah satu penyebab PPOK (IKAPI, 2010). Rokok tembakau menyebabkan PPOK sangat kompleks, karena setiap satu batang rokok mengandung ribuan bahan kimia tersendiri yang merangsang inflamasi dan kerusakan jaringan sehingga merusak pertahanan sistem pernapasan normal, merangsang inflamasi, dan meningkatkan jumlah neutrofil dan makrofag (Black, 2014, hal. 112). Inflamasi ini dapat mengurangi aktivitas sillia di dalam bronkus dan menyebabkan hiperplasia sel gobet. Proses patofisiologis ini menyebabkan peningkatan produksi mukus dan disfungsi sillia (Nair & Peate, 2015, hal. 246). Akibatnya, bronkus menjadi tersumbat oleh mukus dan menghambat  jalan napas sehingga mengakibatkan Bersihan Jalan Nafas Tidak  Efektif dan terjadilah batuk (Masriadi, 2016, hal 77).

Dalam  penatalaksanaan penderita PPOK, selain pemberian terapi secara medis perawat dapat memberikan terapi secara non medis seperti memberikan posisi yang nyaman untuk pasien misalkan semi fowler (setengah duduk), mengajarkan cara batuk efektif (Budiman, 2013, hal. 56), menganjurkan klien untuk minum air hangat, selain itu pemberian penyuluhan juga dapat dilakukan untuk memberikan informasi tentang bahaya rokok untuk diri sendiri dan orang lain serta dampak rokok untuk pernafasan (Masriadi, 2016, hal 76). Anjurkan juga pasien untuk berhenti merokok serta mengurangi aktivitas yang berlebih (Susilowati, 2012, hal. 23). sehingga dalam penatalaksanaan peran perawat selain memberikan asuhan keperawatan untuk pasien PPOK, juga harus memberikan informasi yang berfokus pada peningkatan pengetahuan pasien tentang pengobatan dan alat terapi untuk meningkatkan penatalaksanaan mandiri dan memelihara kapasitas fungsional seperti (Chang, Daly, & Elliott, 2010, hal. 202).

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan studi kasus tentang Asuhan Keperawatan Klien Yang Mengalami PPOK Dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas  yang berada di Ruang Anthurium RSD dr. Soebandi, Jember.

1.2    Batasan Masalah

Masalah pada studi ini dibatasi pada Asuhan Keperawatan Klien yang mengalami Penyakit Paru Obstruktif Kronis dengan Gangguan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSD dr.Soebandi, Jember.

1.3    Rumusan Masalah

Bagaimana Asuhan Keperawatan klien yang mengalami Penyakit Paru Obstruktif Kronis dengan Gangguan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSD dr. Soebandi, Jember?

1.4    Tujuan Penelitian

1.4.1        Tujuan Umum

Menerapkan Asuhan Keperawatan Klien yang mengalami Penyakit Paru Obstruktif Kronis dengan Gangguan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSD dr. Soebandi, Jember.

 

1.4.2        Tujuan Khusus

  1. Mahasiswa Mampu
  2. Melakukan pengkajian Asuhan Keperawatan Klien yang mengalami Penyait Paru Obstruktif Kronis dengan Gangguan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSD dr.Soebandi, Jember.
  3. Menetapkan Diagnosa Asuhan Keperawatan pada Klien yang mengalami Penyait Paru Obstruktif Kronis dengan Gangguan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas di RSD dr.Soebandi, Jember.
  4. Menyusun intervensi Asuhan Keperawatan pada Klien yang mengalami Penyait Paru Obstruktif Kronis dengan Gangguan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas di RSD dr.Soebandi, Jember.
  5. Melakukan Implementasi Asuhan Keperawatan pada Klien yang mengalami Penyait Paru Obstruktif Kronis dengan Gangguan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas di RSD dr.Soebandi, Jember.
  6. Melakukan Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Klien yang mengalami Penyait Paru Obstruktif Kronis dengan Gangguan Ketidakefektifan Bersihan Jalan di RSD dr.Soebandi, Jember.

1.5     Manfaat

1.5.1        Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu dan informasi tentang asuhan keperawatan pada klien yang mengalami Penyait Paru Obstruktif Kronis dengan Gangguan Ketidakefektifan Bersihan Jalan di RSD dr.Soebandi, Jember.

 

1.5.2        Manfaat Praktis

  1. Bagi responden

Mendapat penanganan asuhan keperawatan sesuai dengan standar operasional prosedur.

  1. Bagi institusi

Dapat digubakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan dimasa yang akan datang melalui pengaplikasian teori dalam praktik lapangan serta mengambil ilmu baru yang didapatkan dilahan praktek.

  1. Bagi peneliti

Mendapatkan pengalaman dalam mengamplikasikan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami penyakit paru obstruktif kronis dengan gangguan ketidakefektifan   pola napas di RSD dr.Soebandi, Jember.

  1. Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan dalam pengambilan standart asuhan keperawatan dengan kegawatdaruratan klien yang mengalami penyakit paru obstruktif kronis dengan gangguan ketidakefektifan pola napas di RSD dr.Soebandi, Jember.

 

 

 

 

 

 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

 

1.1  Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronis

1.1.1        Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan PPOK adalah : Bronkhitis kronis, emfisema paru-paru. Dan asma bronkhial. Sering juga penyakit ini disebut dengan “chronic limitation (CAL)’ dan ‘chronic obstructive lung diseases (COLD)’ (Brunner & Suddarth, 2018, hal. 1636).

PPOK adalah suatu penyakit yang menimbulkan obstruktif saluran nafas, termasuk ke dalamnya ialah asthma, bronchitis kroni, emfisema pulmonal atau bisa disebut juga PPOK adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan retensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan dikenal dengan istilah PPOK yaitu bronchitis kronis, empisema paru-paru dan asma (Manurung N. , 2016, hal. 9).

Jadi kesimpulannya PPOK adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan retensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan dikenal dengan istilah PPOK yaitu bronchitis kronis, empisema paru-paru dan asma.

1.1.2        Etiologi

Menurut (Padila, 2014, hal. 24) Faktor lingkungan dan gaya hidup merupakan salah satu faktor resiko penyebab PPOK yang sebagian besar dapat dicegah seperti merokok (aktif maupun pasif), faktor resiko lainnya termasuk keadaan sosial-ekonomi dan status pekerjaan yang rendah,kondisi lingkungan yang buruk karena dekat dengan lokasi pertambangan, dan terkena polusi udara serta mengonsumsi akohol yang berlebihan.

1.1.3        Tanda dan Gejala

Menurut (Jeffrey & Scott, 2012, hal. 130)

  1. Gejala awal PPOK termasuk batuk produktif yang berlangsung kronis; pasien dapat mengalami gejala ini selama beberapa tahun sebelum berkembangnya dispnea.
  2. Pemeriksaan fisik menunjukan hasil normal pada pasien yang berada tahap lebih ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi parah, pasien dapat mengalami membrane mulkosa, “barrel chest” karena pengembangan paru-paru yang berlebihan sehingg nafas menjadi
  3. Pasien PPOK akan mengalami dispnea (dengan aktivitas fisik atau pada saat aktivitas).
  4. Terdapat suara mengi saat ekspirasi.
  5. Hipoksia (takipnea, takikardi, sianosis).
  6. Hiperkapnia ditandai dengan ansietas, tremor, dan penurunan respirasi.
  7. Penurunan berat badan.

1.1.4        Klasifikasi

  1. Bronkhitis kronik

Inflamasi luas jalan nafas dengan penyempitan atau hambatan jalan nafas dan peningkatan produksi sputum mukoid, menyebabkan ketidakcocokan ventilasi perfusi  dan menyebabkan sianosis. Atau suatu kelainan pada bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus sendiri (Manurung, 2016, hal.12).

  1. Asma bronkhial

Kondisi kronik yang dikarakteristikkan  dengan inflamasi lapisan jalan nafas bronkial (Rosdahl & Kowalski, 2017, hal 1637).

  1. Emfisema

Gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (Seomantri, 2018, hal. 52).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang tersaji dalam bentuk tabel berikut:

Tabel 2. 1 Stadium Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Stadium Karakteristik
0: Berisiko

 

 

I: PPOK ringan

 

 

II: PPOK Sedang

 

 

 

 

 

 

 

 

III: PPOK berat

·         Gejala kronis (batuk,sputum)

·         Pajanan terhadap faktor risiko

·         Spirometri  normal

·         FEV1,/ FVC < 70%

·         FEV1,≥ 80% yang diprediksi

·         Dengan atau tanpa Gejala

IIA

·         FEV1/FVC < 70%

·         50% ≤ FEV1 < 80% yang diprediksi

·         Dengan atau tanpa gejala

 

IIB

·         FEV1/FVC < 70%

·         70% ≤ FEV1 < 50% yang diprediksi

·         Dengan atau tanpa gejala

·         FEV1/FVC < 70%

·         FEV1  < 30% yang diprediksi atau ada gagal napas atau gagal jantung kanan

Sumber ; (Morton & Dkk, 2013, hal. 738)           .

1.1.5          Patofisiologi

PPOK merupakan suatu penyakit yang menimbulkan obstruksi saluran nafas (Manurung, 2016, hal. 9) yang disebabkan oleh faktor resiko lingkungan, gaya hidup dan merokok menjadi penyebab timbulnya 80%-90% kasus PPOK, selain itu penyebab lain PPOK bisa juga berasal dari faktor lingkungan  yang buruk karena dekat lokasi pertambangan (polusi udara) dan faktor genetik (Black, 2014, hal. 112). Sehingga dapat mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi karena iritasi, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan inflamasi karena iritasi, kelenjar-kelenjar yang mensekresikan lendir dan sel-sel gobet meningkat jumlahnya, fungsi sillia menurut dan lebih banyak lendir yang dihasilkan, sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat, alveoli berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, klien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan, gejala awal batuk produktif  terus menerus, kelemahan fisik, produksi mukus meningkat dan disfungsi sillia (Nair & Peate, 2015, hal. 246). Akibatnya, bronkus menjadi tersumbat oleh mukus dan menghambat  jalan napas sehingga mengakibatkan Bersihan Jalan Nafas Tidak  Efektif (Masriadi, 2016, hal 77).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. 1 Pathway PPOK berdasarkan (Harrison, 2013, hal. 44)  dan (Somantri, 2017, hal 56).

 

 

1.1.6        Komplikasi

Berikut ini merpakan klasifikasi PPOK Menurut (Somantri, 2017, hal 50):

  1. Hipoksemia

Penurunan nilai PaO2 < 55 mmHg, dengan nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.

  1. Asidosis respiratory

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (Hiperkapnea). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.

  1. Infeksi respiratory

Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan rangsangan otot polos bronkhial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan menyebabkan peningkatan kerja nafas dan timbulnya dispnea.

