ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK YANG MENGALAMI TBC DENGAN BERSIHAN JALAN NAFAS TIDAK EFEKTIF DI RUANG ASTER RSD SOEBANDI JEMBER TANTI LIANA SARI 14.401.16.084

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang

Tuberculosis (TB) merupakan penyakit nomor tiga sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. tingginya prevalensi TB nasional cenderung meningkat karena kematian penyakit TB. pada pasien TB akan terjadi penumpukan secret yang meningkat. Dampaknya adalah bronkospasme dan menimbulkan Bersihan jalan nafas tidak  (Setiati, 2014).

Tabel 1.1 Angka Kejadian TBC Tahun 2016-2018.

Tahun Indonesia Jawa Timur DRS dr.Soebandi
2016 398.128 kasus 45.239 kasus 137.04 kasus
2017 360.770 kasus 48.323 kasus 143.90 kasus
2018 384.720 kasus 52.421 kasus 150.20 kasus

Sumber (Kemenkes RI, 2017, p. 116), (Dinkes Jatim, 2018, p. 5).

Berdasarkan dari data dan informasi profil kesehatan Indonesia pada tahun 2016-2018 angka kematian dari penyakit TB dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Penyakit TB menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang di lepaskan pada saat penderita TB batuk (Najmah, 2016, p. 99). Kuman TB masuk ke saluran napas sampai alveoli. Kuman akan di telan oleh makrofag dan berkembang biak didalamnya dari sini kuman dapat terbawa masuk ke organ lain, selanjutnya kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang tuberculosis kecil atau sarang pneumonia yang disebut primer atau afek primer (Fajar & Henie, 2013, p. 111). Sarang primer ini dapat timbul dibagian manapun di dalam paru sehingga dapat menimbulkan proses peradangan pada saluran getah bening di sekitar afek primer menuju hilus (terjadi limfangitis lokal) (Horrison, 2013, p. 111). Di komplek primer ini selanjutnya dapat mengalami keadaan komplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum (menyebar ke sekitarnya) kemudian limfosit ini akan menghancurkan bakteri dan terjadi eksudat di alveoli (Fajar & Henie, 2013, p. 111). Aktivitas ini akan  menghasilkan sumber produksi sputum (dahak) yang meningkat lalu mengalami bronkospasme dan menimbulkan Bersihan Jalan Nafas Tidak efektif (Najmah, 2016, p. 99).

Penatalaksanaan pada penderita TB dengan bersihan jalan nafas tidak efektif biasanya meliputi pengaturan posisi kepala lebih tinggi (semi fowler) dan mengajarkan batuk efektif (Wijayaningsih, Asuhan Keperawatan anak, 2013, p. 12). Pengobatan TB sendiri dibagi menjadi 2 bagian yaitu jangka pendek dan jangka panjang dengan tata cara pengobatan setiap hari dengan jangka waktu 1-3 bulan bagian ke dua jangka panjang mengonsumsi beberapa obat anti-T (di Indonesia dikenal dengan obat anti TB OAT) selama 13-18 bulan, tetapi setelah perkembangan pengobatan di temukan terapi baru, terapi TB paru ini dapat dilakukan dengan minum obat saja (Baranah, 2013, p. 295) jika obat tidak di konsumsi dengan benar maka bakteri yang masih hidup bisa menjadi resistensi terhadap obat tersebut (Kapti & azizah, 2017, p. 134).

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan studi kasus tentang Asuhan Keperawatan pasien pada Anak yang mengalami TB dengan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif yang berada di Ruang Aster RSD dr.Soebandi Jember.

1.2       Batasan Masalah

Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada Asuhan keperawatan pasien pada Anak yang mengalami TB dengan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di Ruang Aster RSD dr.Soebandi Jember.

1.3       Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuhan keperawatan pasien pada Anak yang mengalami TB dengan Berisihan Jalan Nafas Tidak efektif di Ruang Aster RSD dr.Soebandi Jember?

1.4       Tujuan

1.4.1     Tujuan Khusus

Melakukan Asuhan Keperawatan pasien pada Anak yang mengalami TB dengan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di ruang Aster RSD dr.Soebandi Jember.

1.4.2     Tujuan Umum

  1. Melakukan pengkajian keperawatan pasien pada Anak yang mengalami TB dengan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di ruang Aster RSD dr.Soebandi Jember.
  2. Menetapkan Diagnosa Keperawatan pasien pada Anak yang mengalami TB dengan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di ruang Aster RSD dr.Soebandi Jember.
  3. Menyusun Perencanaan Keperawatan pasien pada Anak yang mengalami TB dengan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di ruang Aster RSD dr.Soebandi Jember.
  4. Melaksanakan Tindakan Keperawatan pasien pada Anak yang mengalami TB dengan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di ruang Aster RSD dr.Soebandi Jember.
  5. Melakukan Evaluasi Keperawatan pasien pada Anak yang mengalami TB dengan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di ruang Aster RSD dr.Soebandi Jember.

1.5       Manfaat

1.5.1     Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dan sebagai informasi terkait dengan masalah kesehatan terutama tentang Tuberculosis Paru (TBC) dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif.

1.5.2      Manfaat Praktis

  1. Bagi Perawat

Diharapkan bisa menjadi masukan yang baik untuk perawat dalam mengembangkan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Tuberculosis Paru (TBC).

  1. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan bisa menjadi masukan bagi rumah sakit untuk lebih mengembangkan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Tuberculosis Paru (TBC).

  1. Bagi Instansi Pendidikan

Hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai rujukan untuk meningkatkan keterampilan peserta didik keperawatan khususnya dalam perawtan pada pasien Tuberculosis (TBC).

  1. Bagi Pasien dan Keluarga

Hasil penelitian ini di harapkan bisa memberikan motivasi keluarga untuk melakukan mobilisasi dini pada pasien Tuberculosis Paru (TBC).

 

 

 

 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

 

1.1    KONSEP PENYAKIT TB PARU

1.1.1     Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh MYcobacteriium Tuberkulosis dan Mycobakterium bovis basil tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi mati didalam cairan yang bersuhu 60° selama 15-20 menit. fraksi protein basil tuberculosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam (Ngastiyah, 2014, p. 63:64).

TB di tularkan oleh Droplet nuclei melalui udara dihasilkan ketika orang terinfeksi batuk, bersin, bicara atau bernyanyi. Infeksi dapat terjadi ketika pejamu yang rentan bernapas di udara yang mengandung droplet nuclei dan partikel terkontaminasi menghindari pertahanan normal saluran napas atas untuk mencapai alveoli (Pricilla, 2017, p. 1475).

Setelah pajanan terhadap individu yang mengidap infeksi, masa inkubasi adalah 2 sampai 10 minggu. Selanjutnya membentuk basilus tuberkel yang diinhalasi akan memperbanyak diri di alveolus dan duktus alveolus, sehingga membentuk eksudat radang dan akan terjadilah Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif (Widiarti & Praptiani, 2017, p. 643).

Berdasarakan dari kesimpulan diatas penyakit tuberculosis merupakan penyakit menular yang ditularka melalui droplet nuclei yang telah terinfeksi kuman atau basil tuberculosis. Penyakit TB suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru secara khas yang ditandai oleh batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk disetai dahak, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berkeringat malam. hal-hal tersebut terjadi karena kuman basilus sudah menyebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limfatik.

1.1.2     Etiologi

Penyebab penyakit TB adalah bakteri mycobacterium tuberculosis atau Mycobakterium bovis, anak biasanya terkena penyakit TB akibat tertular anggota keluarga dekat (Widiarti & Praptiani, 2017, p. 643). Sedangkan menurut Astuti & Rahmat (2010, pp. 127-128)  faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dapat terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis paru yaitu sebagai berikut:

  1. Usia

Usia bayi kemungkinan besar mudah terinfeksi karena imaturitas imun tubuh bayi. Pada masa puber dan remaja terjadi masa pertumbuhan  cepat namun kemungkinan mengalami infeksi cukup tinggi karena asupan nutrisi tidak adekuat.

  1. Jenis Kelamin

Angka kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan pada masa akhir kanank-kanak dan remaja.

 

  1. Herediter

Daua tahan tubuh seseorang diturunkan secra genetic.

  1. Keadaan Stres

Situasi yang penuh stress menyebabkan kurangnya asupan nutrisi  sehigga daya tahan tubuh menurun.

  1. Anak yang mendapatkan terapi kortikosteroid

Kemungkinan mudah terinfeksi karena daya tahan tubuh anak ditekan oleh obat kortikosteroid.

1.1.3     Manifestasi Klinis

Menurut Kapti & Azizah (2017, p. 133) Tanda dan gejala penyakit TB pada anak meliputi:

  1. Batuk lebih dari 21 hari
  2. Perasaan sakit atau kelemahan, kelesuan, dan atau mengurangi aktivitas bermain.
  3. Kehilangan berat badan atau kegagalan untuk berkembang.
  4. Demam (subfebris, kadang-kadang 40-41 °C, seperti demam influenza).
  5. Sasak nafas, jika infiltrasi sudah setengah bagian paru (Wijayaningsih, 2013, p. 10).
  6. Nyeri dada, jika infiltrasi sudah ke pleura (Wijayaningsih, 2013, p. 10).
  7. Malaise, anoreksia, badan kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam (Wijayaningsih, 2013, p. 10).

