ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN DEKOMPENSASI CORDIS

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Kira-kira 4,6 juta orang amerika hidup dengan gagal jantung. Sekitar 550.000 individu baru mendapatkan diagnosis gagal jantung setiap tahun. Insiden gagal jantung mendekati 10 per 1000 populasi setelah usia 65 tahun, dan 75% pasien mengalami hipertensi anteseden. Statistik insiden dab prevelensi menindikasikan gagl jantung adalah kejadian umum pada populasi pasien tertentu, kebanyakan terutama lansia dan pasien yang memiliki riwayat hipertensi, infrak miokardium, atau keduanya. Meskipun statistik mortaliatas dan morbiditas kardiovaskuler lain menurun, insiden gagl jantung awitan baru terus meningkat. (Morton & etall, 2013, hal. 502)

Angka mortalitas 5 tahun untuk gagal jantung adalah segitar 50%. Kematian mendadak akibat gangguan jantung terjadi enam kali sampai sembilan kali lebih sering pada pasien yang mengalami gagal jantung dibandingkan dengan populasi umum. Perkiraan 957.000 pasien dipulangkan  dengan gagal jantung pada tahun 1997 gagal jantung adalah doagnosis umum pada unit perawatan intensif (ICU) karena awitannya mendadak. Infark miokardium akut (IM) atau eksaserbasi akut gagal jantung kronis sering kali mengancam jiwa. Hospitalisasi dikaitkan dengan biaya finansial yang tinggi, dan beban fisik dan emosional perawatan rawat inap sangat besar bagi pasien dan keluarga mereka. (Morton & etall, 2013, hal. 503)

  1. Batasan masalah

Pada pembahasan ini hanya membatasi konsep teori penyakit dan konsep asuhan keperawatan pada klien  decompensasi cordis.

  1. Rumusan masalah
  1. Jelaskan definisi decompensasi cordis ?
  2. Jelaskan etiologi decompensasi cordis ?
  3. Jelaskan tanda gejala decompensasi cordis ?
  4. Jelaskan patofisiologi decompensasi cordis ?
  5. Jelaskan klasifikasi decompensasi cordis ?
  6. Jelaskan komplikasi yang terjadi pada decompensasi cordis ?

 

  1. Tujuan
  1. Tujuan umum

Agar mahasiswa dapat mengungkapkan pola pikir yang ilmiah dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien dekompensasi kordis atau gagal jantung dengan mengunakan pendekatan proses perawatan.

  1. Tujuan khusus

Agar mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisa data, menetapkan diagnosa eperawatan, merencankan tindakan, mengimplementasikan tidakan sesuai sesuai rencana dan mengevaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal jantung serta memberikan pendidikan kesehatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

  1. Konsep penyakit
  2. Definisi

Gagal jantung adalah sindrom klinis yang di tandai dengan sesak napas, dispnea saat aktifitas fisik, dispnea nokturnal paroksismal, ortopnea, dan edema parifer atau edema paru. (Morton & etall, 2013, hal. 503)

Gagal jantung adalah sindrome klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktifitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. (Amin, 2015, hal. 19)

Jadi dapat disimpulkan gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan yang di tandai dengan sesak napas, dispnea saat aktifitas fisik, dispnea nokturnal paroksismal, ortopnea, dan edema parifer atau edema paru.

  1. Etiologi
  2. Kelainan otot jantung

Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunya kontraktilitas jantung. Kondisi ynag mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.

  1. Aterosklerosis koroner

Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena tergangunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat) infrak miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peragangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan koraktilitas menurun.

 

 

  1. Hipertensi sistemik atau pulmonal

Meningkatnya beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung.

  1. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif

Sangat berhubungan dengan gagal jantung karena kodisi ini secara langsung merusak serabut jantung kontraktilitas menurun.

  1. Penyakit jantung lain

Gagal jantung dapat terjadi  sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakut gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak afterload.

  1. Faktor sistemik

Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatkan metabolisme, hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen kejantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalita elektrolit dapat menurunkan kontaraktilitas jantung. (Kasron, 2016, hal. 184)

  1. Tanda gejala
  2. Dispnea (bervariasi dari dispnea dengan aktifitas fisik sampai dispnea berat pada istirahat).
  3. Dispnea nokturnal paroksismal.
  4. Leletiahn, kelemahan, penurunan toleransi aktifitas fisik.
  5. Rasa penuh abdomen, peningkatan berat badan.
  6. Takipnea, takikardia.
  7. Ronki (ronki kasar)
  8. Distensi vena jagularis.
  9. Impuls apeks yang yang bergeser ke lateral.
  10. Hepatomegali, refluks hepatojugularis.
  11. Asites, edema perifer.(Jeffrey M. C., 2012, hal. 83)
  12. Patofisiologi
Gagal jantung
Kongesti pulmonalis>>
Tekanan hidrostatik>tekanan osmotik
Aktifitas sistem renin-angiotensin-aldosteron
Vasokontriksi sistemis
Perembesan cairan kealvioli
Peningkatan aktifitas
Curah jantung ↓
Tercetusnya aktifitas (after potential),
Kematian mendadak
Angiotensin 1→ACE→II
Aritmia ventikular
Hipertrofi ventrikel
Pemendekatan miokard
Resiko pola nafas tidak efektif
Kerusakan pertukaran gas
Edema paru
Pengembangan paru tidak optiamal
Me↓ GFR NEFRON
Vasokontriksi ginjal
Me↑ reabsobsi Na+dan H2O oleh tubulus

=

Me↑ ekskresi Na+ H2O dalam urin
Resiko terjadinya gagal ginjal akut
Resiko tinggi kelebihan volume cairan
Resiko tinggi penurunan jurah jantung
Pengeluaran aldosteron
aliran tidak adekuat ke jantung dan otak
resiko tinggi gangguan perfusi jaringan
risti↓resiko kesadaran
Pengisian LV↓(LVEDP↓)
Urine output↓  volume plasma↑ tekanan hidrostatik↑
Resiko tinggi kelebihan volume cairan
Penurunan O2ke miokardium
Syok kardiogenik
kematian
Peningkatan hipoksia
Iskimia miokardium
Perubahan metabolisme miokardium
Infark miokardium
Nyeri dada
Pemenuhan nutrisi kurang
Kelemahan fisik
Kondisi praknosis
Resiko tinggi konstipasi
kecemasan
Kurang pengetahuan
Koping individu tdk efektif
Resiko ketidak mampuan pengobatan
Gangguan akattifitas
Resiko tinggi  trauma

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber : (Muttaqin, 2012, hal. 214)

Fungsi jantung sebagai sebuah pompa diindikasikan oleh kemampuanya untuk memenuhi suplai darah yang adekuat keseluruh bagian tubuh, baik dalam keadaan istirahat maupun saat mengalami stress fisiologi. Mekanisme fisiologi yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan :

  1. Preload (beban awal)

Jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang di timbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung.

  1. Kontraktilitas

Perubahan kekuatan kontriksi berkaitan dengan panjangnya regangan serabut jantung.

  1. After lood (beban akhir)

Besarnya tekanan  ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah  melawan tekanan  yang diperlukan oleh tekanan arteri.

Pada keadaan gagal jantung, bila salah satu /lebih dari keadaan diatas terganggu, menyebabkan curah jantung menurun, meliputi keadaan yang menyebabkan prelood meningkat contoh regurgitasi aorta, cacat septum ventrikel.Menyebab afterlood sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kelainan otot jantung.