  1. Gagal jantung

Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasikan terutama pada klien denga]n dispnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronkhitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.

  1. Kardiak disritmia

Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratori.

  1. Status asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronkhial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak berespons terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma.

1.1.7        Penatalaksanaan

Menurut (Jeffrey & Scott, 2012, hal. 129-130)

  1. Pemberian oksigen untuk membantu memenuhi kebutuhan oksigen pasien. Pemberian bronkodilator inhaler ( antikolinergik).
  2. Pemberian kortikosteroid.
  3. Pemberian antibiotik (mis.azithromycin, doksisiklin), diberikan terutama pada ekserbasi yang berat. Pemberian methylxanthine (mis.teofilin), tidak bermanfaat pada serangan akut.
  4. Pemberian bantuan ventilator mungkin diperlukan :
  5. Ventilasi mekanik yang non-invasif melalui CPAP (tekanan jalan napas positif yang terus menerus) atau BiPAP (tekanan jalan napas positif bilevel) dapat menadakan keperluan intubasi.
  6. Intubasi orotrakea dilakukan pada kasus gagal napas.

 

 

 

 

 

1.2  Konsep Kebutuhan Dasar Manusia

1.2.1        Definisi Oksigenasi

Menurut (Haswita & Sulistiyowati, 2017, hal. 15) Haswita & Sulistiyowati (2017), Oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling vital. Oksigen dibutuhkan oleh tubuh untuk menjaga kelangsungan metabolisme sel sehingga dapat mempertahankan hidup dan aktivitas barbagai sel, jaringan atau organ.

Menurut (Abdullah, 2014, hal. 24) Oksigenasi merupakan proses penambahan O2 ke dalam sistem (kimia atau fisika). Penambahan oksigen ke dalam tubuh dapat dilakukan secara alami dengan cara bernafas. Pernafasan atau respirasi merupakan proses pertukaran gas antara individu dan lingkungannya. Pada saat bernafas, tubuh menghirup udara untuk mendapatkan oksigen dari lingkungannya dan menghembuskan udara untuk mengeluarkan karbondioksida ke lingkungan.

Menurut (Saputra, 2013, hal. 13) Oksigen yang dihirup akan diangkut melalui pembuluh darah ke sel-sel tubuh. Di dalam sel-sel tubuh oksigen akan dibakar untuk mendapatkan energi. Salah satu hasil pembakaran tersebut adalah karbondioksida. Karbondioksida akan diangkut melalui pembuluh darah ke paru-paru untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh.

1.2.2        Proses Oksigenasi

Proses oksigenasi melibatkan sistem pernafasan dan kardiovaskuler. Prosesnya terdiri dari 3 tahapan yaitu:

  1. Menurut (Tamsuri, 2008, hal. 11), Ventilasi merupakan prosese pertukaran udara antara atmosfer dengan alveoli. Masuknya O2 atmosfer ke dalam alveoli dean keluarnya CO2 dari alveoli ke atmosfer yang terjadi saat respirasi (inspirasi-ekspirasi). Insipirasi adalah masuknya udara dari luar hingga ke dala paru (alveoli), sedangkan ekspirasi adalah keluarnya udara (dari aleveoli) hingga keluar tubuh melalui salura pernapasan.
  2. Menurut (Haswita & Sulistiyowati, 2017, hal. 15), Difusi merupakan proses pertukaran gas oksigen dengan karbon dioksida antara alveoli dengan darah pada membran kapiler alveolar paru.
  3. Menurut (Manurung, Suratun, & dkk, 2013, hal. 25), Transportasi gas merupakan perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan darah (aliran darah). Transport merupakan pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah. Oksigen ditransportasi dalam darah : dalam sel-sel darah merah, oksigen bergabung dengan hemoglobin untuk membentuk oksihemoglobin, yang berwarna merah terang. Dalam plasma: sebagian oksigen terlarut dalam plasma. Karbondioksida ditransportasi dalam darah, sebagai natrium bikarbonat dalam dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah dalam larutan bergabung dengan hemoglobin dan protein plasma.

1.2.3        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Oksigenasi

  1. Faktor fisiologis (Haswita & Sulistiyowati, 2017, hal. 15)

Setiap kondisi yang mempengaruhi kardiopulmonal secara langsung akan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Proses fisiologi selain yang mempengaruhi proses oksigenasi pada idien termasuk perubahan yang mempengaruhi kapasitas darah ungtuk membawa oksigen, selain anemia, peningkatan kebutuhan   metabolisme, seperti kehamilan dan infeksi.

  1. Faktor perkembangan (Haswita & Sulistiyowati, 2017, hal. 16)

Tahap perkembangan klien dan proses penuaan yang normal mempengaruhi oksigenasi jaringan. Saat lahir terjadi perubahan respirasi yang besar yaitu paru-paru yang sebelumnya berisi cairan menjadi berisi udara. Bayi memiliki dada yang kecil dan jalan napas yang pendek. Bentuk dada bula pada waktu bayi dan masa kanak-kanak, diameter dari depan ke belakang berkurang dengan diameter transversal. Pada orang dewasa thorak diasumsikan berbentuk oval. Pada lanjut usia  juga terjadi perubahan pada bentuk thorak dan pola nafas.

  1. Bayi premature : dapat menderita penyakit hialin yang disebabkan karena kurangnya pembentukan surfaktan.
  2. Bayi dan toodler : adanya risiko infeksi saluran pernapasan akut.
  3. Anak usia sekolah dan remaja : risiko saluran pernafasan dan merokok.
  4. Dewasa muda dan pertengahan : diet yang tidak seahat, kurang aktivitas, stress yang mengakibatkan penyakit jantung dan paru-paru.
  5. Dewasa tua : adanya proses penuaan yang mengakibatkan kemungkinan arteriosklerosis, elastisitas menurun, ekspansi paru menurun.

 

 

  1. Faktor perilaku(Haswita & Sulistiyowati, 2017, hal. 16)

Perilaku atau gaya hidup baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kemampuan tubuh dalam memenuhi kebutuhan oksigen. Seperti pola makan yang tidak baik dan tidak teratur sehingga menyebabkan obesitas atau malnutris, kebiasaan berolahraga, ketergantungan zat adiktif, emosi, dan kebiasaan merokok.

Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi pernapasan meliputi :

  1. Nutrisi : misalnya pada obesitas mengakibatkan penurunan ekspansi paru, gizi yang buruk menjadi anemia sehingga daya ikat oksigen berkurang, diet yang terlalu tinggi lemak menimbulkan
  2. Exercise (olahraga berlebih): exercise akan meningkatkan kebutuhan oksigen.
  3. Merokok : nikotin dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer dan coroner.
  4. Substance abuse (alkohol dan obat-obatan) : menyebabkan intake nutrisi menurun mengakibatkan penurunan hemoglobin, alkohol menyebabkan depesi pusat pernafasan.
  5. Faktor lingkungan (Tamsuri, 2008, hal. 28)

Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi fungsi pernafasan antara lain tempat kerja (polusi udara), Suhu lingkungan, Ketinggian tempat dari permukaan laut.

 

 

  1. Faktor psikologi (Saputra, 2013, hal. 25)

Stress adalah kondisi dimana seseorang mengalami ketidakenakan oleh karena harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang tidak dikehendaki (stressor). Stress akut biasanya terjadi oleh karena pengaruh stressor yang sangat berat, datang tiba-tiba, tidak terduga, tidak dapat mengelak, serta menimbulkan kebingungan untuk mengambil tindakan. Stress akut tidak hanya berdampak pada psikologisnya saja tetapi juga pada biologisnya, yaitu mempengaruhi fisiologis tubuh, khususnya organ tubuh bagian dalam yang tidak dipengaruhi oleh kehendak kita. Jadi, stress tersebut berpengaruh terhadap organ yang disarafi oleh saraf otonom.

Hipotalamus membentuk rantai fungsional dengan kelenjar pituitari (hipofise) yang ada di otak bagian bawah. Bila terjadi stress, khususnya stress yang akut, dengan cepat rantai tersebut akan bereaksi dengan tujuan untuk mempertahankan diri dan mengadaptasi dengan cara dikeluarkannya adrenalin dari kelenjar adrenalin tersebut. Nah, adrenalin inilah yang akan mempengaruhi alat dalam tubuh yang tidak dipengaruhi oleh  kehendak kita. Terjadinya kegagalan dalam proses suplai oksigen ke organ-organ tersebut karena organ-organ tubuh dalam bekerja selalu membutuhkan oksigen secara teratur dalam jumlah yang cukup, dan oksigen tersebut dibawa oleh darah yang mengalir ke organ-organ tersebut.

 

 

  1. Kerja saraf autonom(Tamsuri, 2008, hal. 15)

Rangsangan saraf autonom dapat mempengaruhi kemampuan saluran pernafasan untuk dilatasi atau konstriksi. Ketika terjadi rangsangan oleh saraf simpatetik, ujung saraf dapat mengeluarkan neurotransmitter yang berpengaruh terhadap bronkodilatasi.

  1. Hormon dan medikasi (Tamsuri, 2008, hal. 16)

Semua hormon dari derivat catecholamine dapat memperlebar saluran pernafasan. Beberapa jenis obat-obatan dapat memperlebar saluran pernapasan, misalnya sulfas atropin dan ekstrak belladona.

  1. Kondisi kesehatan (Saputra, 2013, hal. 25)

Kondisi sakit tertentu dapat menghambat proses oksigenasi dalam tubuh. Contohnya adalah penyakit yang menyerang saluran pernafasan dan kardiovaskuler serta penyakit kronis.

  1. Obat-obatan (Tamsuri, 2008, hal. 28)

Narkotik seperti morfin dan meperedin hidroklorida (demarol) menurunkan frekuensi  dan kedalaman pernapasan karena mendepresi pusat pernapasan pada medula.

1.2.4        Tipe Penyakit Kekurangan Oksigen Dalam Tubuh

  1. Hipoksia (Haswita & Sulistiyowati, 2017, hal. 22)

Kondisi ketikakebutuhan oksigen di dalam tubuh tidak terpenuhi karena kadar oksigen di lingkungan tidak mencukupi atau penggunaan oksigen di tingkat sel meningkat. Gejala hipoksia antara lain terdapat warna kebiruan pada kulit (sianosis), kelelahan, kecemasan, pusing, kelemahan, penurunan tingkat kesadaran dan konsentrasi, peningkatan tanda-tanda ital, serta dispnea (kesulitan bernafas).

  1. Obstruksi jalan napas(Tamsuri, 2008, hal. 16)

Kondisi ketika pernapasan berjalan tidak normal karena penyumbatan saluran pernapasan. Tanda-tanda obstruksi jalan napas antara lain batuk tidak efektif, tidak dapat mengeluarkan sekresi di jalan napas, jumlah, irama, dan kedalaman pernapasan tidak normal, serta suara napas menunjukkan adanya sumbatan.