 

1.1.4     Klasifikasi

Menurut Udin (2019, p. 32) berdasarkan Riwayat Pengobatan Klasifikasi TB di bagi sebagai berikut:

  1. Pasien Baru TB

Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah konsumsi OAT namun kurang dari 1 bulan (<dari 28 dosis).

  1. Pasien yang pernah diobati TB

Konsumsi OAT selama 1 bulan atau lebih (> dari 28 dosis). Kemudian pasien ini diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:

  1. Pasien Kambuh

Pasien TB yang sebelumnya dinyatakan sembuh atau sudah menjalani pengobatan lengkap tapi sekarang didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan klinis atau bakteriologis (karena kambuh atau karena reinfeksi).

  1. Pasien diobati kembali setelah gagal: pasien TB yang sebelumnya menjalani proses terapi obat dan diputuskan gagal pad pengobatan terakhir.
  2. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat ( lost to follow up).
  3. Lain-lain: pasien TB yang sebelumnya diobati tetapi hasil akhir pengobatan tidak tersebut tidak diketahui.
  4. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui adalah pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok ( a / b).

1.1.5     Patofisiologi

Masuknya Kuman Tuberkulosis kedalam paru melalui udara dan dengan masuknya basil tuberculosis maka terjadi eksudasi dan konsolidasi yang terbatas. Basil tuberculosis akan menyebar dengan cepat melalui saluran getah bening menuju kelenjar regional yang kemudian akan mengadakan reaksi eksudasi (Ngastiyah, 2014, p. 64). Basil tersebut juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya (Utomo, 2014, p. 5).

Kuman yang bersarang dijaringan paru akan membentuk sarang pneumonia yang disebut sarang primer. Sarang primer ini dapat timbul dibagian manapun didalam paru. Akibat pembentukan sarang primer ini dapat menimbulkan proses peradangan pada saluran getah bening (Horrison, 2013, p. 111). Selanjutnya sistem kekebalan tubuh memberikan respon dengan melakukan aksi fagisitosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik tuberculosis menghancurkan basil dan jaringan normal. Sehingga reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang menyebabkan bronkopneumonia (Utomo, 2014, p. 5).

Selanjutnya akan terjadi infeksi awal yang baisanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri. Interaksi antara mycobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi membntuk sebuah massa jaringan yang disebut jaringan granuloma (Utomo, 2014, p. 5).

Granuloma selanjutnya diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengahnya disebut Ghon tuberkel dan bakteri yang menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk massa seperti keju. Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi aktif (Najmah, 2016, p. 100)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1.1.6     Phatway

Mycobakterium Tuberkulosis
Melalui udara Infeksi
Basil menyebar melalui kelenjar regional
Terjadi proses peradangan
Menempel pada paru
Menetap dijaringan paru
Terjadi proses peradangan
Dibersihkan oleh makrofag
Keluar dari trakea bernama sekret
Sembuh tanpa pengobatan
Tumbuh dan berkembang disitoplasma makrofag
Pengeluaran zat pirogen
Mempengaruhi hipotalamus
Mempengaruhi sel point
Hipertermia
Sarang primer / afek primer (focus ghon)
Limfadinitis regional
Limfangitis lokal
Komplek primer
Sembuh dengan bekas fibrosis
Sembuh sendiri tanpa pengobatan
Menyebar ke organ lain, (saluran pencernaan, tulang melaluli media hematoden, limfogen)

 

Radang tahunan di bronkus
Pertahanan primer tidak adekuat
Berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitar
Pembentukan tuberkel
Kerusakan membrane alveolar
Pembentukan sputum berlebihan
Ketidak Efektifan Bersihan Jalan Nafas
Menurunnya permukaan efek paru
alveolus
Alveolus mengalami konsolidasi & eksudasi
Gangguan Pertukaran Gas
Bagian tengah nekrosis
Membentuk jaringan keju
Secret keluar saat batuk
Batuk produktif (batuk terus menerus)
Batuk berat
Distensi abdomen
Mual, muntah
Intake nutrisi kurang
Ketidak Seimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
Droplet infection
Terhirup orang sehat
Kurang Pengetahuan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. 1    Phatway Tuberkulosis Paru Menurut Ngastiyah (2014, p. 64), Utomo (2014, p. 5), Horisson (2013, p. 111), Najmah (2016, p. 100).

 

 

1.1.7     Komplikasi

Menurut Ngastiyah (2014, p. 64:65) Komplikasi Tuberkulosis pada anak dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:

  1. Komplikasi Primer

Komplikasi primer terjadi 12 bulan setelah terjadinya penyakit. Penyebaran hematogen atau milier dan meningitis bias Anya terjadi dalam 4 bulan, efusi pleura dapat terjadi dalam 6-12 bulan setelah kompleks primer. Komplikasi pada tulang dan kelenjar getah bening permukaan dapat terjadi akibat penyebaran hematogen dalam 6 bulan tetapi dapat juga terjadi setelah 6-18 bulan. Komplikasi pada traktus urogenitalis dapat terjadi setelah bertahun-tahun.

  1. Komplikasi Milier

Penyebaran milier dan meningitis TB dapat terjadi dalam 3 bulan; pleuritis dan bronkogen dalam 6 bulan, dan TB tulang dalam 1-5 tahun setelah terbentuknya kompleks primer. Pembesaran kelenjar getah bening yang terkena infeksi dapat menyebabkan lubungan segmen atau lobus; sering pada lobus paru kanan. Selain akibat tekanan kelenjar getah bening yang menyebar ateletaksis dapat juga terjadi kontriksi bronkus pada TB dinding bronkus.

 

 

 

 

1.2    KONSEP KEBUTUHAN DASAR MANUSIA OKSIGENASI PADA PASIEN TB

1.2.1      Definisi

Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar yang paling vital dalam kehidupan manusia. Dalam tubuh oksigen berperan penting didalam proses metabolism sel, kekurangan oksigen akan berdampak yang bermakna bagi tubuh, salh satunya kematian (Bacthiar, 2015, p. 48:49).

Terapi oksigen merupakan salah satu terapi pernapasan dalam mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat (Sigalingging, 2013, p. 60).

1.2.2     Faktor Yang Memepengaruhi Kebutuhan Oksegenasi

Menurut Heriana (2014, p. 299:301) Faktor yang mempengaruhi oksigenasi sebagai berikut:

  1. Faktor Fisiologis
  2. Menurunnya kemampuan mengikat O2 seperti pada anemia.
  3. Menurunnya kosentrasi O2 yang dinspirasi seperti pada obstruksi saluran pernapasan bagian atas, peningkatan sputum yang berlebihan pada saluran pernapasan.
  4. Meningkatnya metabolism seperti adanya infeksi, demam, ibu hamil, luka dan lain-lain.
  5. Kondisi yang mempengaruhi pergerakan dinding dada seperti pada kehamilan, obesitas, musculoskeletal, yang abnormal, penyakit kronik seperti TBC paru.

 

  1. Faktor Perkembangan
  2. Bayi premature, yang disebabkan kurangnya pembentukan surfaktan.
  3. Bayi dan balita, adanya resiko infeksi saluran pernapasan akut.
  4. Anak usia sekolah dan remaja, resiko infeksi saluran pernapasan dan merokok.
  5. Dewasa muda dan pertengahan, diet yang tidak sehat, kurang aktivitas, stress yang mengakibatkan penyakit jantung dan paru-paru.
  6. Faktor Perilaku
  7. Nutrisi

Misalnya pada obesitas meengakibatkan penurunan ekspansi paru, gizi yang buruk menjadi anemia, sehingga daya ikat oksigen berkurang, diet yang tinggi lemak menimbulkan arteriosclerosis.

  1. Aktivitas fisik

Latihan akan meningkatkan kebutuhan oksigen.

  1. Meerokok

Nikotin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer dan coroner.

  1. Alcohol dan obat-obatan

Menyebabkan asupan nutrisi dan Fe menurun yang mengakibatkan penurunan hemoglobin. Alcohol menyebabkan depresi pusat pernapasan.

  1. Kecemasan

Menyebabkan metabolism meningkat.

  1. Faktor Lingkungan
  2. Tempat kerja (polusi)
  3. Suhu lingkungan
  4. Ketinggian tempat dari permukaan laut

1.2.3     Kebutuhan Fungsi Jantung yang Mempengaruhi Kebutuhan Oksigenasi

Menurut Heriana (2014, p. 301) kebutuhan fungsi jantung yang mempengaruhi oksigenasi terbagi menjadi 4 yaitu:

  1. Gangguan konduksi

Gangguan konduksi seperti disritmia (takikardi / bradikardi).

  1. Perubahan kardiak keluaran (cardiac output)

Seperti pada pasien dekompensasi jantung menimbulkan hipoksia.

  1. Kerusakan fungsi katup seperti pada stenosis, obstruksi,regurgitasi darah yang mengakibatkan ventrikel bekerj lebih keras.
  2. MCI mengakibatkan kekurangan pasokan darah dan arteri coroner dan miokardium.