Adapun mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi menurunnya kemampuan kontraktilitas jantung, sehingga darah yang dipompa pada setiap kontriksi menurun dan menyebabkan penurunan darah keseluruh tubuh. Apabila suplai darah kurang keginjal akan mempengaruhi mekanisme pelepasan renin-angi-otensin dan akhirnya terbentuk angiotensin II mengakibatkan terangsangnya sekresi aldosteron dan menyebabkan retensi natrium dan air, perubahan tersebut meningkatkan cairan ekstra intravaskuler sehingga terjadi ketidakseimbangan volume cairan dan tekanan selanjutnya terjadi edema. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstial. Proses ini timbulmasalah seperti nokturia dimana berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat dan juga redistribusi cairan dan absorbsi pada waktu berbaring. Gagal jantung berlanjut dapat menimbulkan asites, dimana asites dapat menimbulkan gejala-gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, anoreksia.

Apabila suplai darah tidak lancar diparu-paru (darah tidak masuk kejantung), menyebabkan peninbunan cairan diparu-paru (darah tidak masuk kejantung), menyebabkan penimbunan cairan diparu-paru yang dapat menurunkan pertukaran O2 dan CO2 antara udara dan daerah di paru-paru. Sehingga oksigenisasi arteri berkurang dan terjadi peningkatan CO2 , yang akan membentuk asam didalam tubuh. Situasi ini akan memberikan suatu gejala sesak nafas (dyspnea), ortopnea (dyspnea saat berbaring) terjadi apabila aliran darah dari ektrimitas meningkatkan aliran balik vena ke jantung dan paru-paru.

Apabila terjadi pembesaran vena dihepar mengakibatkan hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan. Suplai darah yang kurang didaerah otot dan kulit, menyebabkan kulit menjadi pucat dan dingin serta timbul gejala letih, lemah, lesu. (Kasron, 2016, hal. 186)

 

  1. Klasifikasi
  2. Gagal jantung kiri

Gagal jantung kiri adalah kegagalan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengosongkan dengan benar. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan di dalam ventrikel dan kongesti pada sistem vaskular paru. Gagal jantung kiri dapat lebih lanjut diklasifikasikan menjadi disfungsi sistolik dan diastolik.

  • Disfungsi sistolik

Disfungsi sistolik biasanya diperkirakan dengan fraksi ejeksi, atau presentase volume diastolik akhir ventrikel kiri (left ventricular end-diastolic volume, LVEDV) yang diejeksikan dari ventrikel pada satu siklus. Jika LVEDV 100 ml dan isi sekucup 60 ml, fraksi ejeksi 60%. Fraksi ejeksi normal adalah 50% sampai 70%. Disfungsi sistolik didefinisikan sebagai fraksi ejeksi kurang dari 40% dan disebabkan oleh penurunan kontraktilitas. Ventrikel tidak dikosongkan secara adekuat karena pemompaan yang buruk, dan hasil akhirnya adalah penurunan curah jantung.

  • Disfungsi diastolik

Disfungsi diastolik kurang didefinisikan dengan baik dan lebih sulit diukur, dan sering disebut gagal jantung dengan fungsi ventrikel kiri yang dipertahankan. Pemompaan normal atau bahkan meningkat, dengan fraksi ejeksi kadang-kadang setinggi 80%. Disfungsi diastolik disebabkan oleh gangguan relaksasi dan pengisian. Pengisian ventrikel kiri, suatu proses kompleks yang terjadi selama diastole, adalah suatu kombinasi pengisian pasif dan kontraksi atrium. Jika ventrikel kaku dan kompliancenya buruk (akibat penuaan, hipertensi yang tidak terkontrol, atau kelebihan volume). Relaksasi lambat atau tidak lengkap. Jika frekuensi jantung cepat, diastole singkat, atau jika pasien mengalami fibrilasi atrium, tidak ada kontraksi atrium yang terorganisasi. Mekanisme ini semuanya mengurangi pengisian vertikel dan menyebabkan disfungsi diatole hingga menurunkan curah jantung. (Morton & etall, 2013, hal. 503)

  1. Gagal jantung kanan

Gagal jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk memompa secara adekuat.penyebab gagal jantung kanan yang paling sering terjadi adalahgagal jantung kiri, tetapi gagal jantung kanan dapat terjadi dengan adanya ventrikel kiri yang benar-benar normal dan tidak menyebabkan gagal jantung kiri. Gagal jantung kanan juga disebabkan oleh penyakit paru dan hipertensi arteri pulmonari primer (yang disebut dengan korpulmonale). Awitan akut gagal jantung kanan serirngkali disebabkan oleh embolus paru. (Morton & etall, 2013, hal. 504)

 

 

 

  1. Komplikasi
  2. Syok kardiogenik
  3. Episode tromboemboli karena pembentukan bekuan vena karena stasis darah.
  4. Efusi dan tamponade perikardium.
  5. Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.

(Kasron, 2016, hal. 200)

 

  1. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
  2. Pengkajian
  3. Identitas

Gagal jantung kebanyakan diderita oleh lansia dan pasien yang memiliki  riwayat hipertensi, infark miokardium atau keduanya.

(Morton & etall, 2013, hal. 502)

  1. Status kesehatan saat ini
  • Keluhan utama

Pasien dengan gagal jantung mengeluh disnea, kelemahan fisik, dan edema sistemik. (Muttaqin, 2012, hal. 206)

  • Alasan masuk rumah sakit

Penderita dengan gagal jantung mengalami peningkatan ortopnea, dispnea nokturnal paroksimal, keletiahan, penurunan toleransi aktifitas fisik

(Morton & etall, 2013, hal. 514)

  • Riwayat penyakit sekarang

Klien dengan gagal jantung  biasanya akan diawali dengan adanya gejala-gejala kongesti vaskular pulmonal,  dispnea, ortopnea, dispnea nokturnal paroksimal, batuk, dan edema pulmonal akut. (Muttaqin, 2012, hal. 209)

 

 

 

  1. Riwayat kesehatan terdahulu
  • Riwayat penyakit sebelumnya

Pasien dengan gagal jantung sebelumnya apakah pernah menderita nyeri dada khas infark miokardium, hipertensi, DM, dan hiperlipidemia. (Muttaqin, 2012, hal. 210)

  • Riwayat penyakit keluarga

Penyakit jantung iskemik pada orang tua dapat menimbulkan terkena penyakit jantung iskemik pada turunannya. (Muttaqin, 2012, hal. 210)

  • Riwayat pengobatan

Pada kasus gagal jantung obat obatan lama bahkan dapat berperan dalam keparahan gejala. Misalnya, pasien yang di obati dengan penyekat saluran kalsium untuk hipertensi. Obat-obat lain dapat menimbulkan gagal jantung pasien yang meminum obat yang di jual bebas seperti obat antiinflamsi nonsteroit (AINS). (Morton & etall, 2013, hal. 512)

  1. Pemeriksaan fisik
  • Keadaan umum
  1. Kesadaran : kesadaran biasanya composmentis. (Muttaqin, 2012, hal. 215)
  2. Tanda-tanda vital :

Pasien yang mengalami disfungsi sistolik dapat memiliki tekanan darah yang sangat rendah, tetapi asimtomatik (sistolik, 80-99 mmhg, diastolik, 40-49 mmhg). Frekuensi jantung dapat cepat (90 kali/menit atau lebih, atau lebih rendah pada saat istirahat. Pasien yang mengalami disfungsi diastolik mungkin hipertensif atau mungkin tidak. (Morton & etall, 2013, hal. 514)

 

 

 

 

  • Body system
  1. Sistem penapasan

Penting untuk menentukan frekuensi pernapasan dan mengobservasi kedalaman pernapasan serta irama pernapasan. pasien yang mengalami gagal jantung kelas IV NYHA berat bisa memiliki pola pernafasan cyene stokes.gagal jantung dapat bersifat kronis dan tergolong kelas IV secara persisten, atau dapat mengambarkan eksaserbasi akut.