  1. Perubahan pola napas(Manurung, Suratun, & dkk, 2013, hal. 26)
  2. Takipnea

Frekuensi pernapasan yang cepat (lebih  dari 20 kali  permenit). Takipnea terjadi karena paru dalam keadaan atelektasis atau terjadi emboli. Kondisi ini biasanya dapat terlihat pada kondisi demam, asidosis metabolik, nyeri dan hiperkapnia atau hipoksemia.

  1. Bradipnea

Frekuensi pernapasan yang lambat ( kurang dari 10 kali per menit). Bradipnea dapat terlihat pada orang yang baru menggunakan obat-obatan seperti narkotika atau sedatif, dan alkalosis metabolik, atau peningkatan TIK.

  1. Apnea : Henti nafas
  2. Hiperventilasi

Peningkatan jumlah udara yang masuk ke dalam paru-paru karena kecepatan ventilasi melebihi kebutuhan metabolik untuk pembuangan karbondioksida. Kondisi ini ditandai antara lain dengan peningkatan denyut nadi, napas pendek, denyut nyeri, dan penurunan konsentrasi CO2.

  1. Hipoventilasi

Penurunan jumlah udara yang masuk ke dalam paru-paru  karena ventilasi alveolar tidak adekuat untuk mencukupi kebutuhan metabolik penyaluran O2 dan pembuangan CO2. Hipoventilasi ditandai dengan nyeri kepala, penurunan kesadaran, disorientasi, dan ketidak seimbangan elektrolit.

  1. Pernapasan kussmaul

Pola pernapasan yang cepat dan dangkal yang umumnya ditemukan pada penderita asidosis metabolik. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk hiperventilasi.

  1. Dispnea

Ketidakmampuan atau ketidaknyamanan saat bernapas. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan kadar gas dalam darah atau jaringan, bekerja berlebihan, dan pengaruh psikologis.

  1. Ortopnea

Merupakan ketidakmampuan untuk bernapas, kecuali dalam posisi duduk atau berdiri. Kondisi ini sering ditemukan pada penderita kongestif paru.

  1. Stridor

Pernapasan bising yang terjadi akibat penyempitan saluran pernapasan. Kondisi ini dapat ditemukan pada kasus spasme atau obstruksi laring.

  1. Cheyne stoke

Kelainan fungsi pernapasan yang ditandai dengan siklus pernapasan dengan amplitude mula-mula naik, turun berhenti kemudian mulai siklus baru lagi.

  1. Gagal napas(Abdullah, 2014, hal. 14)

Ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial normal O2 dan CO2 di dalam darah, disebabkan oleh gangguan pertukaran O2 dan CO2 sehingga sistem pernapasan tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh.

  1. Gagal jantung (Haswita & Sulistiyowati, 2017, hal. 21)

Ketidakmampuan jantung untuk memompa darah darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien oksigen.

  1. Kelumpuhan alat pernapasan(Tamsuri, 2008, hal. 25)

Suatau keadaan dimana terjadi kelumpuhan pada alat pernapasan untuk memenuhi kebutuhan oksigen karena kehilangan kemampuan ventilasi secara adekuat sehingga terjadi kegagalan pertukaran gas O2 dan CO2.

1.2.5        Penatalaksanaan Oksigenasi

  1. Fisioterapi dada (Wagiran, 2015, hal. 35)

Fisioterapi dada merupakan sekumpulan tindakan yang disusun untuk meninggikan efisiensi pernapasan, dan mengeliminasi sekret yang berasal dari sistem pernapasan. Fisioterapi dada terdiri atas turning, perkusi dada, latihan napas dalam, batuk efektif dan drainase postural.

  1. Turning

Turning berfungsi meningkatkan kemampuan pengembangan paru. Prosedur ini dapat dilakukan sendiri oleh pasien atau dibantu oleh pemberi pelayanan kesehatan. Turning dilakukan dengan cara meninggikan bagian atas tempat tidur misalnya dengan bantal/ dengan posisi semi fowler.

  1. Latihan napas dalam

Prosedur kerja:

  • Cuci tangan.
  • Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien.
  • Anjuran pasien untuk menarik napas dengan kekuatan penuh dari perut dan dialirkan ke paru-paru.
  • Anjurkan pasien untuk menahan napas selama 1-1,5 detik dan menghembuskan nafas melalui mulut dengan bentuk mulut mecucu atau seperti orang meniup.
  • Catat respon yang terjadi.
  • Cuci tangan.
  1. Latihan batuk efektif

Prosedur kerja:

  • Cuci tangan.
  • Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien.
  • Atur posisi pasien sehingga pasien duduk di tepi tempat duduk membungkuk ke depan.
  • Anjurkan pasien untuk bernapas yang dalam dan pelan dengan menggunakan pernapasan diafragma.
  • Anjurkan pasien untuk menahan napas selama 3-5 detik, kemudian mengeluarkan napas secara perlahan dan batukkan dengan kekuatan penuh dari dada.
  • Anjurkan pasien untuk mengambil napas kedua kali, tahan, keluarkan secara perlahan, dan batukkan dengan kekuatan penuh dari dada.
  • Anjurkan pasien untuk batuk pendek yang kuat sebaiknya dua kali dengan mulut terbuka.
  • Anjurkan pasien untuk menarik napas dengan ringan.
  • Anjurkan pasien untuk istirahat.
  • Catat respon yang terjadi.
  • Cuci tangan.
  1. Terapi oksigen
  • Terapi oksigen dengan kanul nasal

Alatnya sederhana dapat memberikan  oksigen dengan aliran 1-6 lt/menit dan konsentrasi oksigen sebesar 24%-44%.

Alat dan bahan

  1. tabung oksigen lengkap dengan flowmeter dan humidifier.
  2. Kanul nasal dan selang oksigen.
  3. Plaster jika perlu.

Prosedur kerja

  1. Cuci tangan.
  2. Jelaskaan prosedur yang akan dilakukan pada pasien.
  3. Atur aliran oksigen sesuai dengan kecepatan yang dibutuhkan.
  4. Atur posisi pasien pada posisi semi fowler atau sesuai kondisi pasien.
  5. Sambungkan kanul pada set oksigen dan sesuaikan flowmeter.
  6. Cek apakah oksigen sudah keluar melalui kanul nasa, apakah timbul gelembung pada humidifier, atau apakah selang oksigen terlipat.
  7. Letakkan cabang kanul pada lubang hidung. Atur selang dengan melingkarkannya di kepala atau menyelipkannya pada daun telinga.
  8. Anjurkan pasien untuk bernapas melalui hidung dengan mulut tertutup.
  9. Catat pemberian dan lakukak observasi setiap 6-8 jam.
  10. Cuci tangan.
  • Terapi oksigen dengan simple face masker

Aliran oksigen melalui alat ini sekitar 5-8 lt/menit dengan konsentrasi 40-60%.

  • Terapi oksigen dengan partial rebreathing mask

Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi daripada sungkup muka sederhana yaitu 60-80% dengan aliran oksigen 8-12 lt/menit.

  • Terapi oksigen dengan non rebreathing mask

Memberikan konsentrasi oksigen sampai 99% dengan aliran yang sama pada kantong rebreathing.

Alat dan bahan

  1. tabung oksigen lengkap dengan flowmeter dan humidifier.
  2. Masker yang akan digunakan.

Prosedur kerja :

  1. Cuci tangan.
  2. Jelaskaan prosedur yang akan dilakukan pada pasien.
  3. Atur aliran oksigen sesuai dengan kecepatan yang dibutuhkan.
  4. Atur posisi pasien pada posisi semi fowler atau sesuai kondisi pasien.
  5. Sambungkan masker dengan set oksigen.
  6. Pastikan oksigen keluar dari masker oksigen.
  7. Tempatkan masker pada wajah, di bagian mulut dan hidung pasien gunakan tali elastis agar masker tidak lepas.
  8. Catat pemberian dan lakukak observasi setiap 6-8 jam.
  9. Cuci tangan.

1.2.6        Rumus Pemberian Oksigen

Rumus pemberian oksigen menurut (Haswita & Sulistiyowati, 2017, hal. 23)

 

 

 

Keterangan :

MV = Minute Ventilation, udara yang masuk ke sistem pernafasan setiap menit

VT = Volume Tidal, 6-8 ml/kgBB

RR = Respiration Rate

Misalnya : Diketahui BB 50kg, RR 30x/menit

= (50kg x (6-8 ml)) x 30

= 9000 -12000 ml/menit    = 9-12 L/menit

Maka oksigen dapat diberikan pada pasien sebanyak 9-12 L/menit

1.2.7        Definisi Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas

              Menurut (Tamsuri, 2008, hal. 51) definisi ketidakefektifan bersihan jalan nafas  adalah Suatu suatu keadaan ketika individu mengalami suatu ancaman nyata atau potensial pada status pernapasan karena ketidakmampuannya untuk batuk secara efektif. Diagnosis ini ditegakkan jika terdapat tanda mayor berupa ketidakmampuan untuk batuk, atau ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret dari jalan nafas. dan ketidakmampuan untuk batuk, atau ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret dari jalan nafas. Sedangkan tanda minor yang mungkin ditemukan untuk menegakkan diagnosis ini adalah bunyi napas abnormal, stridor, dan perubahan frekuensi, irama, dan kedalaman nafas.

1.2.8        Penyebab Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas

              (Tamsuri, 2008, hal. 51) mengatakan penyebab ketidakefektifan bersihan jalan nafas biasanya disebabkan oleh peningkatan jumlah sekret atau penumpukan sekret di dalam rongga pernafasan.

1.3  Konsep Asuhan Keperawatan

1.3.1        Pengkajian

  1. Identitas

PPOK biasanya menyerang laki-laki usia dewasa menengah dan lansia (40 tahun – 65 tahun) (Chang & Dkk, 2013, hal. 199).

  1. Status Kesahatan Saat Ini
    1. Keluhan Utama
  • Saat MRS : Pasien mengalami sesak nafas saat beraktivitas, batuk produktif, produksi sputum yang banyak, dan terdapat suara mengi saat ekspirasi (Jeffrey & Scott, 2012, hal. 129-130).
  • Saat Pengkajian : Keluhan yang paling utama dirasakan oleh klien adalah sesak nafas yang ditandai dengan napas pendek sedang yang berkembang menjadi napas pendek akut (Padila, 2014, hal.55).
    1. Riwayat Penyakit Sekarang (PQRST)
  • P (provokatif/paliatif) : Sesak napas
  • Q (qualitas/quantitas) : Seperti tercekik
  • R (region/radiasi) : Dirasakan diseluruh lapang pandang dada
  • S (skala) : Dirasakan terus menerus
  • T (time) : Bertambah saat melakukan aktivitas ringan maupun berat

Klien biasanya mengeluh sesak napas, sesak dirasakan seperti tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi dan susah dalam mencari posisi yang nyaman dalam melakukan pernapasan, sesak dirasakan diseluruh lapang pandang dada,  sesak dirasakan terus menerus dan bertambah saat melakukan aktivitas ringan maupun berat (Black, 2014, hal 46).