 

 

 

 

 

 

1.2.4     Perubahan Fungsi Pernafasan

Menurut Heriana (2014, p. 302) terbagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut:

  1. Hiperventilasi

Merupkan upaya tubuh dalam meningkatkan jumlah oksigen dalam paru-paru, agar pernapasan lebih cepat dan dalam hiperventilasi dapat disebakan karena:

  1. Kecemasan
  2. Infeksi / sepsis
  3. Keracunan obat-obatan
  4. Ketidak seimbangan asam basa seperti pada asidosis metabolic

Tanda dan gejala hiperventilasi adalah takikardi, napas pendek, nyeri dada, menurunnya konsentrasi, disorientasi, tinnitus.

  1. Hipoventilasi

Hiperventilasi terjadi ketiika ventilasi alveolar tidak adekuat untuk memenuhi penggunaan oksigen tubuh atau untuk mengeluarkan CO2 dngan cukup. Bias Anya terjadi pada keaadaan atelectasis (kolaps paru).

  1. Hipoksia

Tidak adekuatnya pemenuhan oksigen selular akibat dari defisiensi oksigen yang di inspirasi atau meningkatnya penggunaan oksigen pada tingkat selular.

Hipoksia dapat disebabkan oleh:

  1. Menurunnya hemoglobin
  2. Berkurangnya konsentrasi oksigen jika berada di puncak gunung / dataran tinggi
  3. Menurunnya perfusi jaringan seperti syok
  4. Menurunnya difusi O2 dari alveoli ke dalam darah seperti pada pneumonia
  5. Kerusakan / gangguan ventilasi

1.2.5     Terapi Oksigen

Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau memperbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi agar tetap adekuat dengan cara masukkan oksigen ke dalam sistem Respirasi (Hartawan, 2017, p. 12).

1.2.6     Tehnik Pemberian Terapi Oksigen

Menurut Hartawan (2017, p. 17) cara pemberian terapi oksigen di bagi menjadi 2 yaitu:

  1. Sistem Arus Rendah

Pada sistem arus rendah, sebagian dari volume tidal berasal dari udara kamar. Alat ini memberikan fraksi oksigen (O2) (Fio2) 21% – 90%, tergantung dari aliran gas oksigen.

Alat-alat yang umum digunakan dalam sistem ini adalah: nasal kanul, nasal kateter, sungkup muka tanpa atau dengan kantong penampung oksigen (O2) transtrakeal.

 

 

  1. Sistem arus Tinggi

Adapun alat yang digunakan yaitu sungkup venture yang mempunyai kemampuan menarik udara kamaar pada perbandingan tetap dengan aliran oksigen sehingga mampu memberikan aliran total gas yang tinggi dengan fraksi oksigen  (O2) (Fio2) yang tetap.

1.3    Konsep Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif

1.3.1     Definisi

Masalah bersihan jalan nafas pada anak dengan perdangan pada paru dapat disebabkan oleh adanya obstruksi, inflamasi dan peningkatan sekresi atau nyeri yang membuat anak tidak mampu batuk secara efektif. Upaya yang dilakukan adalah dengan cara mempertahankan napas atau kepatenan jalan napas, sehingga diharapkan napasnya bersih dan mampu mengeluarkan sekresi secara adekuat (Hidayat A. A., 2012, p. 82).

1.3.2     Penatalaksaan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif

Menurut Wijayaningsih (2013, p. 12:13) Bersihan Jalan Nafas Tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental / darah.

Tujuan                                : Bersihan Jalan Nafas efektif

Kriteria hasil                       :

  1. Mencari possi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
  2. Mendemonstrasikan batuk efektif.
  3. Menyatakan strategi untuk menurunkan kekntalan sekresi.

 

Tindakan Keperawatan      :

  1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa trdapat penumpukan secret di saluran pernapasan.
  2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
  3. Nafas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
  4. Lakukan pernafasan diafragma.
  5. Tahan nafas selama 3-5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut. Lakukan nafas ke dua, tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
  6. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
  7. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi: memperrtahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
  8. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
  9. Kolaborasikan dengan tim kesehatan lain: dengan dokter, radiologi dan fisioterapi, pemberian expectorant, peemberian antibiotic, konsul photo thoraks.

1.4    KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1.4.1     Pengkajian

  1. Identitas klien

Penyakit Tuberculosis paru (TB) dapat menyerang semua umur mulai dari anak-anak sampai dewasa dari laki-laki maupun perempuan. Penyakit TB pada anak dapat terjadi pada usia berapapun, namun usia paling umum adalah antara 1-4 tahun (Soemantri, 2012, p. 68).

  1. Riwayat Kesehatan

Menurut Firnanda (2017, p. 5:6)

  1. Riwayat Kesehatan sekarang

Pengkajian riwayat penyakit sekarang dengan menggunakan PQRST dan berdasarkan keluhan utama dapat lebih mudah perawat melengkapi pengkajian.

  1. provoking Incident: peristiwa yang menjadi sesak nafas.
  2. Quality of Pain: rasa sesak nafas yang dirasakan sepertitercekik atau susah dalam melakukan inspirasi.
  3. Region: rasa berat pada dada saat melakukan pernafasan.
  4. Severity (Skala) of Pain: rasa sesak nafas yang dirasakan klien berdasarkan skala yang sesuai.
  5. Time: rasa nyeri berlangsung secara terus menerus atau hilang timbul.
  • Keluhan Utama

Keluhan yang sering muncul pada penyakit TB pada anak yaitu:

  1. Demam: subfebris, febris (40-41 °C) hilang timbul
  2. Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus, sebagai reaksi tubuh untuk membuang/mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai dengan batuk purulent (menghasilkan sputum) timbul dalam jangka waktu lama (> 3 minggu).
  3. Sesak napas: timbul pada tahap lanjut ketika infiltrasi radang sampai setengah paru.
  4. Malaise: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan dan berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, serta berkeringat pada malam tanpa sebab.
  • Riwayat Masuk Rumah Sakit

Biasanya pada pasien TB mengeluh demam, batuk, sesak nafas, nyeri dada, nafsu makan dan berat badan menurun. Inilah yang sering membawa penderita berobat ketenaga kesehatan.

  • Keluhan Saat Pengkajian

Pada pasien penderita TB saat pengkajian sering ditemukan sudah dalam keadaan lemah, pucat, kurus, dan tak bergairah. Pasien juga sering batuk pilek atau batuk-batuk (Ngastiyah, 2014, p. 71).

  1. Riwayat Kesehatan Terdahulu

pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama masa kecil (Firnanda, 2017, p. 6).

  1. Riwayat Kesehatan keluarga

Secara patologi TB paru tidak diturunkan tetapi perawat perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi penularan di dalam rumah (Firnanda, 2017, p. 6).

  • Riwayat alergi

Adanya alergi atau tidak terhadap obat serta reaksi alergi yang timbul (Muttaqin, 2012, p. 86).

  • Genogram

TB paru bukan merupakan penyakit keturunan (Muttaqin, 2012, p. 86).

  1. Riwayat Imunisasi

Menurut Maryunani (2014, p. 136:162) Riwayat imunisasi pada anak yang berusia dibawah lima tahun meliputi:

  1. BCG

Tujuan untuk mencegah terjadinya tuberculosis (TBC), diberikan pada bayi baru lahir sampai usia kurang dari 2 bulan. Bias Anya dilakukan dibagian atas lengan kanan (region deltoid) dengan dosis 0,05 ml (Maryunani, 2014, p. 136:162).

  1. DPT

Tujuan untuk mencegah terjangjitnya penyakit difteri, pertussis, dan tetanus. Diberikan pada bayi > 2 bulan dengan dosis 0,5 ml secara intra muscular dibagian luar paha, imunisasi 3 kali dengan interval 4 minggu (Maryunani, 2014, pp. 161-162).

  1. Polio

Tujuan untuk mencegah penyakit poliomyelitis ang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak. Vaksin diberikan 2 tetes per oral dengan interval tidak kurang dari 4 minggu (Maryunani, 2014, p. 136).

  1. Campak

Tujuan untuk mencegah penyakit campak, diberikan pada saat umur 9 bulan dengan dosis 0,5 ml diberikan melalui subkutan di lengan kiri (Maryunani, 2014, p. 163).

  1. Hepatitis

Tujuan untuk mencegah trjadinya penyakit hepatitis dengam pemberian sebanyak 3 kali, diberikan pada saat bayu berusia 12 ja. Diberikan dengan satu kali suntikan dosis 0,5 ml (Maryunani, 2014, p. 136).

  1. DT Menurut Ridha (2014, p. 77)

Imunisasi ini diberikan kepada anak yang tidak boleh atau tidak perlu menerima imunisasi pertusis, tetapi masih memerlukan imunisasi difteri bdan tetanus.

Cara pemberian imunisasi dasar dan ulngan sama dengan imunisasi DPT. Vaksin disuntikkan pada otot lengan atau paha sebanyak 0,5 ml. vaksin ini tidak dapat diberikan kepada anak yang sedang sakit berat atau menderita demam tinggi.

  1. Riwayat Tumbuh Kembang
    1. Pertumbuhan Fisik
  • Berat Badan
    1. Pertambahan berat badan anak usia toddler (1-3 tahun) mencapai 1,8-2,7 kg per tahun.
    2. Pada usia 2 tahun, berat badan anak sekitar 12 kg.
    3. Pada usia 2,5 tahun, berat badan anak mencapai sekitar 4 kali berat badan bayi baru lahir (= 4 x BB lahir).
  • Tinggi Badan
  1. Anak usia toddler (1-3 tahun) ini mengalami kenaikan tinggi badan sekitar 7,5 cm per tahun.
  2. Pada usia 2 tahun, anakusia ini memiliki ukuran tinggi badan sekitar 86,6 cm.
  3. Tinggi badan usia 2 tahun, tiungginya sekitar setengah dari tinggi badan orang dewasa (Maryunani, 2014, p. 74:75).
  • Waktu Tumbuh Gigi

Pertumbuhan gigi primer selesai pada usia 2 tahun, dengan gigi lengkap berjumlah 20 gigi (Maryunani, 2014, p. 68).