Hasil auskultasi dada dapat normal seluruhnya karena pasien dengan peningkatan arteri pulmonari mengalami peningkatan drainase limfe sepanjang waktu, cairan tidak terkumpul dialveoli. reles atau krekels adalah suara yang dihasilkan oleh gelembung udara yang melalui air di alvioli, dan jika tidak ada air suara tersebut tidak dapt terdengar  (Morton P. G., 2013, hal. 515)

  1. Sistem kardiovaskuler
  2. Inspeksi

Inspeksi adanya parut paska pembedahan jantung. Lihat adanya dampak penurunan curah jantung. Selain gejala-gejala yang diakibatka dan kongesti vaskular pulmonal, kegagalan ventrikel kiri juga dihubungkan dengan gejala tidak spesifik yang berhubungan dengan penurunan curah jantung. klien dapat mengeluh lemah, mudah lelah, apatis, letargi, kesulitan berkonsentrasi, defisit memori, dan penurunan toleransi latihan. Gejala ini mungkin timbul pada tingkat curah jantung rendah kronis dan merupakan keluhan utama klien. Sayangnya, gejala ini tidak spesifik dan sering dianggap depresi, neurosis, atau keluhan fungsional. Oleh karena itu, secara potensial hal ini merupakan indikator penting penyimpangan fungsi pompa yang sering tidak dikenali kepentingannya, dan klien juga di beri keyakinan dengan tidak tepat atau diberi tranquilizer (sediaan yang meningkatkan suasana hati-mood). Ingat, adanya gejala tidak spesifik dari curah jantung rendah memerlukan evaluasi cermat terhadap jantung serta pemeriksaan psikis yang akan memberi informasi untuk menentukan penatalaksanaan yang tepat.

  1. Palpasi

Oleh karena peningkatan frekuensi jantung merupakan proses awal jantung terhadap sters, sinus takikardia mungkin di curigai dan sering ditemukan pada pemeriksaan klien dengan kegaglan pompa jantung. Irama lain yang berhubungan dengan kegagalan pompa meliputi: kontraksi atrium prematur, takikardia atrium prematur.

  • Auskultasi

Tanda fisik yang berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri dapat dikenali dengan  mudah dengan bagian yang meliputi: bunyi jantung ketiga dan keempat (S3,S4) serta crackles pada paru-paru. S4 atau gallop atrium, mengikuti kontraksi atrium dan terdengar paling baik dengan bel stetoskop yang ditempelkan dengan tepat pada apeks jantung.

  1. Perkusi

Batas jantung ada pergeseran yang menandakan adanya hipertrofi jantung (kardiomegali).

(Muttaqin, 2012, hal. 212)

  1. Sistem persarafan

Didapatkan nyeri kepala yang hebat, changes mentation,sebagai nyeri tersebut didapatkan wajah yang menyeringai, perubahan postur tubuh, menangis, penurunan kontak mata serta tingkat kesadaran. (Padila, 2012, hal. 82)

  1. Sistem perkemihan

Klien biasanya didapatkan adanya edema ekstremitas menandakan adanya retensi cairan yang parah. (Muttaqin, 2012, hal. 215)

  1. Sistem pencernaan

Klien biasanya didapatkan mual, kehilangan nafsu makan, dan muntah. (Padila, 2012, hal. 82)

  1. Sistem integument

Kulit dingin

Gagal depan pada ventrikel kiri menimbulkan tanda-tanda berkurangnya perfusi ke organ-organ. Oleh karena darah dialirkan dari organ-organ non-vital demi mempertahankan perfusi kejantung dan otak, maka manifestasi paling dini dari gagal kedepan adalah berkurangnya perfusi organ-organ rangka. Kulit yang pucat dan dingin di akibatkan oleh vasokontriksi perifer, penurunan lebih lanjut dari curah jantung dan meningkatkan kadar hemoglobin tereduksi mengakibatkan sianosis. Vasokontriksi kulit menghambat kemampuan tubuh untuk melepaskan panas. Oleh karena itu, demam ringan dan keringat yang berlebihan dapat ditemukan. (Muttaqin, 2012, hal. 216)

  1. Sistem muskuloskeletal

Mudah lelah terjadi akibat curah jantung yang kurang, sehingga menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunya pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi akibat meningkatkan energi (Muttaqin, 2012, hal. 216)

  1. Sistem endrokrin

Pada pasien dengan gagal jantung, adrenalin dan noradrenalin menyebabkan jantung bekerja lebih keras, untuk membantu meningkatkan curah jantung dan mengatasi gangguan pompa jantung sebagai derajat tertentu. (Kasron S. N., 2016, hal. 188)

  1. Sistem reproduksi

Edema di mulai dari kaki dan tumit edema dependen dan secara bertahap bertambah ke atas tungkai yang pada akhirnya ke genetalia  eksterna seta tubuh bagian bawah. (Muttaqin, 2012, hal. 213)

  1. Sistem pengindraan

Pada pasien dengan gagal jantung mengalami gangguan yaitu  penurunan kontak mata. (Padila, 2012, hal. 83)

  1. Sistem imunitas

Pada pasien gagal jantung pasien dengan peningkatan arteri pulmonari mengalami peningkatan drainase limfe sepanjang waktu. (Morton & etall, 2013, hal. 515)

  1. Pemeriksaan penunjang
  • Elektro karidogram (EKG)

Digunakan untuk mengkaji frekuensi dan irama, dan juga bermanfaat dalam mendiagnosis distrimia, defek konduksi, dan IM. Selain itu, EKG sering kali digunakan untuk mengidentifikasi pembesaran atrium dan hipertrofi ventrikel. (Morton & etall, 2013, hal. 516)

  • Ekokardiografi
  1. Ekokardiografi model M (berguna untuk mengevaluasi volume baik dan kelainan regional, model M paling sering ditayangkan bersama EKG )
  2. Ekokardiografi dua dimensi (CT-scan)
  3. Ekokardiografi Doppler (memberikan pencitraan dan pendekatan transesofageal terhadap jantung).
  • Karakterisasi jantung

Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung kanan dan jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.

  • Radiografi dada

Dapat menunjukkan pembesaran jantung, banyak mencerminkan dilatasi atau hiperterapi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal.

 

  • Elektrolit

Mungkin berubah karena perpindahan cairan / penurunan fungsi ginjal, terapi deoritik

  • Oksimetri nadi

Saturasi oksigen mukin rendah terutama jika gagal jantung kongestif akut menjadi kronis.

  • Analisa gas darah (AGD)

Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respirator ringan (dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir)

  • Pemeriksaan tiroid

Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre pencetus  gagal jantung.

(Amin, 2015, hal. 20)

  1. Penatalaksanaan
  2. Terapi yang utama adalah untuk menurunkan preload (dengan venodilatasi) dan afterload (dengan cara arteriodlatasi dan perubahan volume) untuk memperbaiki aliran darah dan mengurangi gejala klinis.
  3. O2 suplemen melalui kanula hidung atau sungkup muka selama diperlukan.
  4. Diberikan terapi gangguan fungsi respirasi yang refrakter dengan CPAP atau intubasi
  5. Nitrat (sublingual dan IV) merupan terapi lini pertama untuk meredakan gejala klinis dalam waktu cepat
  6. Diuretik lengkung digunakan untuk membuat volume dan menurunkan preload (melalui venodilatasi ringan)
  7. Morfin IV diberikan untuk ansietas/rasa tidak enak dan menurunkan preload. (Jeffrey M. C., 2012, hal. 84)
  8. Pentalaksanaan berdasarkan kelas NYHA:

Kelas I : Nonfarmakologi, meliputi diet rendah garam, batasi cairan, menurunkan berat badan, menghindari alkhoholdan rokok, aktifitas fisik, manjemen stress.