  1. Riwayat Kesehatan Terdahulu
    1. Riwayat penyakit sebelumnya
  • Kecelakaan (jenis & waktu) : Tidak terdapat hubungan antara PPOK dengan riwayat kecelakaan (Padila, 2014, hal.55).
  • Operasi (jenis & waktu) : Tidak ada hubungannya antara PPOK dengan riwayat operasi (Chang & dkk, 2013, hal. 199).
  • Riwayat penyakit :
  1. Kronis : Tidak ada riwayat penyakit kronis
  2. Akut : Pasien biasanya pernah menderita ISPA (Harrison, 2013, hal. 44)
  • Terakhir MRS : Biasanya didapatan data bahwa pasien PPOK berulang (Black, 2014, hal.48).
  • Penggunaan KB : Tidak ada hubungannya dengan PPOK
    1. Riwayat penyakit keluarga

Tanda dan gejalan PPOK seringkali di dapatkan melalui penyakit turunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota keluarga (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 24-25).

  1. Alergi (obat, makanan, plester, dll) : Data alergi obat pada pasien sangat perlu diletahui supaya tidak menimbulkan dampak yang negatif bagi pasien dan tidak memperburuk kondisi pasien (Black, 2014, hal.48).
  2. Kebiasaan

Biasanya pasien PPOK merupakan seorang perokok, selain itu lingkungan juga berpengaruh seperti tempat tinggal berada di daerah kumuh dan pertambangan/pabrik (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 24-25).

  1. Genogram : Adanya penyakit genetic dan mengetahui ada atau tidaknya keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama dengan pasien (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 24-25).
  2. Riwayat lingkungan : Biasanya pasien PPOK merupakan seorang yang tinggal di lingkungan yang beresiko tinggi seperti di daerah kumuh dan pertambangan/pabrik (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 24-25).
  3. Alat bantu yang digunakan : Pasien dengan PPOK mengalami kelemahan sehingga untuk melakukan aktifitas pasien dibantu oleh keluarga (Harrison, 2013, hal. 44).
  1. Pengkajian Kebutuhan Dasar
    1. Persepsi terhadap kesehatan dan managemen kesehatan

Pasien biasanya mengakui bahwa dirinya adalah seorang perokok berat, pasien juga mengetahui dampak negatif yang diakibatkan oleh kandungan rokok, selain itu dalam kehidupan sehari-hari pemeriksaan kesehatan rutin merupakan hal yang sepele bagi pasien (Harrison, 2013, hal. 44). Pasien melakukan pemeriksaan kesehatan jika sudah mengalami tanda gejala yang sudah berlangsung lama dan tidak kunjung sembuh (Manurung , 2016, hal. 56).

  1. Pola Aktifitas Latihan
  • Pola aktivitas : Pasien PPOK biasanya mengalami kelemahan fisik, sehingga dalam be raktivitas pasien dibantu oleh keluarga atau perawat (Harrison, 2013, hal. 44).
  • Pola nutrisi : Pasien PPOK mengalami penurunan nafsu makan akibat produksi mukus yang berlebihan dan batuk yang terus menerus, sehingga pasien dengan PPOK k mengalami penurunan berat badan (Harrison, 2013, hal. 46)
  • Pola eliminasi : Pasien mengalami gangguan terutama pada eliminasi alvi, karena pasien mengalami penurunan nafsu makan, sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada pola eliminasi pasien (Harrison, 2013, hal. 45)
  • Pola kognitif dan perceptual : Pasien tidak mengalami gangguan pada kemampuan bicara dan membaca, dan fungsi panca indra pasien juga tidak mengalami gangguan (Harrison, 2013, hal. 46).
  • Pola konsep diri :Pasien dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pada dirinya dengan membandingkan aktivitas ringan yang dilakukan saat sehat dan saat sakit (Harrison, 2013, hal. 44).
  • Pola koping : Biasanya pasien mengalami masalah pada keuangan, dan ketakutan akan masa depannya, karena penyakit PPOK merupakan penyakit yang berlangsung lama dan tidak dapat disembuhkan secara menyeluruh (Manurung , 2016, hal. 56).
  • Pola seksual-reproduksi : Pasien PPOK mengalami kelemahan fisik, sehingga fungsi seksual pasien mengalami gangguan (Harrison, 2013, hal. 44).
  • Pola peran hubungan : Keluarga sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan pasien, sehingga biasanya hubungan pasien dengan keluarga semakin dekat (Abdullah, 2014, hal. 44)
  • Pola nilai dan kepercayaan : Pasien biasanya mengalami hambatan dalam beriibadah (Abdullah, 2014, hal. 46)
  • Pola istirahat-tidur : pola tidur pasien terganggu karena disebabkan oleh efek batuk yang terus menerus,sehingga pasien mengalami kesulitan tidur (Manurung N. , 2016, hal. 76)
  1. Pemeriksaan fisik
    1. Kesadaran umum
      • Kesadaran

Pada pemeriksaan keadaan umum klien PPOK didapatkan keadaan baik (composmentis) dan akan berubah sesuai tingkat keparahan dari penyakit (Black, 2014, hal 56).

  • Tanda – tanda vital
  1. TD : tekanan darah akan meningkat/ hipertensi jika terjadi komplikasi kor pulmonal-hipoksia kronis (Nair & Peate, 2015, hal. 245).
  2. Suhu: suhu tubuh klien dapat meningkat sesuai derajat keparahan klien (Nair & Peate, 2015, hal. 245).
  3. Nadi : tekanan darah dan kecemasan dapat mempengaruhi, nadi biasanya terjadi peningkatan yaitu > 80x/ menit (Nurarif, 2015, hal 88).
  4. Penapasan : Pasien dengan PPOK di tandai dengan nafas pendek dan cepat sesuai dengan keadaan pasien, sesak nafas apalagi saat melakukan aktivitas berat (Rosdahl & Kowalski, 2017, hal. 1636)
    • Head to toe
  5. Kepala dan leher
  • Kepala

Inspeksi:Pasien dengan PPOK tidak ditemukan masalah pada   pemeriksaan kepala (Manurung , 2016, hal. 56).

  • Syaraf
  • Saraf I (Olfaktorius): Tidak ada kelainan pada nervus olfaktorius (kemampuan menghidu normal, dapat membedakan berbagai macam bau) (Black, 2014, hal 48).
  • Saraf II (Optikus) :Tidak ada kelainan pada nervus optikus (ketajaman penglihatan pasien normal, reflek pupil positif, tidak buta warna) (Manurung , 2016, hal. 56).
  • Saraf III (Occulomotorius):Tidak ada kelainan pada nervus occulomotorius (pupil isokor (sama), saat diberi cahaya kedua pupil positif atau miosis (mengecil), mata tidak juling (Abdullah, 2014, hal. 46).
  • Saraf IV (Trochlearis):Pasien dapat mengarahkan mata untuk mekihat ke hidung (rotasi internal dan depresi) (Nair & Peate, 2015, hal. 245).
  • Saraf V (Trigeminus): Ada reflek mengedipkan saat kelopak mata pasien disentuh dengan kapas (Nair & Peate, 2015, hal. 245).
  • Saraf VI (Abdusen):Pasien dapat menggerakkan mata ke samping kanan dan kiri (Nurarif, 2015, hal 88).
  • Saraf VII (Fasialis):Wajah simetris, tidak ada gangguan untuk menutup mata, pasien dapat menaikkan alisnya (Harrison, 2013, hal. 44).
  • Saraf VIII (Vestibulocochlearis):Pendengaran pasien normal (Nurarif, 2015, hal 88).
  • Saraf IX (Glosofaringeal):terdapat reflek gag saat dilakukan pemeriksaan (Harrison, 2013, hal. 44).
  • Saraf X (Vagus):Pasien kesulitan menelan (disfagia), suara pasien serak karena ada penumpukan sekret (Nurarif, 2015, hal 88).
  • Saraf XI (Asesorius):Tidak ada atrofi pada bahu pasien, pasien dapat menolehkan kepala dengan melawan tahanan dari pemeriksa (Rosdahl & Kowalski, 2017, hal. 1636).
  • Saraf XII (Hipoglosus):pasien dapat menjulurkan lidah dan dapat menggerakkan ke arah kanan dan kiri (Abdullah, 2014, hal. 46)
  • Mata

Inspeksi:Mata terlihat cekung karena mengalami penurunan berat badan yang drastic, pada pemeriksaan lapang pandang tidak terdapat masalah (Padila, 2014, hal. 35).

Palpasi:Tidak terdapat nyeri tekan dan massa abnormal (Padila, 2014, hal. 48).

Pemeriksaan visus: Visus pasien dapat ditentukan dengan menggunakan pemeriksaan snellen chart, selain itu faktor usia juga mempengaruhi visus pasien. Normal visus adalah 20/20 dalam satuan meter (Abdullah, 2014, hal. 46)

Pemeriksaan lapang pandang:Lapang pandang pasien normal tidak mengalami penyempitan (Nurarif, 2015, hal 88).

Pemeriksaan TIO:Tekanan bola mata pasien normal (Harrison, 2013, hal. 44).

 

  • Hidung

Inspeksi:Biasanya pada pasien PPOK menggunakan oksigen canule nasal diberikan tidak boleh lebih dari 2-3 liter/menit, terdapat pernapasan cuping hidung, tidak terdapat polip, dan tidak ada sekret (Rosdahl & Kowalski, 2017, hal. 1636).

Palpasi:Tidak terdapat masalah pada saat pemeriksaan palpasi pada hidung seperti nyeri tekan (Padila, 2014, hal. 50).

  • Mulut dan kerongkongan

Kemampuan bicara pasien bagus, keadaan bibir lembab, nafas bau, suara serak (Padila, 2014, hal 24).

  • Telinga

Inspeksi:Tidak terdapat gangguan pendengaran pada pasien PPOK (Somantri, 2017, hal 50).

Tes bisik:Pasien dapat mendengar suara bisikan pemeriksa saat di ruang kedap suara, dan pasien dapat mengulang kata yang diucapkan pemeriksa (Somantri, 2017, hal 50).

Tes rinne:Saat garpu tala dibunyikan dan langsung dipindahkan ke belakang meatus akustikus eksterna (liang telinga), pasien dapat mendengar suara garpu tala (512 Hz) dengan jelas (Morton & Dkk, 2013, hal. 738).

Test swabatch: pasien tidak mendengar bunyi garpu tala tandanya swabatc memendek atau normal, dan jika pasien masih mendengar berarti swabatch memanjang (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 30-31).