  1. Perkembangan Tiap Tahap
  • Berguling

Dari usia 5 bulan anak sudah bisa berguling dari posisi telungkup ke posisi telentang, kepala mendahului tubuh ketika tarik duduk (Kyle & Carman, 2015, p. 3)

  • Duduk

Usia 7 bulan anak sudah bisa duduk sendiri dengan menggunakan tangan untuk menyangga. Usia 8 bulan anak sudah bisa duduk tanpa disangga (Kyle & Carman, 2015, p. 3).

  • Merangka

Usia 9 bulan anak sudah bisa merangkak, abdomen tidak mengenai lantai (Kyle & Carman, 2015, p. 3).

  • Berdiri

Usia 12 bulan anak sudah bisa duduk dari posisi berdiri sampai bisa berjalan sendiri (Kyle & Carman, 2015, p. 3).

  • Berjalan

Usia 12 bulan ke atas anak sudah bisa berjalan sendiri tanpa bantuan (Kyle & Carman, 2015, p. 3).

  • Senyum kepada orang lain pertama kali

Usia 1-4 bulan anak sudah bisa tersenyum spontan dan membalas senyuman bila diajak tersenyum (Wulandari & Erawati, 2016, p. 32)

  • Bicara pertama kali

Usia 1-4 bulan bias Anya ditandai dengan adanya kemampuan bersuara dan tersenyum, dapat berbunyi huruf hidup, tertawa, berteriak dan sebagainya (Wulandari & Erawati, 2016, p. 32)

  1. Riwayat Nutrisi
  2. Pemberian Asi Eksklusif

Bayi harus di beri ASi Eksklusif selama 6 bulan pertama. Artinya tidak boleh memberi makanan apapu pada bayi selain ASI selama masa tersebut. Bayi harus disusui kapan saja ia mau, siang atau malam (on demand) yang akan merangsang payudara memproduksi ASI secra adekuat (Maryunani, 2014, p. 156).

  1. Riwayat Psikososial

Gangguan rasa aman dan nyman dirasakan oleh seorang anak yang menderita tuberculosis sepanjang ia menderita TB masih aktif, baik akibat penyakitnya maupun pengobatannya (Ngastiyah, 2014, p. 73).

  1. Riwayat Spiritual

Riwayat spiritual pada penderita Tuberkulosis yaitu perlu dilakukan upaya penyembuhan dengan pengobatan adekuat dan makanan yang bergizi perlu diberikan agar anak dapt berkembang sesuai dengan umumnya (Ngastiyah, 2014, p. 74).

  1. Reaksi Hospitalisasi

Menurut (Wulandari & Erawati, 2016, p. 88:89) faktor-faktor yang mempengaruhi hospitalisasi pada anak.

  1. Berpisah dengan orang tua dan sparing.
  2. Fantasi-fantasi dan unrealistic anxietas tentang kegelapan, monster, pembunuhan, dan binatang buas diawali dengan yang asing.
  3. Gangguan kontak sosial jika pengunjung tidak diizinkan.
  4. Nyeri dan komplikasi akibat pembedahan atau penyakit.
  5. Prosedur yang menyakitkan dan takut akan cacat dan keamtian.
  6. Aktivitas Seahai-hari
  7. Makanan / Cairan

Pada pasien anak yang menderita penyakit TB akan kehilangan nafsu makan, ketiaksanggupan mencerna makanan, penurunan bereat badan (Wijayaningsih, 2013, p. 10).

  1. Eliminasi (BAB & BAK)

Pada pasien dengan penyakit TB sering diare yang berulang-ualng (Ngastiyah, 2014, p. 66).

  1. Istirahat Tidur

Pada pasien yang menderita penyakit TB akan mengalami kesulitan tidur pada saat malam. Karena pada malam hari anak mengalami menggigil, berkeringat, dan mimpi buruk (Manurung, 2016, p. 49)

  1. Olahraga

Pada pasien yang mendrita TB pada anak tidak mungkin melakukan olahraga karena pada saat beraktivitas pasien akan akan mengalami kelemahan otot, nyeri dada, dan sesak nafas (Manurung, 2016, p. 49).

  1. Personal Hygiene

Menurut (Maryunani, 2014, p. 196:197) beberapa hal yang ahrus diperhatikan untuk menjaga kebersiha  anak oleh orang tua, adalah sebagai berikut:

  • Mencuci tangan

Terapkan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah memegang benda tertentu terlebih lagi binatang.

 

  • Memotong kuku

Mengunting kuku secar teratur seminggu sekali sangat dianjurkan.

  • Mandi teratur

Mandi minimal 2 kali sehari dapat menghindarai anak terserang penyakitbyang diakibatkan oleh bakteri dan kuman. Berikan pakaian yang bersih setelah mandi dan jangan lupa untuk mengajarkan sikat gigi pagi hari dan sebelum tidur.

  1. Aktivitas Mobilitas

Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB karena sering muncul kelemahan, kelelahan, insomnia (Muttaqin, 2012, p. 89).

  1. Rekreasi atau Bermain

Pada anak yang menderita penyakit Tuberkulosis timbul rasa enggan bermain bersama temannya karena rasa takut dihina dari (temannya takut ketularan) (Ngastiyah, 2014, p. 74).

  1. Pemeriksaan Fisik
  2. Keadaan umum

Menurut Ngastiyah (2014, p. 71) pada umumnya paien Tuberkulosis pada anak sering ditemukan sudah dalam keadaan lemah, pucat, kurus, dan tidak bergairah dan disertai batu-batuk

 

.

  1. Kesadaran

Komposmentis, apatis, somnolen, spoor, koma (Wulandari & Erawati, 2016, p. 251).

  1. Tanda-tan Vital
  • Tekanan darah

Takanan darah pada anak-anak usia 3 tahun atau lebih harus di cek paling tidak sekali setiap episode sehat. Tekanan darah sistolik dan diastolic anak-anak ditentukan berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tinggi badan anak. Normal tekanan darah pada anak kurang dari 90, kemudian Prehipertensi presentil 90-95 atau jika TD lebih 120/80 mmHg walaupun presentil di bawah 90 mmHg (Suryani & Badi’ah, 2014, p. 110)

  • Denyut nadi

Memeriksa nadi, faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah frekuensi, kualitas nadi, ciri denyutan (konfigurasi gelombang), dan kualitas pembuluh darah. Defisit nadi terjadi pada fibrilasi atrium, flater atrium, kontraksi ventrikel premature, dan berbagai blok jantung (Suryani & Badi’ah, 2014, p. 108).

Menurut Suyanni & Badi’ah (2014, p. 109) Kecepatan jantung normal untuk berbagai usia sebagai berikut:

Usia Kecepatan Jantung (BPM)
Bayi baru lahir 140 kali per menit
Umur < 1 bulan 110 kali per menit
Umur 1-6 bulan 130 kali per menit
Umur 6-12 bulan 115 kali per menit
Umur 1-2 tahun 110 kali per menit
Umur 2-6 tahun 105 kali per menit
Umur 6-10 tahun 95 kali per menit
Umur 10-14 tahun 85 kali per menit
Umur 14-18 tahun 82 kali per menit
Umur di atas 18 tahun 60-100 kali per menit
Usia lanjut 60-70 kali per menit

Tabel 2.2 kecepatan jantung normal untuk berbagai usia.

  • Suhu

Nilai normal temperature pada anak usia 3 tahun atau lebih berkisar antara 36,7-37,0 °C (Suryani, 2012, p. 108).

  • Pernafasan

Pernapasan normal pada orang dewasa memiliki kecepatan 14-20 kali/menit, sedangkan pada anak 44 kali/menit (Suryani, 2012, p. 108)

  1. Berat badan

Pada penderita TB akan mengalami penurunan berat badan karena nafsu makan menurun (Wijayaningsih, 2013, p. 10).

  1. Tinggi badan
  2. Anak usia toddler (1-3 tahun) ini mengalami kenaikan tingg badan sekitar 7,5 cm per tahun.
  3. Pada usia 2 tahun, anakusia ini memiliki ukuran tinggi badan sekitar 86,6 cm.
  4. Tinggi badan usia 2 tahun, tiungginya sekitar setengah dari tinggi badan orang dewasa (Maryunani, 2014, p. 74:75).

 

 

  1. Kepala

Rambut akan sering rontok karena kekurangan nutrisi (Manurung, 2016).

  1. Muka
  2. Inspeksi: pada pasien TB muka tampak pucat (widiarti & Praptiani, 2017, p. 643).
  3. Mata
  4. Inspeksi: didapatkan konjungtiva anemis, sclera ikterik (Muttaqin, 2012, p. 88).
  5. Hidung dan Sinus

Meningkatnya sputum pada saluran napas secara tidak langsung akan memepengaruhi sistem pernafasan sehingga terdapat pernafasan cuping hidung (Soemantri, 2012, p. 70).