Kelas II, III : Terapi pengobatan, meliputi : diuretik, vasodilator, ace inhibstor, digitalis, ACE inhibator, digitalis, dopaminoroid, oksigen.

Kelas IV : Kombinasi diuretic, digitalis, ACE inhibator, seumur hidup.

(Kasron S. N., 2016, hal. 200)

 

  1. Diagnosa keperawatan
  2. Pola nafas tidak efektif

Definisi: inspirasi dan/ atau espirasi yang tidak memberikan fentilasi adikuat.

Penyebab

  1. Depresi pusat pernafasan
  2. Hambatan upaya nafas (mis. Nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan)
  3. Deformitas dinding dada
  4. Deformitas tulang dada
  5. Gangguan neoromuskular
  6. Gangguan neurologis (mis. Elektroensefalogram [EEG] positif, cedera kepala, gangguan kejang)
  7. Imaturitas neorologis
  8. Penurunan energi
  9. Obesitas
  10. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
  11. Sindrom hipoventilitas
  12. Kerusakan inervansi diafragma
  13. Cedera pada medula spinalis
  14. Efek agen farmakologis
  15. kecemasan

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

  1. Dispnea

Objektif

  1. Pengunaan otot bantu pernafasan
  2. Fasse ekspirasi memanjang
  3. Pola nafas abnormal (mis. Takipnea, beradipnea, hiperfentilasi, kusmoul, cheyne-stokes)

Gejala tanda minor

Subjektif

Ortopnea

Objektif

  1. Pernapasan pursed-lip
  2. Pernapasan cuping hidung
  3. Diameter thoraks anterior-posterior meningkat
  4. Ventilasi semenit menurun
  5. Kapasitas vital menurun
  6. Tekanan ekspirasi menurun
  7. Tekanan inspirasi menurun
  8. Ekskursi dada berubah

Kondisi klinis terkait

  1. Depresi sistem saraf pusat
  2. Cidera kepala
  3. Trauma toraks
  4. Gullian barre syndrome
  5. Mutiple sclerosis
  6. Myasthenia gravis
  7. Stroke
  8. Kuadriplegia
  9. Intoksikasi alkohol(PPNI, 2017, hal. 26)
  10. Penurunan curah jantung

Definisi : ketidak adekuatan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.

Penyebab

  1. Perubahan irama jantung
  2. Perubahan frekuensi jantung
  3. Perubahan kontraktilitas
  4. Perubahan preload
  5. Perubahan afterload

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

  1. perubahan irama jantung
  • Palpitasi
  1. perubahan preload
  • lelah
  1. perubahan afterload
  • dispnea
  1. perubahan kontraktilitas
  • paroxysmal nocturnal dyspnea (PDS)
  • Ortopnea
  • Batuk

Objektif

  1. Perubahan irama jantung
  • Bradikardia/takikardia
  • Gambaran EKG aritmia atau gangguan konduksi
  1. Perubahan preload
  • Edema
  • Distensi vena jugularis
  • Central venous pressure (CVP) meningkat/menurun
  • Hepatomegali
  1. Perubahan afterload
  • Tekanan darah meningkat/ menurun
  • Nadi perifer teraba lemah
  • Capillary refill time >3 detik
  • Oliguria
  • Warna kulit pucat dan/atau sianosis
  1. Perubahan kontraktilitas
  • Terdengar suara jantung S3 dan/ atau S4
  • Ejection fraction (EF) menurun

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  1. Perubahan preload

(tidak tersedia)

  1. Perubahan afterload

(tidak tersedia)

  1. Perubahan kontraktilitas

(tidak tersedia)

  1. Prilaku/emosional
  • Cemas
  • Gelisah

Objektif

  1. Perubahan preload
  • Murmur jantung
  • Berat badan bertambah
  • Pulmonary artery wedge pressure (PAWP) menurun
  1. Perubahan afterload
  • Pulmonary vascular resistance (PVR) meningkat/menurun
  • Systemic vascular resitance(SVR) meningkat/menurun
  1. Perubahan kontraktilitas
  • Cardiac index (CI) menurun
  • Left ventrikular strok work indeks (LVSWI) menurun
  • Stroke volume indekx (SVI) menurun
  • Prilaku/ emosional

(tidak tersedia)

Kondisi klinis terkait

  1. Gagal jantung kongestif
  2. Sindrom koroner akut
  3. Stenosis mitral
  4. Regurgitasi mitral
  5. Stenosis aorta
  6. Regurgutasi aorta
  7. Stenosis triskupidal
  8. Regurgitasi trikuspital
  9. Stenosis trikuspidal
  10. Regurgitasi pulmonal
  11. Aritmia
  12. Penyakit jantung bawaan (PPNI, 2017, hal. 34)
  13. Gangguan pertukaran gas

Definisi: Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolus-kapiler.

Penyebab

  1. Ketidak seimbangan ventilasi-perfusi
  2. Perubahan membran alveolus-kapiler

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

  1. Dispnea

Objektif

  1. PCO2 meningkat/menurun
  2. PO2 menurun
  3. Takikkardia
  4. pH arteri meningkat/menurun
  5. Bunyi napas tambahan

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  1. Pusing
  2. Penglihatan kabur

Objektif

  1. Sianosis
  2. Diaforesis
  3. Gelisah
  4. Napas cuping hidung
  5. Pola napas abnormal (cepat/lambat, regular/iregular, dalam/dangkal)
  6. Warna kulit abnormal (mis.pucat, kebiruan)
  7. Kesadaran menurun

Kondisi klinis terkait

  1. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
  2. Gagal jantung kongestif
  3. Asma
  4. Pneumonia
  5. Tuberkulosis paru
  6. Penyakit membran hialin
  7. Asfiksia
  8. Persistent pulmonary hypertension of newbom (PPHN)
  9. Prematuritas
  10. Infeksi saluran napas  (PPNI, 2017, hal. 22)
  11. Defisit nutrisi

Definisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme

Penyebab

  1. Ketidakmampuan menelan makanan
  2. Ketidakmampuan mencerna makanan
  3. Ketidakmampuan mengabsorsi nutrient
  4. Peningkatan kebutuhan metabolism
  5. Factor ekonomi (mis, finansial tidak mencukupi)
  6. Factor psikologis (mis, stress, keenganan untuk makan)

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

(tidak tersedia)

Objektif

  1. Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

  1. Cepat kenyang saat makan
  2. Kram/nyeri abdomen
  3. Nafsu makan menurun

 

Objektif

  1. Bising usus hiperaktif
  2. Otot pengunyah lemah
  3. Otot menelan lemah
  4. Membran mukosa pucat
  5. Sariawan
  6. Serum albumin turun
  7. Rambut rontok berlebihan
  8. Diare

Kondisi klinis terkait

  1. Stroke
  2. Parkinson
  3. Mobius syndrome
  4. Cerebral palsy
  5. Cleft lip
  6. Cleft palate
  7. Amyotropic lateral sclerosis
  8. Kerusakan neuromuscular
  9. Luka bakar
  10. Kangker
  11. Infeksi
  12. AIDS
  13. Penyakit crohns
  14. Enterokolistik
  15. Fibrosis kistik (PPNI, 2017, hal. 56)
  16. Itoleransi aktifitas