Tes keseimbangan: Tidak ada laterasi, telinga kanan kiri pasien dapat mendengarkan suara garpu tala dengan jelas saat garpu tala di letakan di puncak kepala (verteks) (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 30-31).

  • Leher

Inspeksi:Bentuk leher terlihat sedikit kedalam karena menggunakan otot bantu pernapasan (otot leher dan bahu) yang mencerminkan sesak napas saat istirahat atau melakukan aktivitas yang berlebihan, tidak ada peningkatan JVP, terdapat pembesaran tyroid, terdapat nyeri waktu menelan karena terlalu sering batuk  (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 30-31).

  • Dada
  • Paru-paru

Inspeksi:Bentuk dada tidak simetris, pada pasien PPOK yang bentuk dada mengembang seperti dada burung (Barrel Chest), pernafasan cepat dan dangkal (Morton & Dkk, 2013, hal. 738).

Palpasi:Pada pemeriksaan vocal fremitus melemah getaran antara kiri dan kanan berbeda karena terdapat

penumpukan secret.

Palpasi:Terdengar suara sonor karena tidak ada pemadatan jaringan atau penimbunan cairan dalam paru-paru (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 30-31).

Auskultasi:Biasanya didapatkan resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Terdengar suara cracles serta suara tambahan lainnya seperti wheezing dan ronchi (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 30-31).

  • Jantung

Inspeksi:Tidak ada masalah jika tidak terdapat komplikasi, ictus cordis pada ICS V Mid clavikula kiri selebar 1 cm, biasanya juga mengeluhkan nyeri dada (Nair & Peate, 2015, hal. 245).

Palpasi:Denyut nadi perifer melemah jika tidak terdapat komplikasi.

Perkusi:Batas jantung pada PPOK batas atas ICS I mid sternalis , batas bawah ICS V, batas kiri ICS V mid clavikula sinistra, batas kanan ICS IV mid sternalis dextra. (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 30-31).

Auskultasi:Biasanya bunyi jantung tambahan tidak didapatkan (Black, 2014, hal. 54).

  • Payudara dan ketiak:Tidak ditemukan masalah pada ketiak dan payudara (Manurung N. , 2016).

 

  • Abdomen

Inspeksi:Adanya mual, mutah, kembung, abdomen menonjol (Morton & Dkk, 2013, hal. 738) dan adanya penurunan berat badan.

Auskultasi:Pada akultasi dapat ditandai dengan penurunan peristaltik usus (Harrison, Harrison Pulmonologi, 2013, hal. 45).

Palpasi:Pada palpasi terdapat udara di abdomen (Gunawijaya, 2013, hal.44).

Perkusi:Pada perkusi adanya bunyi tympani abdomen akibat adanya kembung, dan nyeri tekan (Harrison, Harrison Pulmonologi, 2013, hal. 47).

  • Genetalia

Inspeksi:Adannya gangguan eliminasi urine seperti retensi urine ataupun inkonteinensia urine sehingga pasien terpasang selang kateter (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 30-31)

Palpasi:Terdapat nyeri tekan pada masalah impoten pada pria (Black, 2014) terutama pada lansia. (Chang & Dkk, 2013, hal. 199).

  • Ekstremitas

Inspeksi:Biasanya pada pasien PPOK terdapat adanya kelemahan anggota badan dan terganggunya aktivitas (Rosdahl & Kowalski, 2017, hal. 1636). Dan terjadi retensi cairan (edema) pada ekstremitas/ tungkai bawah dan tremor saat melakukan aktivitas (Gunawijaya, 2013, hal.44).

Palpasi:Tidak terdapat nyeri tekan

Perkusi:Saat diperkusi refleks klien normal walaupun ada kelemahan pada ekstremitas (Black, 2014, hal. 34).

  • Kulit dan kuku

Inspeksi:Kulit kering, dan terdapat sianosis pada kulit (Gunawijaya, 2013, hal.44).

Palapai: Biasanya turgor kulit  ≥ 2 detik, suhu badan pasien biasanya akan mengalami peningkatan sesuai tingkat keparahannya (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 30-31).

  1. Pemeriksaan penunjang

Berikut ini merupakan pemeriksaan laboratorium dan diagnostik untuk pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menurut (Somantri, 2018, hal. 55-56):

  1. Chest X-ray

Dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar, peningkatan ruang udara retrostrernal, penurunan tanda vaskular/ bullae (emfisema), peningkatan bentuk bronkovaskular (bronkhitis), dan normal ditemukan saat periode remisi (asma).

 

 

  1. Pemeriksaan fungsi paru-paru

Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dispnea, menentukan abnormalitas fungsi apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan untuk mengevaluasi efek dan terapi, misal: bronkodilator.

  1. TLC

Meningkat pada bronkhitis berat dan biasanya pada asma, menurun pada emfisema.

  1. Kapasitas inspirasi: Menurun pada emfisema
  2. FEV1/FVC

Untuk mengetahui rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas kapasitas vital (FVC). Rasio menjadi menurun pada bronkhitis dan asma.

  1. ABGs

Menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PO2 menurun dan PCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis atau emfisema). Sering kali menurun pada asma dengan PH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).

  1. Bronkogram

Dapat menunjukkan dilatasi dari bronkhus saat inspirasu, kolaps bronkhial pada tekanan ekspirasi (emfisema), dan pembesaran kelenjar mukus (bronkitis).

 

  1. Darah komplit

Dapat menggambarkan adanya peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan peningkatan eosinofil (asma).

  1. Kimia darah

Menganalisis keadaa alpha 1-antitrypsin yang kemungkinannya berkurang pada emfisema primer.

  1. Sputum kultur

Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, dan pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau alergi.

  1. Elektro cardio graph (ECG)

Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (pada pasien dengan asma berat dan atrial distrimia/ bronkhitis); gelombang P pada leads II, III, AVF panjang dan tinggi (bronkhitis dan emfisema); dan axis QRS vertikal (emfisema).

  1. Pemeriksaan EGC setelah olahraga dan stress test

Membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pernapasan, mengevaluasi keefektifan obat bronkhodilator, dan merencanakan/ evaluasi program.

  1. Penatalaksanaan

Menurut (Jeffrey & Scott, 2012, hal. 130) Penatalaksanaan PPOK yaitu :

 

 

  • Pengobatan farmakologi
    1. Bronkodilator

Tidak digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secara inhalasi atau parenteral. jika sebelumnya diberikan simpatomimetik, maka sebaiknya sebaiknya diberikan aminopilin secara parenteral melalaui intra vena dengan dosis 5-6 mg/KgBB dewasa/anak-anak.

  1. Kortikosteroid

Dengan diikuti pemberian 30-60 mg prednison atau dengan dosis 1-2 mg/KgBB/hari.

  1. Pemberian oksigen (terapi oksigen )

Oksigen dialirkan melalui kanul hidung dengan kecepatan 2-4 liter/menit, menggunakan air (humidifier) untuk memberi kelembapan.

  1. Antibiotik

Antibiotik diberikan jika gejala sesak nafas dan batuk disertai peningkatan volume purulen sputum.

1.3.2        Diagnosa keperawatan

  1. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi sekret yang berlebihan (PPNI, 2017, hal. 18).
    1. Definisi : Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.

 

 

  1. Penyebab :
  • Fisiologis : Spasme jalan napas, Hipersekresi jalan napas, Disfungsi neuromuskuler, Benda asing dalam jalan napas, Benda asing dalam jalan napas, Adanya jalan napas buatan, Sekresi yang tertahan, Hiperplasia dinding jalan napas, Proses infeksi, Respon alergi, Efek agen farmakologis (mis.anastesi)
  • Situasional : Merokok aktif, Merokok pasif, Terpajan polutan
    1. Gejala dan tanda :
  • Mayor : Batuk tidak efektif, Tidak mampu batuk, Sputum berlebih, Mengi, wheezing dan ronkhi kering, Mekonium di jalan napas (pada neonatus).
  • Minor : Dispnea, Sulit bicara, ortopnea, gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah, pola napas berubah.
    1. Kondisi klinis terkait : Gullian barre syndrome, Sklerosis multipel, Myasthenia gravis, Prosedur diagnostik (mis. Bronkoskopi, transesophageal echocardiography (TEE), Depresi sistem saraf pusat, Cedera kepala, Stroke, Kuadriplegia, Sindrom aspirasi mekonium, Infeksi saluran napas.
    2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan pada otot-otot pernapasan (PPNI, 2016, hal. 26)
  1. Definisi : Inspirasi dan/ ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat
  2. Penyebab : Depresi pusat pernapasan, Hambatan upaya napas (mis, nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan), Diformitas dinding dada, Deformitas tulag dada, Gangguan neuromuskular, Gangguan neurologis (mis. elektroensefalogram [EEG] positif, cedera kepala, gangguan kejang), Imaturitas neurologis, Penurunan energi, Obesitas, Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru, Sindrom hipoventilasi, Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 keatas), Cedera pada medula spinalis, Efek agen farmakologis, Kecemasan.
  3. Gejala dan tanda
  • Mayor :Dispnea, Penggunaan otot bantu pernapasan, Fase ekspirasi memanjang, Pola napas abnormal (mis. takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes)
  • Minor : Ortopnea, Pernapasan pursed-lip, Pernapasan cuping hidung, Diameter toraks arterior-posterior meningkat, Ventilasi semenit menurun, Kapasitas vital menurun, Tekanan ekspirasi menurun, Tekanan inspirasi menurun, Ekskursi dada berubah.
  1. Kondisi klinis terkait : Depresi sistem saraf pusat, Cedera kepala, Trauma toraks, Gullian barre syndrome, Mutiple sclerosis, Myasthenia gravis, Stroke, Kuadriplegia, Intoksikasi alkohol.
  2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan tersumbatnya jalan nafas akibat sekret (PPNI, 2017, hal. 22).
  3. Definisi : Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan eliminasi karbondioksida pada membran alveolus-kapiler.
    1. Penyebab : Ketidakseimbangan ventilasi – perfusi, Perubahan membran alveolus – kapiler
    2. Gejala dan tanda
      • Mayor : Dispnea, PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, Takikardi, pH arteri meningkat/menurun, bunyi napas tambahan
      • Minor : Pusing, penglihatan kabur, sianosis, diaforesis, gelisah, napas cuping hidung, pola napas abnormal (cepat/lambat, reguler/irreguler, dalam/dangkal), warna kulit abnormal (mis. pucat, kebiruan), kesadaran menurun
  1. Resiko Defisit Nutrisi berhubungan dengan penurunan nafsu makan dan berat badan (PPNI, 2017, hal. 81).
    1. Definisi : Berisiko mengalami asupan nutrisi tudak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
    2. Faktor resiko: Ketidakmampuan menelan makanan, Ketidakmampuan mencerna makanan, Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien, Peningkatan kebutuhan metabolisme, Faktor ekonomi (mis. finansial tidak mencukupi), Faktor psikologis (mis. stress, keengganan untuk makan).
    3. Kondisi klinis terkait : Stroke, Parkinson, Mobius syndrome, Cerebral palsy, Cleft lip, Cleft palate, Amyotropic lateral sclerosis, Kerusakan neuromuskular, Luka bakar, Kanker, Infeksi, AIDS, Penyakit crohn’s, Enterokolitis, Fibrosis kistik.
      1. Intoleransi aktivitas ketidakseimbangan suplai oksigen (PPNI, 2017, hal. 128).
    4. Definisi : Ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
    5. Penyebab : Ketidakseimbangan antar suplai dan kebutuhan oksigen, Tirah baring, Kelemahan, Imobilitas, Gaya hidup monoton.
    6. Gejala dan tanda
  • Mayor : Mengeluh lelah, Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat.
  • Minor : Dispnea saat/setelah aktivitas, Merasa tidak nyaman setelah aktivitas, Merasa lemah, Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat, Gambaran EKG menunjukkan aritmia saat/setelah aktivitas, Gambaran EKG menunjukkan iskemia, Sianosis.
  1. Kondisi klinis terkait : Anemia, Gagal jantung kongestif, Penyakit jantung koroner, Penyakit katup jantung, Aritmia, Penyakit paru obstruktif  kronis (PPOK), Gangguan metabolik , Gangguan muskuloskeletal.
    1. Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan batuk terus menerus, dan sesak nafas (PPNI, 2017, hal. 126).
  2. Definisi : Gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat faktor eksternal.
  3. Penyebab : Hambatan lingkungan (mis. kelembapan lingkungan sekitar, suhu lingkungan, pencahayaan, kebisingan, bau tidak sedap, jadwal tindakan, Kurang kontrol tidur, Kurang privasi, Restraint fisik, Ketiadaan teman tidur, Tidak familiar dengan peralatan tidur.