  1. Telinga

Pada penyakit penderita TB sering kali terjadi penurunan pendengaran yang disebabkan terapi memanjang (widiarti & Praptiani, 2017, p. 1488).

  1. Mulut

Pada pasien penderita TB disarankan menggunakan masker agar penyakit yang di derita tidak menyebar ke orang lain (widiarti & Praptiani, 2017, p. 1489).

  1. Tenggorokan

Tidak terdapat kelenjar tyroid (Firnanda, 2017, p. 8).

 

  1. Leher

Pada pasien anak yang menderita TB sering muncul benjolan di daerah leher (Laban, 2017, p. 11).

  1. Dada
  2. Inspeksi: pengembangan pernafasan tidak simetris, bunyi nafas menurun (Manurung S. , 2013, p. 113).
  3. Palpasi: adanya peningkatan jumlah pernafasan (Wijayaningsih, 2013, p. 11). Dan adanya pergeseran trachea (Muttaqin, 2012, p. 87).
  4. Perkusi: suara redup, kavasitas yang besar: hipersonor atau timpani (Manurung S. , 2013, p. 113).
  5. Auskultasi: ada suara tambahan Ronchi basah kasar dan nyaring (Manurung S. , 2013, p. 113).
  6. Jantung

Pada pasien anak yang menderita TB tidak ada pembesran pada jantung jantung (Firnanda, 2017, p. 9).

  1. Abdomen
  • Inspeksi: bentuk abdomen cembung dan cekung
  • Auskultasi: suara bisisng usus hilang timbul
  • Perkusi: bising usus hipertimpani
  • Palpasi: terdapat nyeri tekan pada daerah abdomen dan tidak ada pembesaran hati (Firnanda, 2017, p. 9).
  1. Genetalia dan Anus

Pada pasien TB perawat perlu memonitor adanya ologuria karena hal tersebut merupakan tanda awal syok. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat (Muttaqin, 2012, p. 88).

  1. Ekstremitas

Pada pasien penderita penyakit TB sering terdapat kelemahan otot dikarenakan nafsu makan yang menurun (Manurung, 2016).

  1. Status Neurologi

Saraf-saraf saraf cranial Menurut Wahidayat & Sastroasmoro (2014, p. 143:146)

  • Nervus I (Olfaktorius): penciuman

Uji penciuman dilakukan pada anak yang sudah berusia lebih dari 5-6 tahun, dengan jalan melakukan uji pada setiap lobang hidung secara terpisah, dengan mata tertutup.

  • Nervus II (Optikus): Penglihatan

Uji saraf otak II terdiri atas uji ketajaman penglihatan perimetri dan pemeriksaan fundus (funduskopi). Pemeriksaan funduskopi memerlukan oftalmoskop yang baik, ruang gelap, kesabaran pemeriksa.

  • Nervus III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abdusen)

Paralisis saraf otak III menyebabkan mata deviasi kea rah lateral bawah, ptosis, strabismus, diplopia, dilatasi pupil, serta reflek cahaya dan akomudasi yang negatif (Wahidayat, 2014, p. 145). Pariliasis saraf otak IV jarang terjadi, pada keadaan ini waktu melihat kebawah terjadi sedikit strabismus, kovergens, dan diplopia (Wahidayat, 2014, p. 145). Pariliasis saraf otak, VI paling sering terjadi, yang ditandai dengan stranbismus kovergens dan diplopia.

  • Nervus V (Trigeminus)

Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini adalah uji perasaan (sensasi) dengan cara mengusapkan kapas, menggoreskan jarum, atau benda-benda hangat atau dingin di daerah wajah, ujia lain adalah terhadap reflex kornea dan rahang.

  • Nervus VII (Facialis)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menyuruh pasien tersenyum, meringis, bersiul, membuka dan menutup mata, serta uji reflex kornea serta uji mengecap (sensasi mengecap). Bila terdapat paresis unilateral N.VII, akan terlihat mulut pasien miring ke sisi sehat, dan mata pada sisi lesi tidak dapat menutup dengan rapat (Lagoftalmos).

  • Nervus VIII (Akustikus)

Uji ketajaman pendengaran dilakukan dengan menutup satu telinga kemudian memperdengarkan suara detik arloji atau suara bisikan ditelinga yang di uji, ini dikerjakan secara bergantian pada kedua telinga.

  • Nervus IX (Glosopharingeus)

Pemeriksaan ini ditunjukkan untuk menilai kelainan-kelainan yang timbul berupa:

  1. Hilangnya reflek muntah
  2. Disfagia ringan
  3. Hilangnya sensasi mengecap (uji pengecap)
  4. Deviasi uvula ke sisi yang baik
  5. Hilangnya sensai faring, tonsil, tenggorok bagian atas dan lidah bagian belakang.
  6. Hilang kontruksi dinding posterior faring ketika mengeluarkan suara “ ah ”
  • Nervus X (Vagus)

Gangguan saraf otak ini berupa gangguan motoric, sensorik dan vegetative. Gangguan motoric berupa afonia (suara hilang), disfonia (gangguan suara), disfagia (kesukaran menelan, bias Anya bila anak minum muntah melali hidung), spasme esophagus, dan paralisis palatum mole (reflek muntah negatif).

  • Nervus XI (Assesorius)

Pemeriksaan untuk kelainan saraf aksesorius ini berupa uji kemampuan untuk mengangkat bahu dan memutar kepala melawan tahanan (Wahidayat, 2014, p. 146). Pada gangguan saraf otakini pasien tidak dapat mengangkat bahu sisi yang terkena dan tidak mampu memutar kepala kea rah sisi yang sehat.

 

  • Nervus XII (Hipoglosus)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menilai kekuatan lidah dengan menyuruh pasien menyorongkan ujung lidah ke tepi pipi kanan dan kiri melawan tahanan jari tangan pemeriksaan. Saat lidah dijulurkan bila terdapat paralisis lidah akan deviasi ke sisi lain lesi lidah juga tampak atrofik dengan tremor.

  • Reflek-reflek lainnya

Menurut Wahidayat & Sastroasmoro (2014, p. 150:151).

  1. Reflek Rooting

Klien berbaring terlentang atau duduk, stimulasi klien dengan memberikan sentuhan bibir atau menyentuh sesuatu benda pada bibir. Rahang bawah seolah-olah menetek.

  1. Reflek Suck

Meletakkan jari atau benda lainnya dimulut klien, maka akan menimbulkan respon mengisap dan membuat gerakan ritmis dengan mulut dan lidahnya.

  1. Reflek moro

Suatu reaksi kejutan dengan menimbulkan perasaan jatuh pada bayi. Bayi diletakkan dalam posisi telentang, kemudian kepalanya dibiarkan jatuh dengan cepat beberapa sentimeter dengan hati-hati ketangan pemeriksa.

  1. Relek Graps ada dua yaitu:
  • Reflek Plantar Graps

Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan sesutau (misalnya jari pemeriksa) pada telapak kaki pasien, maka akan terjadi reflek jari-jari kaki.

  • Reflek Palmer Graps

Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan sesuatu pada telapak tangan pasien, maka akan terjadi fleksi jari-jari.

  1. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan

Menurut Maryunani (2014, p. 91:92) perkembangan motoric, berupa motoric halus dan motoric kasar, yang diuraikan berikut ini:

  1. Motoric Kasar

Tabel 2. 1 Perkembangan motorik kasar

No Usia Uraian
1 15 bulan a.       anak menyusun mainan balok (2 balok ke atas ).

b.      Anak juga menulis “ cakar ayam atau coret coretan” yang spontan.

2 18 bulan Anak menyusun 3 balok – 4 balok ke atas.
3 24 bulan Anak meniru gerakan verrikal
4 30 bulan a.       Anak menyusun 8 balok ke atas.

b.      Anak juga dapat menyalip lintasan.

  1. Motoric Halus

Keterampilan motoric kasar yang utama adalah lokomosi (bergerak).

 

 

Tabel 2. 2 perkembangan motorik  halus

No Usia Uraian
1 15 bulan Anak berjalan tanpa bantuan.
2 18 bulan Anak berjalan menaiki tangga dengan satu tangan berpegangan.
3 24 bulan Anak berjalan menaiki dan menuruni tangga satu tahap / langkah setiap kalinya
4 30 bulan Anak melompat dengan kedua kakinya.

 

  1. Bahasa

Menurut Maryunani (2014, p. 47) perkembangan bahasa yang diperlihatkan oleh bayi, antara lain:

  • Menangis merupakan alat komunikasi utama.
  • Orangtua dapat membedakan tangisan bayi.
  • Usia 1 sampai 2 bulan: bayi mendengkur.
  • Usia 3 sampai 4 bulan: bayi tertawa dan mengoceh.
  • Usia 3 sampai 4 bulan: terdengar bunyi / suara konsonan dari mulut bayi.
  • Usia 6 bulan: bayi meniru bunyi-bunyi.
  • Usia 8 bulan: bayi dapat menggabungkan suku kata, seperti mengucapkan mama.
  • Usia 9 bulan: bayi mengerti kata “tidak”.
  • Usia 10 bulan: bayi mengerti dan dapat mengatakan mama dan dada.
  • Usia 12 bulan: bayi mengerti dan dapat mengatakan empat sampai 10 kata.