Definisi: ketidakcakupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Penyebab:

  1. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
  2. Tirah baring
  3. Kelemahan
  4. Imobilitas
  5. Gaya hidup monoton

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

  1. Mengeluh lelah

Objektif

  1. Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  1. Dispnea saat/setelah aktivitas
  2. merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
  3. Merasa lemah

Objektif

  1. Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat
  2. Gambaran EKG menunjukkan aritmia saat/setalah aktivitas
  3. Gambaran EKG menunjukkan iskemia
  4. Sianosis

Kondisi klinis terkait

  1. Anemia
  2. Gagal jantung kongestif
  3. Penyakit jantung koroner
  4. Penyakit katup jantung
  5. Aritmia
  6. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
  7. Gangguan metabolik
  8. Gangguan muskuloskeletal(PPNI, 2017, hal. 128)
  9. Nyeri

Definisi: pengalaman sensoris atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat berintensitas ringgan berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.

Penyebab

  1. Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasama)
  2. Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan)
  3. Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengankat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

  1. Mengeluh nyeri

Objektif

  1. Tampak meringis
  2. Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghidari nyeri)
  3. Gelisah
  4. Frekuensi nadi meningkat
  5. Sulit tidur

Gejala tanda minor

Subjektif

(tidak tersedia)

Objektif

  1. Tekanan darah meningkat
  2. Pola napas berubah
  3. Nafsu makan berubah
  4. Proses berpikir terganggu
  5. Menarik diri
  6. Berfokus pada diri sendiri
  7. Diaforesis

Kondisi klinis terkait

  1. Kondisi pembedahan
  2. Cedera traumatis
  3. Infeksi
  4. Sindrom koroner akut
  5. Glaukoma(PPNI, 2017, hal. 172)
  6. Asientas

Definisi :Kondisi emosi pengalaman subjektif individu terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman

Penyebab:

  1. Krisis situasional,
  2. Kebutuhan tidak terpenuhi
  3. Krisis maturasional
  4. Ancaman terhadap konsep diri
  5. Ancaman terhadap kematian
  6. Kekhawatiran mengalami kegagalan
  7. Disfungsi sistem keluarga
  8. Hubungan orang tua-anak tidak memuaskan
  9. Factor keturunan (tempramen mudah teragitas sejak lahir)
  10. Peyalahgunaan zat
  11. Terpapar bahaya lingkungan (mis, toksin, polutan, dan lain-lain)
  12. Kurang terpapar informasi

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

  1. Merasa bingung
  2. Merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi
  3. Sulit berkonsentrasi

Objektif

  1. Tampak gelisah
  2. Tampak tegang
  3. Sulit tidur

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  1. Mengeluh pusing
  2. Anoreksia
  3. Palpitasi
  4. Merasa tidak berdaya

Objektif

  1. Frekuensi napas meningkat
  2. Frekuensi nadi meningkat
  3. Tekanan darah meningkat
  4. Diaphoresis
  5. Tremor
  6. Muka tampak pucat
  7. Suara bergetar
  8. Kontak mata buruk
  9. Sering berkemih
  10. Beroreitasi pada masa lalu

Kondisi klinis terkait

  1. Penyakit kronis progresif (mis, kanker, penyakit autoimun)
  2. Penyakit akut
  3. Hospitalisasi
  4. Rencana operasi
  5. Kondisi diagnosis penyakit belum jelas
  6. Penyakit neurologis
  7. Tahap tumbuh kembang(PPNI, 2017, hal. 180)

 

 

 

 

  1. Intervensi
  2. Pola napas tidak efektif
  • Tujuan

Menunjukkan pola pernapasan efektif, yang dibuktikan oleh status pernapasan: status ventilasi dan pernapasan yang tidak terganggu: kepatenan jalan napas; dan tidak ada penyimpangan tanda vital dari rentang normal.

  • Kriteria hasil
  1. Menunjukkan pernapasan optimal pada saat terpasang ventilator mekanis
  2. Mempunyai kecepatan dan irama pernapasan dalam batas normal
  3. Mempunyai fungsi paru dalm batas normal untuk pasien
  4. Meminta bantuan pernapasan saat dibutuhkan
  5. Mampu mengambarkan rencana untuk perawatan dirumah
  • Intervensi (NIC)

Aktivitas keperawatan

Pada umumnya, tindakan keperawatan untuk diagnosis ini berfungsi pada pengkajian penyebab ketidakefektifan pernapasan, pemantauan status pernapasan, penyuluhan mengenai penatalaksanaan mandiri terhadap alergi, membimbing pasien untuk memperlambat pernapasan dan mengendalikan respons dirinya, membantu pasien menjalani penobatan pernapasan, dan menenangkan pasien selama periode dispnea dan napas pendek.

Pengkajian

  1. Pantau adanya pucat sianosis
  2. Pantau efek obat pada status pernapasan
  3. Tentukan lokasi dan luasnya repitasi di sangkar iga
  4. Kaji kebutuhan insersi jalan napas
  5. Observasi dan dokumentasi ekspansi dada bilateral pada pasien yang terpasang ventilator

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki pola pernapasan.
  2. Diskusikan perencanaan untuk perawatan dirumah, meliputi pengobatan, peralatan pendukung, tanda dan gejala komplikasi yang dapat dilaporkan, sumber-sumber komunitas.
  3. Diskusikan cara menghindari allergen, sebagai contoh: Memeriksa rumah untuk adanya jamur di dinding rumah
  4. Tidak menggunakan karpet di lantai
  5. Menggunakan filter elektronik alat perapian dan AC
  6. Ajarkan teknik batuk efektif
  7. Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa tidak boleh merokok di dalam ruangan
  8. Instruksikan kepada pasien dan keluarga bahwa mereka harus memberitahu perawat pada saat terjadi ketidakefektifan pola pernapsan

Aktivitas kolaboratif

  1. Konsultasi dengan ahli terapi pernapasan untuk memastikan keadekuatan fungsi ventilator mekanis
  2. Laporkan perubahan sensori, bunyi napas, nilai GDA, sputum dan sebagainya, jika perlu atau sesuai protokol
  3. Berikan obat (misalnya, bronkodilator) sesuai dengan program atau protokol
  4. Berikan terapi nebulizer ultrasonic dan udara atau oksigen yang dilembabkan sesuai program atau protokol sesuai institusi
  5. Berikan obat nyeri untuk mempertimbangkan pola pernapasan (Wilkinson, 2015, hal. 99)

 

 

 

  1. Penurunan curah jantung
  • Tujuan

Menunjukkan curah jantung yang memuaskan, dibuktikan oleh efektivitas pompa jantung, status sirkulasi, perfusi jaringan (organ abdomen, jantung, serebral, perifer, dan pulmonal), dan perfusi jaringan (perifer); dan status tanda vital.

  • Kriteria hasil
  1. Mempunyai indeks jantung dan fraksi ejeksi dalam batasa normal
  2. Mempunyai haliaran urin, berat jenis urin, blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin plasma dalam batas normal
  3. Mempunyai warna kulit yang normal
  4. Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas fisik (mis;tidak mengalami dispnea, nyeri dada, sinkope)
  • Intervensi (NIC)

Aktivitas keperawatan

Pada umumnya, tindakan keperawatan untuk diagnosis ini berfokus pada pemantauan tanda-tanda vital dab gejala penurunan curah jantung, pengkajian penyebab yang mendasari (mis; hipovolemia, disritmia), pelaksanaan protokol atau program dokter untuk mengatasi penurunan curah djantung, dan pelaksanaan tindakan dukungan, seperti perubahan posisi dna hidrasi.