 

 

  1. Gejala dan tanda
  • Mayor : Mengeluh sulit tidur, Mengeluh sering terjaga, Mengeluh tidak puas tidur, Mengeluh pola tidur berubah, Mengeluh istirahat tidak cukup, Mengeluh sulit tidur, Mengeluh sering terjaga, Mengeluh tidak puas tidur, Mengeluh pola tidur berubah, Mengeluh istirahat tidak cukup.
  • Minor : Mengeluh kemampuan beraktivitas menurun.
  1. Kondisi klinis terkait : Nyeri/kolik, Hipertiroidisme, Kecemasan, PPOK, Kehamilan, Periode pasca partum, Kondisi pasca operasi.
    1. Keletihan berhubungan dengan penurunan pemenuhan oksigen (PPNI, 2017, hal. 130).
  2. Definisi : Penurunan kapasitas kerja fisik dan mental yang tidak pulih dengan istirahat
  3. Penyebab : Gangguan tidur, Gaya hidup monoton, Kondisi fisiologis (mis.penyakit kronis, penyakit terminal, anemia, malnutrisi, kehamilan), Program perawatan/pengobatan jangka panjang, Peristiwa hidup negatif, Stress berlebihan, Depresi.
  4. Gejala dan tanda
  • Mayor : Merasa energi tidak pulih walaupun telah tidur, Merasa kurang tenaga, Mengeluh lelah, Tidak mampu mempertahankan aktivitas rutin, Tampak lesu
  • Minor : Merasa bersalah akibat tidak mampu menjalankan tanggung jawab, Libido menurun, Kebutuhan istirahat meningkat
  1. Klinis terkait : Anemia, Kanker, Hipotiroidisme/hipertiroididme, AIDS, Depresi, Menopause.

1.3.3        Intervensi

  1. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi sekret yang berlebihan (Wilkinson J. , 2016, hal. 24-27).
  1. Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien menunjukkan bersihan jalan napas yang efektif, menunjukkan kepatenan jalan napas, klien dapat mengeluarkan sekret dan batuk efektif, pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih, mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal
  2. Kriteria Hasil : Klien akan batuk efektif, mengeluarkan sekret secara efektif, mempunyai jalan napas yang paten, pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih, mempunyai frekuensi dan irama pernapasan dalam rentang normal, mempunyai fungsi paru dalam batas normal, mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di rumah.
  3. Intervensi NIC

Pengkajian

  • Kaji dan dokumentasikan hal-hal berikut ini
  1. Keefektifan pemberian oksigen dan terapi lain
  2. Keefektifan obat yang diprogramkan
  3. Hasil oksimetri nadi
  4. Kecenderungan pada gas darah arteri
  5. Frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan
    • Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan

Penyuluhan Untuk Pasien/Keluarga

  • Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung (mis;oksigen, mesin pengisap, inhaler)
  • Informasikan kepada klien dan keluarga tentang larangan merokok di dalam ruang perawatan
  • Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam.
  • Ajarkan klien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum
  • Pengisapan jalan napas (NIC): Instruksikan kepada pasien dan keluarga tentang cara pengisapan jalan napas

Aktivitas Kolaboratif

  • Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan
  • Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau alat pendukung
  • Berikan udara/oksigen yang telah dihumidifikasi sesuai dengan kebijakan institusi
  • Berikan terapi ventolin nebulizer (salbutamol) obat ini masuk golongan agonis adrenoreseptor beta-2, terdapat kandungan salbutamol 2,5 mg/2, ml NaCl dalam ventolin, dosis yang diberikan 2,5 mg diberikan ± 3-4 x/hari
  • Beri tahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal

Aktivitas Kolaboratif

  • Anjurkan aktifitas fisik untuk memfasilitasi pengeluaran sekret
  • Berikan klien dukungan emosi
  • Atur posisi klien yang memungkinkan untuk pengembangan maksimal rongga dada
  1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan tersumbatnya jalan nafas akibat sekret (Wilkinson J. , 2016, hal. 185-188).
    1. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien menunjukkan bersihan jalan napas yang efektif, menunjukkan kepatenan jalan napas, klien dapat mengeluarkan sekret dan batuk efektif, pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih, mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal. Gangguan pertukaran gas pada klien akan berkurang, yang dibuktikan oleh tidak terganggunya respon alergi: sistemik, keseimbangan elekrtolit dan asam-basa, pertukaran gas tidak akan terganggu , ventilasi tidak akan terganggu. Status Pernapasan: Pertukaran Gas tidak akan terganggu yang dibuktikan oleh dispnea saat istirahat, dispnea saat aktivitas berat, gelisah, sianosis, dan somnolen. Status Pernapasan: Ventilasi tidak akan terganggu yang dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut frekuensi pernapasan, irama pernapasan, kedalaman inspirasi, ekspulsi udara, dispnea saat tidur, dan bunyi napas auskultas

 

  1. Kriteria Hasil:
  • Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
  • Memiliki ekspansi paru yang simetris
  • Menjelaskan rencana perawatan di rumah
  • Tidak menggunakan pernapasan bibir mecucu
  • Tidak mengalami naps dangkal atau orthopnea
  • Tidak menggunakan otot aksesorius untuk bernapas
    1. Intervensi NIC

Pengkajian

  • Kaji suara paru, frekuensi napas, kedalaman, dan usaha napas klien
  • Pantau saturasi Oksigen klien
  • Pantau hasil gas darah pasien (PaO2 dan PaCO2)
  • Pantau kadar elektrolit
  • Pantau status mental
  • Observasi terhadap sianosis, terutama membran mukosa
  • Managemen Jalan Napas (NIC):
    1. Identifikasi kebutuhan klien terhadap pemasangan jalan napas aktual dan potensial
    2. Auskultasi suara napas, tandai area penurunan hilangnya ventilasi dan adanya bunyi tambahan
    3. Pantau status pernapasan dan oksigen klien
  • Pengaturan hemodinamik (NIC):
  1. Auskultasi bunyi jantung
  2. Pantau dan dokumentasikan frekuensi, irama dan denyut jantung
  3. Pantau adanya edema perifer

Penyuluhan untuk Klien / Keluarga

  • Jelaskan penggunaan alat bantu yang diperlukan klien mislnya oksigen
  • Ajarkan kepada klien teknik bernapas dan relaksasi
  • Jelaskan kepada klien dan keluarga alasan pemberian oksigen dan tindakannya
  • Informasikan kepada klien dan keluarga tentang bahaya merokok
  • Managemen Jalan Napas (NIC):
    1. Ajarkan tentang batuk efektif
    2. Ajarkan kepada klien bagaimana menggunakan inhaler yang dianjurkan

Aktivitas Kolaboratif

  • Kolaborasi dengan dokter untuk alat bantu yang dianjurkan sesuai dengan perubahan kondisi klien
  • Laporkan perubahan data pengkajian terkait
  • Berikan obat terapi albuterol (salbutamol), pada larutan nebulizer yaitu 2,5 mg 2x/hari, dan ,25-5 mg setiap 4-8 jam PRN (pro re nata).
  • Persiapkan pasien untuk ventilasi mekanis
  • Managemen Jalan Napas (NIC):
    1. Berikan udara yang dilembabkan atau oksigen
    2. Berikan bronkodilator seperti ventolin nebulizer, obat ini masuk golongan agonis adrenoreseptor beta-2, terdapat kandungan salbutamol 2,5 mg/2, ml NaCl dalam ventolin, dosis yang diberikan yaitu 2,5 mg diberikan ± 3-4 x/hari
    3. Berikan terapi aerosol yaitu dengan dosis 180 mcg (2 puff) dihirup PO (per oral) setiap 4-6 jam dan tidak melebihi 12 inhalasi/24 jam
  • Pengaturan Hemodinamik (NIC): Berikan obat anti-aritmia

Aktivitas Lain

  • Jelaskan kepada klien sebelum memulai pelaksaaan prosedur, untuk menurunkan ansietas dan meningkatkan rasa kendali
  • Berikan penenangan kepada klien selama periode gangguan atau kecemasan
  • Lakukan hygien oral secara teratur
  • Lakukan tindakan untuk menurunkan konsumsi oksigen
  1. Pola Napas, Ketidakefektifan berhubungan dengan kelelahan pada otot-otot pernapasan (Wilinson & M, 2016, hal. 60-63)
    1. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien menunjukkan pola penapasan pasien efektif, yang dibuktikan oleh status pernapasan yang tidak terganggu: ventilasi dan status pernapasan: kapatenan jalan napas; dan tidak ada penyimpangan tanda-tanda vital dari rentang normal. Ventilasi tidak terganggu, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas, ekspansi dada simetris. Tidak adanya gangguan Status Pernapasan: Ventilasi, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut penggunaan otot aksesoris, suara napas tambahan, orthopnea.
    2. Kriteria Hasil: Klien akan menunjukkan pernapasan optimal pada saat terpasang ventilator mekanis, mempunyai kecepatan dan irama pernapasan dalam batas normal, mempunyai fungsi paru dalam batas normal untuk pasien, meminta bantuan pernapasan saat dibutuhkan, mampu menjelaskan rencana untuk perawatan dirumah.
    3. Intervensi NIC