 

 

  1. Pemeriksaan Penunjang
  2. Uji Tuberkulin

Uji ini mengidentifikasi seseorang terinfeksi dan menghasilkan antibody terhadap basilus, namun tidak dapat mengidentifikasi keaktifan penyakit Tuberkulosis (Astuti H. W., 2010, p. 131).

Menurut Keliat, Abidin, Jamaluddin (2016, p. 19) penilaian uji tuberculin dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:

  • Pembengkakan (indurasi): 0-4 mm, uji mantoux negative

Arti Klinis: tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.

  • Pembengkakan (indurasi): 5-9 mm, uji mantoux meragukan

Hal ini bisa karena kesalahan tehnik, reaksi silang dengan Mycobakterium atypical atau pasca vaksinasi BCG.

  • Pembengkakan (indurasi): 10-15 mm, uji mantoux positif

Arti Klinis: mantoux positif = golongan normal sensitivity, disini peran kedua antibody seimbang.

  • Pembengkakan (indurasi): > 15 mm, uji mantoux

Arti Klinis: mantoux positif kuat = sedang atau pernah terinfeksi Mycobakterium tuberculosis. Disini peran antibodi seluler paling menonjol.

  • Uji Tuberculin positif, Tanpa ada gejala umum dan atau spesifik dan radiologi: infeksi TB (TB Laten).
  • Uji Tuberkulin positif, ditambah gejala umum dan atau spesifik serta radiologi: Sakit TB.
  1. Foto Rontgen dada

Dapat memperlihatkan infiltrasi kalsium pada lesi primer yang membaik atau cairan pada efusi. Perubahan TB yang lebih berat dapat mencakup area berlubang dan fibrosa (Soemantri, 2012, p. 70).

  1. Pemeriksaan Laboratorium
  2. Darah

Pada TB paru aktif bias Anya ditemukan penigkatan dan laju endap darah (LED) (Manurung S. , 2013, p. 110).

  1. Sputum BTA

Pemeriksaan bakteriologik dilakukan untuk menemukan kuman tuberculosis. Pemeriksaan ini penting diagnose defintetive dan menilai kemajuan klien. Pemeriksaan ini dilakukan tiga kali berturu-turut selama 4-8 minggu (Manurung S. , 2013, p. 110).

  1. Penatalaksanaan Medis
  2. Terapi Keperawatan

Pasien dengan tuberculosis tidak dirawaat dirumah sakit kecuali jika telah terjadi komplikasi seperti tuberculosis milier, meningitis tuberkulosa, pleuritis. Hanya saja akan dilakukan pemeriksaan seperti: Uji Tuberkulin, Foto Rontgen dada, dan pemeriksaan laboratorium jika hasil semua pemriksaan positif TBC maka paien akan menjalani pengobatan secara teratur dan mematuhi dosis dokter walaupun pengobatan ini akan berjalan bertahun-tahun (Ngastiyah, 2014).

  1. Terapi Pengobatan

Menurut Udin (2019, p. 34)Obat-obat Anti-Tuberkulosis pada Anak di jalani selama 9 bulan, diantara lain sebagai berikut:

  • Isoniazid (INH/H)

Dosisi Harian: 10 (7-15) mg/KgBB, per oral

Dosis Maksimal: 300 mg/hari

Efek Samping: hepatitis, hipersensitivitas, neuritis perifer

  • Ethambutol Hydrochloride (EMB/E)

Dosis: 35 (30-40) mg/KgBB/hari.

Efek samping: optic neuritis (efek terburuk adalah kebutaan) dan skin rash.

  • Rifampisin/Rifampin (RFP/R)

Dosis harian: 15 (10-20) mg/KgBB/hari per oral

Dosis maksimal: 600 mg/hari

Efek Samping: hepatitis, reaksi demam, purpura, nausea, dan vomiting.

  • Pyrazinamide (PZA/Z)

Dosis: 35 (30-40) mg/KgBB per oral.

Efek Samping: hiperurrisemia, hepatotoxicity, skin rash, arthralgia, distress gastrointestinal.

 

 

1.4.2     Diagnosa Keeperawatan

  1. Bersihan jalan nafas, Ketidak efektifan
  2. Definisi

ketidak mampuan membersikan atau obstruksi jalan nafas untuk mempertahankan jalan nafas.

  1. Penyebab

Fisiologis

  1. Spesme jalan nafas
  2. Hipersekresi jalan nafas
  3. Difusi neuromuskuler
  4. Benda asing dalam jalan nafas
  5. Adanya jalan nafas buatana
  6. Sekresi yang tertahan
  7. Hiperplasia dinding jalan nafas
  8. Proses infeksi
  9. Respon alergi
  10. Efek agen faramakologis (mis. anastesi)

situasional

  • Merokok aktif
  • Merokok pasif
  • Terpajen polutan
  1. Gejala dan tanda mayor
  • Subjektif

(tidak tersedia)

  • Objektif
  1. Batuk tidak efektif
  2. Tidak mampu batuk
  3. Sputum berlebih
  4. Mengi, wheezing dan ronkhi kering
  5. Mekonium di jalan nafas (pada neonatus)
  6. Gejala dan tanda minor
  • Subjektif
  1. Dispnea
  2. Sulit bicara
  3. Ortopena
  • Objektif
  1. Gelisah
  2. Sianosis
  3. Bunyi nafas menurun
  4. Frekuensi nafas berubah
  5. Pola nafas berubah
  6. Kondisi klinis terkait
  • Goliann barre sindrome
  • Sklerosis multipel
  • Myasthenia gravis
  • Prosedur diagnostik (mis. bronkoskopi, transesophageal echokardiography
  • Depresi sistem syaraf pusat
  • Cidera kepala
  • Stroke
  • Kuadriplegia
  • Sindrom aspirasi mekonium
  • Infeksi saluran nafas (PPNI, 2016, hal. 18).
  1. Gangguan Pertukaran Gas
  2. Definisi

kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/ eliminasi karbondioksida pada membran alveolus-kapiler.

  1. Penyebab
  • Ketidakseimbagan ventilasi-perfusi
  • Perubahan membran alveolus-kapiler
  1. Gejala dan tanda mayor
  • Subjektif
  1. Dispnea
  • Objektif
  1. PCO2 meningkat/menurun
  2. PO2 menurun
  3. Takikardia
  4. pH arteri meningkat/menurun
  5. bunyi napas tambahan
  6. Gejala dan tanda minor
  • Subjektif
  1. Pusing
  2. penglihatan kabur
  • Objektif
  1. Sianosis
  2. Diaforesis
  3. Gelisah
  4. Napas cuping hidung
  5. Pola napas abnormal (cepat/lambat, reguler/ireguler, dalam/dangkal)
  6. Warna kulit abnormal (mis. pucat, kebiruan)
  7. Kesadaran menurun
  8. Kondisi klinis terkait
  • Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
  • Gagal jantung kongestif
  • Asma
  • Pneumonia
  • Tuberkulosis paru
  • Penyakit membran hialin
  • Asfiksia
  • Persistent pulmonary hypertension of newborn (PPHN)
  • Prematuritas
  • Infeksi saluran napas. (PPNI, 2016, hal. 22)

 

 

 

  1. Ketidak Seimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh
  2. Definisi

Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.

  1. Penyebab
  • Ketidakmampuan menelan makanan
  • Ketidakmampuan mencerna makanan
  • Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
  • Peningkatan kebutuhan metabolism
  • Faktor ekomonomi (mis. Finansial tidak mencukupi)
  • Faktor psikologis (mis. Stress, keengganan untuk makan)
  1. Gejala dan Tanda Mayor
  • Subjektif
  1. Tidak tersedia
  • Objektif
  1. berat badan menurun minimal 10% dibawah rentan ideal
  2. Gejala dan Tanda Minor
  • Subjektif
  1. cepat kenyang setelah makan
  2. kram atau nyeri abdomen
  3. nafsu makan menurun
  • Objektif
  1. bisisng usus hiperaktif
  2. otot pengunyah lemah
  3. otot menelan lemah
  4. membrane mukosa pucat
  5. sariawan
  6. serum albumin turun
  7. rambut rontook berlebihan
  8. diare
  9. Kondisi Klinis Terkait
  • Stroke
  • Parkinson
  • Mobius syndrome
  • Cerebral palsi
  • Cleft lip
  • Cleft palate
  • Amyotropik lateral sclerosis
  • Kerusakan neumuskuler
  • Luka bakar
  • Kanker
  • Infeksi
  • AIDS
  • Penyakit crohn
  • Entropolitis
  • Fibrosis kistik (PPNI, 2016, hal. 56).

 

 

  1. Hipertermi
  2. Definisi

Suhu tubuh meningkat diatas rentang tubuh normal

  1. Penyebab
  • Dehidrasi
  • Terpapar lingkungan panas
  • Proses penyakit (mis. infeksi, kanker)
  • Ketidaksesuaian pakaian den gan suhu lingkungan
  • Peningkatan laju metabolism
  • Respon trauma
  • Aktifitas berlebihan
  • Penggunaan incubator
  1. Gejala tanda mayor
  • Subjektif
  1. (tidak tersedia)
  • Objektif
  1. Suhu tubuh diatas nilai normal
  2. Gejala dan tanda minor
  • Subjektif
  1. (tidak tersedia)
  • Objektif
  1. Kulit merah
  2. Kejang
  3. Takikardi
  4. Takipnea
  5. Kulit terasa hangat
  6. Kondisi klinis terkait
  • Proses infeksi
  • Hipertiroid
  • Stroke
  • Dehidrasi
  • Trauma
  • Prematuritas (PPNI, 2016, hal. 284).
  1. Kurang Pengetahuan
  2. Definisi

Ketiadaan atau kurangnya informasi kognitif yang berkaitan demgan topic.