Pengkajian

  1. Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis, status pernafasan, dan status mental.
  2. Pantau tanda kelebihan cairan (misalnya, edema dependen, kenaikan berat badan)
  3. Kaji toleransi aktifitas pasien dengan memperhatikan adanya awitan nafas pendek, nyeri, palpitasi, atau limbung.
  4. Evaluasi respon pasien terhadap terapi oksigen
  5. Kaji kerusakan kognitif

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Jelaskan tujuan pemberian oksigen per kanula nasal atau sungkup
  2. Instruksikan mengenai pemeliharaan keakuratan asupan dan haluaran
  3. Ajarkan penggunaan dosis, frekuensi dan efek samping obat
  4. Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan palpitasi, dan nyeri, durasi, faktor pencetus, daerah, kualitas, dan intensitas.
  5. Instruksikan pasien dan keluarga dalam perencanaan untuk perawatan di rumah meliputi pembatasan aktivitas, pembatasan diet, dan penggunaan alat terapeutik.
  6. Berikan informasi tentang teknik penurunan stres, seperti biofeedback, relaksasi otot progresif, mediasi, dan latihan fisik.
  7. Ajarkan kebutuhan untuk menimbang berat badan setiap hari.

Aktivitas kolaboratif

  1. Konsultasikan dengan dokter menyangkut parameter pemberian atau penghentian obat tekanan darah
  2. Berikan dan titrasikan obat anti aritmia, inetropik, nitrokliserin, dan vasodilator untuk mempertahankan kontraktilitas, preload, dan afterload sesuai dengan program medis atau protokol.
  3. Berikan anti koagulan untuk mencegah pembentukan trombosit perifer, sesuai dengan program atau protokol
  4. Tingkatkan penurunan afterload ( misalnya dengan pompa balon intra aorta) sesuai dengan program medis atau protokol
  5. Lakukan perujukan ke perawat praktisi lanjutan untuk tindak lanjut jika diperlukan
  6. Pertimbangkan petunjuk ke petugas sosial, manajer kasus, atau layanan kesehatan komunitas dan layanan kesehatan dirumah
  7. Lakukan perujukan ke petugas sosial utnuk mengevaluasi membayar obat yang diresepkan
  8. Lakukan perujukan ke petugas rehabilitasi jantung jika diperlukan.(Wilkinson, 2015, hal. 108)
  9. Gangguan pertukaran gas
  • Tujuan

Gangguan pertukaran gas akan berkurang, yang dibuktikan oleh tidak terganggunya respon alergi: orang dewasa, status pernapasan: pertukaran gas, status pernapasan: ventilasi, perfusi jaringan paru, dan tanda- tanda vital

  • Kriteria hasil
  1. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
  2. Memiliki ekspansi paru yang simetis
  3. Menjelaskan rencana keperawatan dirumah
  4. Tidak mengunakan pernapasan bibir mencucu
  5. Tidak mengalami napas dangkal atau ortopnea
  6. Tidak menggunakan otot aksesoris untuk bernapas
  • Intervensi (NIC)

Aktifitas keperawatan

Pengkajian

  1. Kaji suara paru, frekuensi napas, kedalaman, dan usaha napas; dan produksi sputum sebagai indikator keefektifan penggunaan alat penunjang
  2. Pantau saturasi O2 dengan oksimeter nadi
  3. Pantau hasil gas darah (misalnya,kadar PaO2 yang tinggi, dan PaCO2 yang menunjukan perburukan pernapasan)
  4. Pantau kadar elektrolit
  5. Pantau status mental (misalnya, tingkat kesadaran, gelisah, dan konfusi)
  6. Peningkatan frekuensi pemantauan pada saat pasien tampak somolen
  7. Observesi terhadap seanosis, terutama membran mukosa mulut

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Jelaskan penggunaan alat bantu yang diperlukan (oksigen, penghisap, spirometer, dan IPPB)
  2. Ajarkan kepada pasien teknik bernafas dan relaksasi
  3. Jelaskan kepada pasien dan keluarga alasan pemberian oksigen dan tindakan lainnya
  4. Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa rokok itu dilarang
  5. Manajemen jalan nafas (NIC):

Ajarkan tentang batuk efektif

Ajarkan kepada pasien bagaimana menggunakan inhaler, sesuai dengan kebutuhan

Aktivitas kolaboratif

  1. Konsultasikan dengan dokter tentang pentingnya pemeriksaan gas darah arteri (GDA) dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan sesuai dengan adanya perubahan kondisi pasien
  2. Laporkan perubahan pada data pengkajian terkait (misalnya: sensorium pasien, suara nafas, pola nafas, analisis gas darah arteri, sputum, efek obat)
  3. Berikan obat yang diresepkan (misalnya natrium bikarbonat) untuk mempertahankan keseimbangan asam basa
  4. Persiapkan pasien untuk ventilitas mekanik, bila perlu.(Wilkinson, 2015, hal. 323)
  5. Devisit nutrisi
  • Tujuan: memperlihatkan status gizi : asupan makanan dan cairan, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak adekuat, sedikitadekuat, cukup adekuat, adekuat, sangat adekuat): makanan oral, pemberian makanan lewat selang, atau nutrisi pariental total
  • Kriteria hasil
  1. Mempertahakan berat badan……kg atau bertambah…..kg

Pada….(sebutkan tanggal)

  1. Menjelaskan komponen diet bergizi adekuat
  2. Mengungkapkan tekat untuk mematuhi diet
  3. Menoleransi diet yang dianjurkan
  4. Mempertahankan masa tubuh berat badan dalam masa normal
  • Intervensi (NIC)

Aktifitas keperawatan

Pengkajian

  1. Tetukan motifasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan.
  2. Pantau nilai laboratorium, khususnya transferin, albumin, dan elektrolit

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Ajakarkan metode untuk perencanaan makan
  2. Ajarkan pasien/keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal

Aktivitas kolaboratif

  1. Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein pasien yang mengalami ketidak adekuatan asupan protein atau kehilangan protein
  2. Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan, maknan pelengkap, pemberian makan melalui selang, atau nutrisi pariental total agar asupan kalori yanga dekuat dapat dipertahankan
  3. Rujuk pada dokter untuk menentukan penyebab gangguan nutrisi
  4. Rujuk program gizi di komunitas yang tepat, jiak pasien tidak dapat membeli atau menyiapkan maknan yang adekuat (Wilkinson, 2015, hal. 506)
  5. Itoleransi aktifitas
  • Tujuan

Menoleransi aktifitas yang biasa dilakukan, yang dibuktikan oleh toleransi aktivitas, ketahanan, penghematan energi, kebugaran fisik, energi psikomotor dan perawatan diri.

  • Kriteria hasil
  1. Mengidentifikasi aktifitas atau situasi yang menimbulakan kecemasan yang dapat mengakibatkan itoleransi aktiviatas
  2. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang dibutuhkan dengan peningkatan normal denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan tekana darah serta memantau pola dalam batas normal.
  3. Pada (target) akan mencapai tignkat aktivitas (uraikan tingkat yang diharapkan dari daftar penggunaan.
  4. Mengungkapkan secara verbal pembahasan tentang kebutuhan oksigen, obat, dan/ atau peralatan yang dapat meningkatkan toleransi terhadap aktivitas.
  5. Menampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dengan beberapa bantuan ( misalnya, eliminasi dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar mandi.