Pengkajian

  • Pantau adanya pucat dan sianosis pada klien
  • Pantau efek obat pada status pernapasan
  • Tentukan lokasi dan luasnya krepitasi di sangkar iga
  • Kaji kebutuhan insersi jalan napas
  • Pemantauan Pernapasan (NIC):
    1. Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan
    2. Pantau pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan akasesoris, dan retraksi otot supraklavikular dan interkosta
    3. Pantau adanya bunyi napas tambahan (wheezing, ronchi, creacless)
    4. Pantau pola pernapasan (bradipnea, takipnea, hiperventilasi)
    5. Auskultasi suara napas

 

 

Penyuluhan untuk Klien/Keluarga

  • Informasikan kepada klien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki pola pernapasan
  • Diskusikan cara menghindari alergen
  • Ajarkan teknik batuk efektif
  • Informasikan kepada klien dan keluarga bahwa tidak boleh merokok di dalam ruangan

Aktivitas Kolaborasi

  • Laporkan perubahan sensori, punyi napas, pola napas, sputum
  • Berikan obat bronkodilator seperti ventolin nebulizer (salbutamol) obat ini masuk golongan agonis adrenoreseptor beta-2, terdapat kandungan salbutamol 2,5 mg/2, ml NaCl dalam ventolin, dosis yang diberikan dewasa yaitu 2,5 mg diberikan ± 3-4 x/hari

Aktivitas Lain

  • Hubungkan dan dokumentasikan semua data hasil pengkajian
  • Atur posisi klien untuk mengoptimalkan pernapasan
  1. Resiko Defisit Nutrisi berhubungan dengan penurunan nafsu makan (Wilkinson J. , 2016, hal. 284-285).
    1. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien memperhatikan status nutrisi, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut: Asupan gizi tercukupi, Asupan makanan tercukupi, Asupan cairan tercukupi, Energi yang adekuat
    2. Kriteria Hasil : Klien dapat mempertahankan berat badan_kg atau bertambah_kg pada_(sebutkan tanggalnya), menjelaskan komponen diet bergizi adekuat, mengukapkan tekad untuk mematuhi diet, menoleransi diet yang dilanjutkan, mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal, Memiliki nilai laboratorium (mis., alnumin, dan elektrolit) dalam batas normal, melaporkan tingkat energi yang adekuat.
    3. Intervensi NIC

Pengkajian

  • Tentukan motivasi klien untuk mengubah kebiasaan makan
  • Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi nutrisi
  • Pantau nilai laboratorium
  • Managemen Nutrisi (NIC)
  1. Ketahui makanan kesukaan klien
  2. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
  3. Timbnag klien pada interval yang tepat

Penyuluhan untuk Klien/Keluarga

  • Ajarkan metode untuk perencanaan makan
  • Ajarkan klien/keluarga tentang makanan yang tepat bergizi dan tidak mahal
  • Managemen Nutrisi (NIC) : Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinyaciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan

 

 

 

Aktivitas Kolaboratif

  • Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan gizi klien yaitu seperti karbohidrat 329 Kkal atau 78,3 gram, protein 423 Kkal atau 100 gram, lemak 188 Kkal atau 21 gram
  • Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan
  • Rujuk ke rumah sakit untuk menentukan penyebab gangguan nutrisi
  • Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antiemetik/analgesik sebelum makan dan sesuai jadwal
  • Kolaborasi dengan ahli terapi okupasi

Aktivitas Lain

  • Yakinkan klien dan berikan lingkungan yang nyaman selama makan
  • Berikan klien posisi yang nyaman untuk memudahkan menelan (semifowler)
  • Letakkan makanan pada bagian mulut yang tidak bermasalah untuk memudahan menelan
  1. Intoleransi aktivitas ketidakseimbangan suplai oksigen (Wilkinson J. , 2016, hal. 15-18).
    1. Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, yang dibuktikan oleh toleransi aktivitas, ketahanan, penghematan energi, tingkat kelelahan, energi psikomotorik, istirahat, dan perawat diri: AKS (dan AKSI)
    2. Kriteria Hasil: Klien dapat mengidentifikasikan aktivitas atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang dapat mengakibatkan intoleran aktivitas, merpartisipasi dalam aktivitas fisik yang dibutuhkan dengan peningkatan denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan tekanan darah serta memantau pola dalam batas normal, pada (tanggal target) klien akan mencapai tingkat aktivitas, klien dapat mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang kebutuhan oksigen, obat, dan/ atau peralatan yang dapat meningkatan toleransi terhadap aktivitas.
    3. Intervansi (NIC)

Pengkajian

  • Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi, dan melakukan AKS dan AKSI
  • Kaji respos emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas
  • Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas
  • Managemen Energi (NIC):
    1. Tentukan penyebab keletihan
    2. Pantau respons oksigen klien terhadap aktivitas perawatan
    3. Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber energi yang adekuat
    4. Pantau dan dokumentasikan pola tidur pasien dan lamanya waktu tidur dalam 1 hari

 

Penyuluhan untuk Klien/Keluarga

  • Penggunaan teknik napas terkontrol selama aktivitas
  • Mengenali tanda dan gejala intoleransi aktivitas
  • Pentingnya nutrisi yang baik
  • Penggunaan peralatan sepertyi oksigen selama aktivitas
  • Penggunaan teknik relaksasi
  • Tindakan untuk menghemat energi
  • Managemen Energi (NIC)
    1. Ajarkan kepada klien dan keluarga tentang teknik perawatan diri yang akan meminimalkan konsumsi oksigen
    2. Ajarkan klien untuk menghemat energi selama beraktivitas
    3. Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik managemen waktu untuk mencegah kelelahan

Aktivitas Kolaboratif

  • Kolaborasi dengan ahli terpi okupasi, fisisk atau rekreasi untuk merencanakan dan memantau program aktivitas
  • Rujuk klien ke pusat rehabilitasi jantung jika keletihan berhubungan dengan penyakit jantung

Aktivitas Lain

  • Hindari menjadwalkan pelaksanaan aktivitas perawatan selama periode istirahat
  • Pantau tanda-tanda vital sebelum, selama, dan setelah aktivitas
  • Managemen Energi (NIC)
    1. Bantu pasien untuk mengidentifikasi pilihan aktivitas
    2. Rencanakan aktivitas pada periode saat pasien memiliki nergi paling banyak
    3. Bantu dengan aktivitas fisik teratur
    4. Batasi rangsangan lingkungan
  1. Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan batuk terus menerus, dan sesak nafas (Wilkinson J. , 2016, hal. 404-405).
    1. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat menunjukkan tidur, yang dibuktikan oleh indikator berikut: Perasaan segar setelah tidur, Pola dan kualitas tidur, Rutinitas tidur normal, Jumlah waktu tidur yang terobservasi (6-8 jam/hari), Terjaga pada waktu yang tepat.
    2. Kriteria Hasil : Klien apat mengidentifikasi tindakan yang akan meningkatkan istirahat atau tidur, menunjukkan kesejahteraan fisik dan psikologis, melaporkan tidur yang cukup di malam hari.
    3. Intervensi NIC

Pengkajian

  • Kaji adanya gejala deprivasi tidur dan insomnia
  • Identifikasi faktor lingkungan yang dapat mengganggu tidur
  • Peningkatan Tidur (NIC)
  1. Tentukan efek medikasi klien pada pola tidur
  2. Tentukan pola tidur/aktivitas klien
  3. Pantau/catat pola tidur klien dan jumlah waktu tidur

Penyuluhan untuk Klien

1) Peningkatan Tidur (NIC)

  1. Instruksikan pada klien dan keluarga tentang faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola tidur
  2. Instruksikan pada klien tentang cara melakukan relaksasi otot autogenik atau bentuk nonfarmakologis agar merangsang tidur

Aktifitas Kolaboratif

  • Diskusikan dengan dokter tentang pentingnya merevisi program obat jika obat tersebut menimbulkan gangguan tidur

Aktivitas Lain

  • Tangani gangguan pola tidur sesuai dengan kebutuhan
  • Hindari kebisingan dan penggunaan lampu ruangan pada waktu tidur, serta ciptakan lingkungan yang tenang
  • Bantu klien mengidentifikasi kemungkinan penyebab yang mendasari kurang tidur
  1. Kelelahan berhubungan dengan penurunan pemenuhan oksiegen (Wilkinson, 2016, hal. 171-173).
  2. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat beradaptasi dengan keletihan, yang dibuktikan dengan ketahanan, penghematan energi, dan energi psikomotor, klien akan menunjukkan penghematan energi dibuktikan oleh indikator berikut: mengadaptasi gaya hidup dengan tingkat energi, keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, mempertahankan nutrisi yang adekuat, melaporkan ketahanan yang adekuat untuk aktivitas, menggunakan teknik penghemat energi.
  3. Kriteria Hasil : Klien dapat mempertahankan interaksi sosial yang biasanya, mengidentifikasi faktor psikologis dan fisiologi yang dapat menyebabkan keletihan, mempertahankan kemampuan untuk berkonsentrasi, memberikan perhatian dan respon yang sesuai terhadap isyarat penglihatan
  4. Intervensi NIC

Pengkajian

  • Kaji dampak keletihan pada kualitas hidup
  • Managemen Energi (NIC):
  1. Pantau bukti adanya keletihan fisik dan emosi yang berlebihan pada klien
  2. Pantau asupan nutrisi untuk menjamin keadekuatan sumber energi.
  3. Pantau dan catat pola tidur klien dan jumlah jamnya

Penyuluhan untuk Klien/Keluarga

  • Jelaskan hubungan antara keletihan terhadap proses dan kondisi penyakit
  • Managemen Energi (NIC):
  1. Ajarkan klien dan keluarga untuk mengenali tanda dan gejala keletihan yang memerlukan pengurangan aktivitas
  2. Ajarkan pengaturan aktivitas dan teknik managemen waktu untuk mencegah keletihan

Aktivitas kolaboratif

  • Ingatkan praktisi lain untuk menyadari dampak keletihan
  • Lakukan perujukan ke terapi keluarga jika keletihan telah mengganggu fungsi keluarga
    • Konsultasikan dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan yang berenergi tinggi

Aktivitas Lain

  • Dukung klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan, sehubungan dengan perubahan hidup yang disebabkan oleh keletihan
  • Bantu klien dalam mengidentifikasi tindakan yang dapat meningkatkan konsentrasi
  • Dukung batasan interaksi sosial pada saat berenergi tinggi

1.3.4        Implementasi Keperawatan

Menurut (Maghfuri, 2015, hal. 61) implementasi keperawatan adalah pelaksanaan rencana tindakan yang ditentukan dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara maksimal yang mencakup aspek peningkatan, pencegahan, pemeliharaan serta pemulihan kesehatan dengan mengikut sertakan pasien dan keluarganya dengan kriteria :

  1. Dilaksanakan sesuai dengan rencana keperawatan.
  2. Menyangkut keadaan bio, psiko, sosial, spiritual pasien
  3. Menjelaskan setiap tindakan keperawatan yang akan dilakukan kepada pasien/keluarga
  4. Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan
  5. Menggunakan sumber daya yang ada
  6. Menerapkan prinsip aseptik dan antiseptik
  7. Menerapkan prinsip aman, nyaman, ekonomis, privacy, dan mengutamakan keselamatan pasien
  8. Melaksanakan perbaikan tindakan berdasarkan respon pasien
  9. Merujuk dengan segera bila ada masalah yang mengancam keselamatan pasien
  10. Mencatat semua tindakan yang telah dilaksanakan
  11. Merapikan pasien dan alat setiap selesai melakukan tindakan
  12. Melaksanakan tindakan keperawatan berpedoman pada prosedur teknis yang telah ditentukan

1.3.5        Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan menurut (Maghfuri, 2015, hal. 62)

  1. Evaluasi keperawatan dilakukan secara periodik, sistimatis dan berencana, yang memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan tindakan keperawatan.
  2. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana proses tersebut.
  3. Keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan sehari-hari dan tingkat kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.