  1. Penyebab
  • Keteratasan kognitif
  • Gangguan fungsi kognitif
  • Kekeliruan mengikuti anjuran
  • Kurang terpapar informasi
  • Kurang minat dalam belajar
  • Kurang mampu mengingat
  • Ketidaktahuan menemukan sumber informasi
  1. Gejala dan tanda Mayor
  • Subjektif
    1. Menanyakan masalah yang dihadapi
  • Objektif
  1. Menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran
  2. Menunjukkan persepsi yang keliru terhadap masalah
  3. Gejala dan Tanda Minor
  • Subjektif

(tidak tersedia)

  • Objektif
  1. Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat
  2. Menunjukkan perilaku berlebihan (mis. Apatis, bermusuhan, agitasi, histeria)
  3. Kondisi Klinis Terkait
  • Kiondisi yang baru dihadapi oleh klien
  • Penyakit akut
  • Penyakit kronis (PPNI, 2016, hal. 246).

1.4.3     Intervensi

  1. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
  2. Tujuan

mempertahankan napas atau kepatenan jalan napas, sehingga diharapkan napasnya bersih dan mampu mengeluarkan sekresi secara adekuat (Hidayat, 2012, p. 82).

  1. Kriteria Hasil
  • Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
  • Mendemonstrasikan batuk efektif.
  • Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi (Wijayaningsih, 2013, p. 12)
  1. Rencana Tindakan

Intervensi Menurut Wijayaningsih (2013, p. 12:13) meliputi:

  • Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan secret di saluran pernapasan.

Rasionalisasi: pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.

  • Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.

Rasionalisasi: batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.

  • Nafas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin (posisi semi fowler).

Rasionalisasi: memungkinkan ekspansi paru lebih luas.

  • Lakukan pernafasan diafragma

Rasionalisasi: pernafasan diafragma menurunkan frekuensi nafas dan meningkatkan ventilasi alveolar.

  • Tahan nafas selama 3-5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut. Lakukan nafas kedua, tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.

Rasioanalisasi: meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi secret.

  • Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.

Rasionalisasi: pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.

  • Ajarkan klien untuk menurunkan viskositas sekresi: mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
  • Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.

Rasionalisasi: giegine mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.

  • Kolaborasi dengan tim kesehatan lain: dengan dokter, radiologi dan fisioterapi, pemberian expektorant, pemberian antibiotika, konsul photo thotaks.

Rasionalisasi: expektoran untuk memudahkan mengeluarkan lender dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

  1. Gangguan Pertukaran Gas
  2. Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien akan menunjukkan pertukaran gas efektif (Wijayaningsih, 2013, p. 14).

  1. Kriteria Hasil
  • Memperlihatkan frekuensi penafasan yang efektif.
  • Mengalami pertukaran gas-gas pada paru.
  • Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
  1. Rencana Tindakan

Intervensi Menurut Wijayaningsih (2013, p. 14:15) meliputi:

  • Memberikan posisi yang nyaman, bias Anya dengan peninggian kepala tempat tidur, baik ke sisi yang sakit.

Rasionalisai: meningkatkan inspirasi maksimal, mningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

  • Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernafasan, dyspnea atau perubahan tanda-tanda vital.

Rasionalisasi: distress pernafasan dan perubahan pada tanda-tanda vital dapat terjadi sebagai akibat setres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.

  • Jelaskan kepada keluarga klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan pada anak.

Rasionalisasi: pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.

  • Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk control diri dengan menggunakan pernafasan lebih lambat dan dalam.

Rasionalisasi: membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan / ansietas.

  • Kolaborasikan dengan tim kesehatan lain: dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi. Pemberian antibiotika, pemeriksaan sputum dan kultur sputum, konsulphoto thorak.

Rasionalisasi: mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Pemberian antibiotic pada penyakit Tuberkulosis pada anak menurut Udin (2019, p. 34) yaitu:

  1. Isoniazid (INH/H)

Dosisi Harian: 10 (7-15) mg/KgBB, per oral

Dosis Maksimal: 300 mg/hari

  1. Ethambutol Hydrochloride (EMB/E)

Dosis: 35 (30-40) mg/KgBB/hari.

  1. Rifampisin/Rifampin (RFP/R)

Dosis harian: 15 (10-20) mg/KgBB/hari per oral

Dosis maksimal: 600 mg/hari

  1. Pyrazinamide (PZA/Z)

Dosis: 35 (30-40) mg/KgBB per oral.

 

 

 

  1. Ketidak Seimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh
  2. Tujuan

Setelah dilakuan tindakan keperawatan pasien akan menunjukkan kebutuhan nutrisi yang adekuat.

  1. Kriteria Hasil
  • Menyebutkan makanan mana yang tinggi protein dan kalori.
  • Menu makanan yang disaajikan habis.
  • Peningkatan berat badan tanpa peningkatan edema.
  1. Rencana Tindakan

Intervensi Menurut Wijayaningsih (2013, p. 15:16).

  • Diskusikan penyebab anoreksia, dyspnea dan mual. Rasionalisasi: dengan membantu klien memahami kondisi dapat menurunkan ansietas dan dapat membantu memperbaiki kepatuhan terapeutik.
  • Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan.

Rasionalisasi: keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan.

  • Tawarkan makan sedikit tapi sering (enam kali sehari plus tambahan).

Rasionalisasi: peningkatan tekanan intra abdomen dapat menurunkan atau menekan saluran GI dan menurunkan kapasitas.

  • Pembatasan cairan pada makanan dan menghindari cairan ! jam sebelum dan sesudah makan.

Rasionalisasi: cairan dapat lebih pada lambung, menurunkan mnafsu makan dan masukan.

  • Atur makanan dengan protein atau kalori tinggi yang disajikan pada waktu klien merasa paling suka untuk memakannya.

Rasionalisasi: ini meningkatkan kemungkinan klien mengkonsumsi jumlah protein dan kalori adekuat.

  • Jelaskan kebutuhan peningkatan masukan makanan tinggi elemen berikut:
  1. Vitamin B 12 (telur, daging ayam, kerang).
  2. Asam folat (sayur berdaun hijau, kacang-kacangan, daging).
  3. Thiamine (kacang-kavangan, buncis, oranges).
  4. Zat besi (buah yang dikeringkan, sayuran hijau, kacang segar).

Rasionalisasi: masukan vitamin harus ditinggikan untuk mengkompensasi penurunan metabolism dan penyimpanan vitamin karena kerusakan jaringan hepar.

  • Konsul dengan dokter atau ahli gizi bila klien tidak mengkonsumsi nutrient yang cukup.

Rasionalisasi: kemungkinan diperlukan suplemen tinggi protein, nutrisi parenteral, total, atau makanan personde.

 

 

  1. Hipertermi
  2. Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak akan memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh.

  1. Kriteria Hasil

Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh atau kembali kedalam batas normal (36,5-37,5 °C).

  1. Rencana Tindakan

Menurut Wijayaningsih  (2013, p. 28:29) meliputi:

  • Patau suhu pasien (perhatikan menggigil atau diaforesis).

R/asionalisasi: suhu 38,9 – 41,10°C menunjukkan proses penyakit, infeksius akut, pola demam membantu diagnosis.

  • Pantau suhu lingkungan, batasi aktivitas.

Rasionalisasi: suhu ruangan di ubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.

  • Berikan kompres hangat.

Rasionalisasi: dapat membantu mengurangi demam. Penggunaan air dingin atau es keungkinan menyebabkan peningkatan suhu secra actual.

  • Berikan antipiretik misalnya parasetamol

Pemberian antipiretik (parasetamol) pada anak diberikan secara per-oral dengan ukuran dosis 10-15 mg/kg/kali (Nagrani & Prayitno, 2015, p. 152).

Rasionalisasi: mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus, parasetamol baik untuk anak karena parasetamol memiliki efek yang minimal terutama bagi anak.

  1. Kurang Pengetahuan
  2. Tujuan

Pemahaman orang tua terhadap pengetahuan meningkat.

  1. Kriteria Hasil

Keluarga mengungkapkan pemahaman proses penyakit dan pengobatan anak.

  1. Rencana Tindakan

Menurut astute & Rahmat (2010, p. 135:136) meliputi:

  • Ajarkan pada orang tua dan anak jika memungkinkan tentang transmisi dan pengobatan tuberculosis.

Rasionalisasi: orang tua dan anak jika memahami transmisi TB, proses penyakit dan program pengobatan anak akan membantu mengurangi cemas dan meningkatkan compliance dengan pengobatan, prosedur isolasi, dan pemberian medikasi yang tepat.

  • Ajarkan orang tua dan anak jika memungkinkan tentang bagaimana cara pemberian mediksi pada anak, misalnya: antibiotic, berapa lama terapi medikasi harus terakhirdiberikan dan apa yang dapat terjadi jika anak tidak menerima medikasi tuntas.

Rasionalisasi: pemahaman tentang bagaimana pemberian medikasi dan resiko menghentikan medikasi dengan tepat memperbaiki compliance.