Aktivitas keperawatan (NIC)

Pengkajian

  1. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi dan melakukan AKS dan AKSI.
  2. Kaji respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktifitas.
  3. Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas penyuluhan untuk pasien/keluarga.

Penyuluhan untuk pasien/ keluarga

  1. Penggunaan teknik nafas terkontrol selama aktivitas selama perlu
  2. Mengenali tanda dan gejala intoleransi aktivitas, termasuk kondisi yang perlu dilaporkan kepada dokter
  3. Pentingkan nutrisi yang baik
  4. Penggunaan peralatan, seperti oksigen, selama aktivitas.
  5. Penggunaan teknik relaksasi (misalnya, distraksi, visualisasi) dan aktivitas.

Aktivitas kolaboratif

  1. Berikan pengobatan nyeri sebelum aktifitas apabila nyeri merupakan salah satu faktor penyebab.
  2. Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik (misalnya, latihan ketahanan), atau reaksi untuk merencanakan dan memantau program aktivitas, jika perlu.
  3. Untuk pasien yang mengalami sakit jiwa, rujuk ke pelayanan kesehatan jiwa di rumah.
  4. Rujuk pasien ke pelayanan kesehatan dirumah untuk mendapatkan pelayanan bantuan perawatan rumah, jika perlu.
  5. Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet, guna meningkatkan asupan makanan yang kaya energi.(Wilkinson, 2015, hal. 26)
  6. Nyeri
  • Tujuan

Memperlihatkan pengendalian nyeri yang dibuktikan indikator sebagai berikut ( sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu).

  • Kriteria evaluasi
  1. Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual secara efektif untuk mencapai kenyamanan
  2. Mempertahankan tingkat nyeri pada …. atau kurang (dengan skala 0-10).
  3. Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
  4. Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk memodifikasi faktor tersebut
  5. Melaporkan nyeri kepada penyedia kesehatan
  6. Menggunkana tindakan meredakan nyeri dengan analgesik dan analgesik secara tepat

Aktivitas keperawatan

Pengkajian

  1. Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan utama untuk mengumpulkan informasi pengkajian
  2. Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0-10 (0= tidak ada nyeri/ketidaknyamanan, 10=nyeri hebat)
  3. Gunakan bagian alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh analgesik dan kemungkinan efek sampingnya.
  4. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri/ respon pasien

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien, obat khusus yang harus diminum, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping, kemungkinan intraksi obat, kewaspadaan khusus saat mengkonsumsi obat tersebut ( misalnya, pembatasan aktifitas fisik, pembatasan diet), dan nama orang yang harus dihubungi bila mengalami nyeri membandel.
  2. Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaan nyeri tidak tercapai.
  3. Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan
  4. Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik, narkotik atau apioit (resiko ketergantungan atau over dosis)

Aktifitas kolaboratif

  1. Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiat yang terjadwal (misalnya, setiap 4 jam selama 36 jam atau PCA)(Wilkinson, 2015, hal. 532)
  2. Ansietas
  • Tujuan

Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang, dan selalu menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas, konsentrasi, dan koping.

  • Kriteria hasil
  1. Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan meskipun mengalami kecemasan.
  2. Menunjukkan kemampuan untuk berfokus kepada pengetahuan dan keterampilan yang baru
  3. Mengidentifikasi gejala yang merupakan indikator ansietas pasien sendiri
  4. Mengkomunikasikan kebutuhan dan perasaan negatif secara tepat
  5. Memiliki tanda-tanda vital dalam batas normal

Aktivitas keperawatan

pengkaijan

  1. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk reaksi fisik, setiap …………
  2. Kaji untuk faktor budaya (misalnya, konflik nilai) yang menjadi penyebab ansietas
  3. Gali bersama pasien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan ansietas di masa lalu

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Buat rencana penyuluhan dengan tujuan yang realistis termasuk kebutuhan untuk pemulangan, dukungan dan pujian terhadap tugas-tugas yang sedang dipelajari
  2. Berikan informasi mengenai sumber komunitas yang tersedia seperti teman, tetangga, kelompok swabantu, tempat ibadah, lembaga sukarelawan, dan pusat rekreasi.
  3. Informasikan tentang gejala ansietas
  4. Ajarkan anggota keluarga bagaimana membedakan antara serangan panik dan gejala penyakit fisik.

Aktivitas kolaboratif

  1. Penurunan ansietas (NIC: berikan obat untuk menurunkan ansietas jika perlu).(Wilkinson, 2015, hal. 48)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Amin, H. (2015). Nanda NIC-NOC. Jogjakarta: Medi Action.

 

Jeffrey M. C., M. (2012). Master Plan Kedaruratan Medik. Tangerang: Binarupa Aksara..

 

Kasron, S. K. (2016). Keperawatan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Trans Info Media.

 

Morton, P. G. (2013). Keperwatan kritis. Jakarta: buku kedokteran EGC.

 

Muttaqin, A. (2012). Asuhan keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular dan Hematologi. jakarta: salemba medika.

 

Padila, S. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

 

PPNI, t. p. (2017). Standar diagnosis keperawatan indonesia. jakarta: dewan pengurus pusat.

 

Wilkinson, J. M. (2015). Buku Saku Diagnosis Keperawatan EDISI 9. Jakarta: EGC.

           

Posted in Keperawatan Medikal Bedah | Leave a comment

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN TBC

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya pememuan kerusakan tulang vertebra toraks yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zama neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir Kuno pada tahun 2000-4000 SM. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi phthisis yang diangkat daribahasa yunani yang menggambarkan tampil TB paru ini. Bukti yang lain dari Mesir, pada mummi-mummi yang berasal dari tahun 3500 SM, Jordania (300 SM), Scandinavia (200-400 SM), Nesperehan (1000 SM), Peru (700 SM), United Kingdom (200-400 SM) masing-masing dengan fosil tulang manusia yang melukiskan adanya pott’s disease atau abses paru yang berasal dari tuberkulosis, atau terdapat lukisan orang-orang bongkok tulang belakang karena sakit spondilitis TB.

Di Indonesia sendiri TB masih merupakan masalah uatama kesehatan masyarakan, ditunjang oleh beberapa fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina. Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 5 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas pada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi. (Putro & Sardikin, 2012, hal. 30)

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosis (M. tb) dan menyerang organ pernapasan. Mycrobacterium tuberculosis merupakan kuman yang hidup sebagai parasit intraseluler dan berkembang biak di dalam tubuh. Penularannya dapat terjadi dari penderita ke orang lain melalui percik renik. Percik renik berdiameter 1-5 ¼ mm yang terhisap dan mengifeksi paru. Percik renik dikeluarkan penderita sebagai sumber infeksi pada saat bicara atau batuk dan menular ke organ lain saat terjadi kontak dan dapat bertahan di udara selama berjam-jam bahkan beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksi terjadi apabila oranang menghirup percik renik yang mengandung M. tb, gejala penyakit timbul beberapa saat setelah infeksi pada umumnya respons imun terbentuk dalam 2-12 minggu setelah infeksi. (Putro & Sardikin, 2012, hal. 30)

 

  1. Batasan Masalah

Studi pada asuhan keperawatan ini difokuskan pada konsep penyakit Tuberkulosis paru dan konsep asuham keperawatan Tuberkulosis paru.

 

  1. Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan pasien yang mengalami Tuberkulosis paru?