Kriteria evaluasi keperawatan :

  1. Setiap tindakan keperawatan dilakukan evaluasi terhadap indikator yang ada pada rumusan tujuan.
  2. Hasil evaluasi segera dicatat dan dikomunikasikan, evaluasi melibatkan pasien, keluarga dan tim kesehatan, evaluasi di lakukan sesuai standart.

Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi yaitu :

  1. Tujuan tercapai, apabila pasien telah menunjukkan perbaikan/kemajuan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
  2. Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan itu tidak tercapai secara maksimal, sehingga perlu di cari penyebab dan cara mengatasinya.
  3. Tujuan tidak tercapai, apabila pasien tidak menunjukkan perubahan/kemajuan sama sekali bahkan timbul masalah baru. Dalam hal ini perawat perlu untuk mengkaji secara lebih mendalam apakah terdapat data, analisis, diagnosa, tindakan dan faktor-faktor lain yang tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

 

3.1    Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Penelitian studi kasus adalah penelitian yang meneliti fenoma kontemporer secara utuh dan menyeluruh pada kondisi yang sebenarnya, dengan menggunakan sumber data (Nursalam, 2015, hal. 161). Studi kasus ini adalah studi kasus yang  mengeksplorasi klien yang mengalami Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas di Ruang Anturium RSD dr. Soebandi, Jember.

3.2    Batasan Masalah

Penelitian ini merupakan studi kasus Asuhan Keperawatan Klien yang mengalami Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dengan Ketidakefektifan Bersihan jalan napas. Klien PPOK adalah klien yang mengalami keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih sepenuhnya yaitu berupa sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan retensi terhadap aliran udara seperti asthma, bronkitis kronis, dan emfisema (Manurung N. , 2016, hal. 9). Klien dengan Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah klien yang mengalami  suatu ancaman nyata atau potensial pada status pernapasan karena ketidakmampuannya untuk batuk secara efektif (Tamsuri, 2008, hal. 12).

3.3    Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah orang atau pelaku yang benar-benar tahu dan menguasai masalah dan terlibat langsung dalam penelitian dengan metode penelitian kualitatif, maka penelitian sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual, jadi dalam hal ini sampling dijaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber (Nursalam, 2015, hal. 15). Partisipan dalam penelitian ini yaitu :

3.3.1       Pasien

Partisipan dalam penelitian ini adalah pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas di Ruang Anturium RSD dr. Soebandi, Jember. selain itu pasien juga bersedia di wawancarai serta berpasrtisipasi dalam penelitian di buktikan dengan menandatangani surat pernyataan persetujuan penelitian (Nursalam, 2015, hal 16).  Peneliti akan melakukan pengkajian pada pasien dengan PPOK, maka dari hal tersebut akan didapatkan informasi tentang data pasien yaitu berupa keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit sebelumnnya, data subjektif, obat-obatan yang digunakan, kebiasaan, riwayat alergi sedangkan informasi dari data objektif yaitu berupa pemeriksaan fisik.

3.3.2       Keluarga

Peneliti akan melakukan pengkajian pada keluarga pasien dengan PPOK, dari keluarga pasien dapat diperoleh data subjektif meliputi riwayat penyakit keluarga melalui genogram, kondisi lingkungan dan kebiasaan pasien (Nursalam, 2015, hal. 15).

 

 

3.3.3       Petugas kesehatan

  1. Dokter

Dari dokter akan diperoleh data yaitu kronologis PPOK atau patofisiologi penyakit pada pasien, dan perkembangan kondisi pasien selama dirumah sakit.

  1. Perawat

Dari perawat akan diperoleh data tentang keadaan dan kondisi pasien selama dirumah atau kondisi saat pertama datang kerumah sakit.

  1. Ahli gizi

Dari ahli gizi akan diperoleh data tentang penambahan gizi yang harus diberikan pada pasien dengan PPOK.

  1. Radiologi dan laboratorium

Dari radiologi dan loboratorium akan diperoleh data tentang hasil laboratorium serta analisa gas darah.

3.4     Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di RSD dr. Soebandi, Jember, selama 2 minggu dimulai pada tanggal 8 Juli – 3 Agustus 2019. Dengan sasaran klien dan keluarga klien dengan PPOK. Studi kasus ini diambil sejak klien pertama kali masuk Rumah Sakit sampai pulang dan klien yang dirawat minimal 3 hari. Jika kurang dari 3 hari klien sudah pulang, maka perlu penggantian klien lainnya yang sejenis, dan bila perlu dapat dilanjutkan dalam bentuk homecare. Penelitian ini akan dilakukan di ruang Ruang Anturium RSD dr. Soebandi, Jember.

 

3.5    Pengumpulan data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2015, hal. 20).

Terdapat 3 macam teknik pengumpulan data yaitu :

3.5.1       Observasi

Observasi yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu observasi partisipasi. Dalam observasi ini, penelitian terlibat dengan kegiatan sehari-hari klien yang sedang diamati guna sebagai sumber data penelitian (Imron, 2010, hal. 90).

3.5.2       Wawancara

Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah melakukan komunikasi lisan yang didapatkan secara langsung dari klien, keluarga,guna untuk mendapatkan data subjektif dari pasien PPOK (Imron, 2010, hal. 90).

3.5.3       Studi dokumentasi

Teknik pengumpulan data akan didapatkan peneliti dari penelusuran buku status kesehatan klien meliputi catatan medis dan pemeriksaan penunjang yang berhubungan dengan pasien PPOK. Studi dokumentasi lainnya yang akan dilakukan peneliti yaitu penggunaan buku-buku dan jurnal dari berbagai sumber yang berbeda untuk mendapatkan landasan teori yang berkaitan dengan kasus PPOK, sehingga dapat membandingkan teori dengan kenyataan di lahan praktik (Imron, 2010, hal. 90).

3.6     Uji keabsahan data

3.6.1       Memperpanjang waktu pengamatan

Perpanjang pengamatan ini berarti peneliti menggunakan perpanjangan waktu guna mendapatkan data yang lebih lengkap, seperti melakukan Home Care jika pasien sudah keluar dari Rumah Sakit (Suwendra, 2018, hal.145).

3.6.2       Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian kredebilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu, dengan demikian terdapat 3 triangulasi yaitu :

  1. Triangulasi sumber

Peneliti  menguji krebilitas dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.

  1. Triangulasi teknik

Peneliti menguji krebilitas dengan cara mengecek data pada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.

  1. Triangulasi waktu

Peneliti mendapatkan data melalui tehnik wawancara dipagi hari pada saat klien masih segar, belum banyak masalah sehingga akan memberikan data yang valid (Suwendra, 2018, hal.145).

3.7     Analisa data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara hasil lapangan sehingga dapat dipahami dan diinformasikan kepada orang lain, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis.

3.7.1       Pengumpulan data

Dalam penelitian ini peneliti akan mengumpulkan data dari hasil wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik, serta studi dokumentasi dan angket. Kemudian data hasil penelitian tersebut oeleh peneliti akan ditulis dalam bentuk catatan lapangan dan disalin dalam bentuk traskrip yang sesuai dengan format dan pengkajian Asuhan Keperawatan Pada Klien yang Mengalami PPOK dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas (Imron, 2010, hal. 90).

3.7.2       Mereduksi data

Mereduksi data merupakan proses berfikir sensitive yang memerlukan kecerdasan, keluasan dan kedalaman wawancara yang tinggi, mereduksi data berarti merangkum, melihat hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting (Imron, 2010, hal. 90).

3.7.3       Penyajian data

Penyajian data merupakan cara bagaimana untuk menyajikan data sebaik-baiknya agar mudah dipahami oleh pembaca (Imron, 2010, hal. 90).

3.7.4       Kesimpulan

Kesimpulan merupakan temuan baru yangs sebelumnya  belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambarn suatu objek yang sebelumnya masih tidak pasti kejelasannya kemudian diteliti agar lebih jelas (Imron, 2010, hal. 90).

 

3.8     Etika penelitian

Etika penelitian dalam keperawatan adalah masalah yang paling penting dalam penelitian.

3.8.1       Informed consent

Informed consent adalah bentuk persetuan antara peneliti dengan responden, peneliti dengan memberikan lebar persetujuan, tujuan agar subjek mengerti maksud dari tujuan penelitian. Peneliti akan meminta izin kepada klien dan keluarga untuk melakukan penelitian, hal tersebut berupa bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden, kemudian peneliti akan memberikan lebar persetujuan, tujuannya agar klien mengerti maksud dari tujuan penelitian tersenut (Swarjana, 2012, hal. 170).

3.8.2       Anonymity

Pada awal persetujuan untuk penelitian, peneliti akan memberikan jaminan kepada klien bahwa nama klien tidak dicantumkan pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode atau inisial pada lembar pengumpulan data dan hasil penelitian yang akan disajikan (Widi, 2018, hal. 273).

3.8.3       Confidentiality (kerahasiaan)

Semua informasi yang sudah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya sekelompok data pasien dengan PPOK yang akan dicantumkan pada hasil penelitian (Wasis, 2010. Hal 75).

About samoke2012

Staf Pengajar di Prodi Diploma III Keperawatan Akademi Kesehatan Rustida Banyuwangi
This entry was posted in PROPOSAL LTA 2019. Bookmark the permalink.

Leave a comment