1.4.4     Implementasi

Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen) dan tindakan kaloborasi. Tindakan mandiri (independen) adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehtan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan lain (Wartonah, 2010)

1.4.5     Evaluasi

Evaluasi tahap terakhir dari proses keperawatan yang membandingkan hasil yang telah dicapai setelah dilakukan implementasi keperawatan, perawat mempunya tiga alternatif dalam menentukan tujuan hasil seperti: berhasil, tercapai sebagian, belum tercapai (Djaelani, 2013).

Evaluasi perkembangan kesehatan klien dapat dilihat dari hasilnya. Tujuanya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Langkah-langkah evaluasi adalah sebagai berikut: daftar tujuan-tujuan klien, lakukakan pengkajian apakah klien dapat melakukan sesuatu, bandingkan antara tujuan dengan kemampuan klien dan diskusikan dengan pasien apakah tujuan dapat tercapai atau tidak. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian dicatat apa yang ditemukan, serta apa perlu dilakukan perubahan intervensi (Wartonah, 2010).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

METODE PENELITIAN

 

 

3.1            Desain Penelitian

Dalam desain penelitian ini peneliti menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kulaitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan. Penelitian studi kasus merupakan strategi penelitian untuk menyelidiki secara cermat status proses asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnose, intervensi, implementasi dan evaluasi (Nursalam, 2013).

Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan pada klien anak yang mengalami Tuberkulosis paru dengan Bersihan Jalan Nafas Tidak efektif di RSD dr.Soebandi Jember.

3.2            Batasan Istilah

Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yaitu suatu bakteri tahan asam (Astuti & Rahmat, 2010, p. 127).

Tuberkulosisis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis dan Mycobakterium bovis. Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi mati di dalam cairan yang bersuhu 60° selama 15-20 menit (Ngastiyah, 2014, p. 63). Penyakit TB Paru pada bayi dan anak disebut juga tuberculosis primer dan merupakan suatu peyakit sistemik. Penyakit TB primer biasanya mulai secara perlahan-lahan sehingga sukar ditentukan saat timbulnya gejala pertama (Ngastiyah, 2014, p. 63). Permulaan TB Paru primer tidak diketahui secara klinis namun kadang-kadang tuberculosis pada anak di temukan tanpa gejala atau keluhan, dan dengan uji tuberculin secara rutin dapatditemukan penyakit tersebut (Ngastiyah, 2014, p. 68).

Menurut Hidayat (2012, p. 82:83) Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif pada anak dengan peradangan pada paru dapat disebabkan oleh adanya obstruksi, inflamasi, dan peningkatan sekresi atau nyeri yang membuat anak tidak mampu batuk secara efektif. Upaya yang harus dilakukan adalah dengan cara mempertahankan napas atau kepatenan bersihan jalan napas, sehingga pasien diharapkan napasnya bersih dan mampu mengeluarkan sekresi secara adekuat.

3.3            Partisipan

Informasi atau partisipan dalm penelitian adalah orang yang benar-benar tahu dan menguasai masalah serta terlibat langsung dengan masalah penelitian. Menggunakan metode penelitian kualitatif maka penelitian sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual, jadi dalam hal ini responden jaringan sebanyak mungkin dari informasi dari berbagai sumber. Penelitian kualitatif berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum (Imron & Munif, 2010)

 

 

 

Partisipan dalam peneliti ini yaitu:

3.3.1        Pasien

Pasien yang akan dijadikan partisipan dalam penelitian ini adalah pasien Tuberkulosis (TB) pada anak dan keluarga bersedia di wawancarai dalam penelitian dibuktikan dengan mendatangani surat pernyataan penelitian.

3.3.2        Keluarga

Keluarga pasien dapat diperoleh data subjek meliputi riwayat penyakit keluarga, genogram. Dalam penelitian ini adalah keluarga yang berasal dari pasien Tuberkulosis (TB) dan keluarga bersedia menjadi partisipan yang dinyatakan secara verbal atau dengan mendatangani surat pernyataan persetujuan penelitian, mampu memberi dukungan kepada pasien melakukan perawatan luka, mampu menceritakan pengalaman sehingga diperoleh informasi yang lebih banyak.

3.3.3        Petugas kesehatan

  1. Perawat

Data yang di peroleh data perawat meliputi tentang keadaan dan kondisi pasien selama di rumah sakit atau kondisi saat pertama pasien datang dirumah sakit. Perawat bersedia menjadi partisipan dan bersedia memberikan data yang dibutuhkan oleh peneliti.

  1. Dokter

Data yang diperoleh dari dokter meliputi terapi meis yang diberikan pada pasien, kronolis atau patofisiologis penyakit yang di derita pasien dan perkembangan kondisi pasien selama di rumah sakit. Dalam penelitian ini dokter bersedia menjadi partisipan dalam penelitian untuk mendapatkan data  terapi yang harus diberikan pada pasien Tuberkulosis (TB).

  1. Ahli gizi

Data yang diperoleh dari ahli gizi adalah diit yang diberikan pada pasien Tuberkulosis (TB) dan makanan yang boleh dimakan oleh pasien. Dalam penelitian ini, ahli gizi yang menjadi partisipan yaitu yang bener-bener menangani jumlah kalori yang dibutuhkan pasien.

3.4            Lokasi dan Waktu Penelitian

Studi kasus dilakukan selama 2 minggu di Ruang Aster  di RSD dr.Soebandi Jember. Waktu penelitian dimulai pada tanggal 8 juli sampai 20 juli 2019.

3.5            Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dan penelitian adalah mendapatkan data. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang dialami), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak dari pada observasi berperan serta (participant, observation), wawancara mendalam (Independen interview) dan dokumentasi (Sugiono, 2015).

 

 

3.6            Ujia Keabsahan Data

Uji keabsahan data dalam penelitian hanya dikarenakan pada uji validasi dan rehabilitas. Uji ini dilakukan dengan:

3.6.1        Memperpanjang Waktu dan pengamatan

Memperpanjang pengamatan ini berarti hubungan dengan narasumber akan semakin terbentuk, semakin akrab, semakin terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan lagi.

3.6.2        Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian kredebilitas ini diartikan sebagai pengecekkan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu (Nursalam, 2013). Dan terdapat triangulasi sumber, teknik dan waktu.

  1. Triangulasi sumber

Triangulasi sumber untuk menguji kreadibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melaui beberapa sumber.

  1. Triangulasi teknik

Triangulasi teknik untuk menguji kreadibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data pada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.

  1. Triangulasi Waktu juga sering mempengaruhi kreadibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara dipagi hari pada saat narasumber masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan data yang ebih valid.

3.7            Analisa Data

Analisa data ini dilakukan dengan membandingkan dari segi fakta yang akan didapatkan dari kedua pasien ada kesenjangan atau tidak selanjutnya dibandingkan dengan teori yang ada kemudian dituangkan ke dalam opini pembahasan. Tehnik analisis ini di narasikan dan disusun secara sistematis. Urutan dalam analisis ini adalah:

3.7.1        Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada studi ini akan dilakukan dengan wawancara, observasi dan laboratorium pemeriksaan persistem kemudian di dokumentasikan kedalam format Asuhan Keperawatan.

3.7.2        Reduksi Data

penelitian ini data pengkajian yang sudah di dokumentasikan kemudian dipilah dalam bentuk data subjektif dan data objektif kemudian dianalisa berdasarkan hasil diagnostic nilai yang normal.

3.7.3        Penyajian Data

penelitian ini data akan di sajikan dalam bentuk tabel, gembar, bagan, maupun berupa teks secara naratif dan dibandingkan antara hasil pengkajian antara 2 pasien yang sama-sama mengalami Tuberkulosis (TB). Dalam penelitian ini tidak mencamtumkan nama pasien yang asli melainkan hanya mengaburkan identitas dari pasien.

3.7.4        Kesimpulan

data yang disajikan tersebut ditarik kesimpulan berupa metode induksi. Data-data yang dikumpulkan berupa hasil pengkajian rumusan diasnostik, perencanaan, tindakan yang dilakukan pada pasien serta evaluasi antara pasien 1 dan pasien 2 dan dibandingkan adanya kesenjangan atau tidak.

3.8            Etika Penelitian

Pada penelitian ini didasari dengan etika penelitian dalam penyusunan studi kasusu yang terdidi dari:

3.8.1        Informed consent (persetujuan menjadi pasien)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan anatara peneliti dengan responden peneliti dengan membberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden (Hidayat, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pendekatan dan menjelaskan tujuan dilakukannya penelitian dan memberikan informed consent untuk mendapatkan persetujuan sebelum penelitian dilakukan.

3.8.2        Anonymity (tanpa nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang diberikan jaminan dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencamtumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengambilan data atau hasil penelitian yang akan (Hidayat, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti hanya mencantumkan inisiasi pasien yang bertujuan untuk menjaga kerahasiaan pasien tidak diketahui orang lain selain peneliti.

 

 

3.8.3        Confidentiality (Kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada riset (Hidayat, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti memberikan jaminan tentang informasi yang telah dkumpulkan dijamin kerahasiannya, hanya kelompok data tertentu yang di laporkan pada hasil riset.

About samoke2012

Staf Pengajar di Prodi Diploma III Keperawatan Akademi Kesehatan Rustida Banyuwangi
This entry was posted in PROPOSAL LTA 2019. Bookmark the permalink.

Leave a comment