 

  1. Tujuan
  2. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu menganalisis asuhan keperawatan pasien yang mengalami Tuberkulosis paru

  1. Tujuan Khusus
  2. Memahami konsep penyakit Tuberkulosis paru
  3. Memahami konsep asuhan keperawatan Tuberkulosis paru

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

  1. Konsep Penyakit
  2. Definisi

TB paru adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi. (Manurung N. , 2016, hal. 46)

TB Paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosi jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita ke orang lain. (Manurung S. , 2013, hal. 105)

Penyakit yang biasanya terletak di paru, tetapi dapat mengenai orang lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit yang aktif, biasa terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan kematian. (Suprapto & Imam, 2013, hal. 157)

 

  1. Etiologi

TB merupakan penyakit menural yang disebabkan oleh Mycrobacterium Tuberculosis, suatu bakteri aerob yang tahan-asam (acid fast bacillus). TB merupakan infeksi melalui udara dan pada umumnya didapatkan dengan inhilasi partikel kecil (diameter 1 hingga 5 mm) yang mencapai alveolus. Droplet tersebut keluar saat berbicara, batuk, tertawa, atau bersin. Droplet nuklei terinfeksi kemudian dapat terhirup oleh orang yang rentan (inang). Sebelum terjadi infeksi paru, organisme yang terhirup harus melewati mekanisme pertahanan paru dan menembus jaringan paru.

Paparan singkat dengan TB biasanya tidak menyebabkan infeksi. Orang yang paling umum terserang infeksi adalah orang sering melakukan kontak dekat berulang dengan orang yang terinfeksi yang penyakitnya masih belum terdiagnosis. (Black & Hawks, 2014, hal. 319)

 

  1. Tanda dan Gejala

Pada stadium awal penyakit TB paru tidak menunjukan tanda dan gejala yang spesifik. Namun seiring dengan perjalanan penyakit akan menambahkan jaringan parunya mengalami kerusakan, sehingga dapat meningkatkan produksi sputum yang ditunjukan dengan seringnya klien batuk sebagai bentuk kompensasi pengeluaran dahak.

Selain itu, klien dapat merasa letih, lemah, berkeringat pada malam hari dan mengalami penurunan berat badan yang berarti.

Secara rinci tanda dan gejala TB paru ini dapat dibagi atas 2 golongan yaitu gejala sistematik dan gejala respiratorik

Gejala sistematik adalah:

  1. Merupakan gejala pertama dari tuberkulosis paru, biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip demam influenza yang segera mereda. Tergantung dari daya tahan tubuh dan virulensa kuman, serangan demam yang berikut dapat tidak terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan. Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40o – 41o C.
  2. Karena tuberkulosis bersifat radang menahun, maka dapat terjadi rasa tidak enak badan, pegel-pegel, nafsu makan berkurang, bidang makin kurang, sakit kepala, mudah lelah dan pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan siklus haid.(Manurung S. , 2013, hal. 107)

Gejala respiratorik adalah:

  1. Baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkhus. Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkhus; selanjutnya akibat adanya peradangan pada bronkhus, batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna untuk membuang produk-produk ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid atau purulen.(Manurung S. , 2013, hal. 107)
  2. Batuk darah. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah, berat dan ringannya batuk darah yang timbul tergantung daribesar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada dinding kavitas, juga dapat terjadi karena ulserasi pada mukosa bronkhus.(Manurung S. , 2013, hal. 108)
  3. Sesak nafas. Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah di temukan.(Manurung S. , 2013, hal. 108)
  4. Nyeri dada. Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan yang terdapat di pleura tertekan, gejala ini dapat bersifat lokal atau pleuritik.(Manurung S. , 2013, hal. 108)

 

  1. Patofisiologi

Kuman tuberkulosis mauk ke dalam tubuh melalui udara pernapasan. Bakteri yang terhirup akan dipindahkan melalui jalan napas ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan memulai untuk memperbanyak diri. Selain itu bakteri juga dapat di pindahkan melalui sistem limfe dan cairan darah ke bagian tubuh yang lainnya.

Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit menekan banyak bakteri, limposit spesifik tuberkulosis menghancurkan bakteri dan jaringan normal.

Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli yang dapat menyebabkan bronchopneunomia. Infeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah pemajaman.

Massa jaringan baru yang disebut granuloma merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan sudah mati dikelilingi oleh makrofag dan membentuk dinding protektif granuloma diubah menjadi jaringan fibrosa bagian sentral dari fibrosa ini disebut “TUBERKEL” bakteri dan makrofag menjadi nekrotik membentuk massa seperti keju.

Setelah pemajaman dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit taktif karena penyakit tidak adekuatnya sistem imun tubuh. Peyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri. Tuberkel memecah, melepas, melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronchi. Tuberkel yang pecah menyembuh dan membentuk jaringan parut paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak dan mengakibatkan terjadinya bronkhopneunomia lebih lanjut. (Manurung S. , 2013, hal. 105)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pathway TB paru

Invasi bakteri tuberkulosis via ihalasi
Infeksi primer
Sembuh dengan fokus ghon
Sembuh
Penyebaran bakteri secara bronkongen , limfogen, dan hematogen
Bakteri muncul beberapa tahun kemudia
Reaksi infeksi/inflamasi, membentuk kavitas dan merusak parenkin paru
Penurunan jaringan efektif paru, arelaktasis, kerusakan membran alveolar-kapiler merusak pleura, dan perubahan cairan intrapleura
Komplikasi TB paru:

·         Efusi pleura

·         Pneunomothoraks

·         Edema trakeal/faringeal

·         Peningkatan produksi sekter

·         Pecahnya pembuluh darah jalan napas

Sesak napas, penggunaan obat bantu napas, dan pola napas tidak efektif
Reaksi sitematis:

Anoreksia, mual, muntah, demam, penurunan berat badan, dan kelemahan

·         Pola napas tidak efektif

·         Gangguan pertukaran gas

·         Batuk produktif

·         Ba tuk darah

·         Sesak napas

·         Penurunan kemampuan batuk efektif

·         Ketidakefektifan bersihan jalan napas

·         Resiko tinggi sufokasi

·         Intake nutrisi tidak adekuat

·         Tubuh makin kurus

·         Ketergantugan aktivitas sehari-hari

·         Kurangnya pemenuhan istirahat dan tidur

·         Kecemasan

·         Kurangnya informasi

·         Perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan

·         Gangguan  pemenuhan ADL (Activity Daily Living)

·         Gangguan pemenuhan istirahat dan tidur

·         Kecemasan

·         Ketidaktahuan/pemenuhan informasi

Sembuh dengan fimbrotik
Infeksi pasca-primer reaktivitas
Bakteri dorman

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(Muttaqin, 2012, hal. 89)

  1. Klasifikasi
  2. Tuberculosis Paru
  3. Bekas Tuberculosis Paru
  4. Tuberkulosis Paru Tersangka

Yang terdiri atas:

  • Tuberkulosis paru tersangka yang diobati

Disini sputum BTA (-), tetapi tanda lain/radiologik (+)

  • Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati

Disini sputum BTA (-), tanda-tanda lain/radiologik juga meragukan

Dalam tiga bulan TB paru tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk TB paru aktif atau bekas TB paru. (Manurung N. , 2016, hal. 48)

 

  1. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul pada klien TB paru dapat berupa:

  1. Malnutrisi

Meningkatnya seputum pada saluran napas secara tidak langsung akan memengaruhi sistem persarafan khususnya saluran cerna, akibatnya klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan sehingga kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi dan mengalami penurunan berat badan

  1. Empiema

Bakteri Mycrobacterium tuberculosis yang menginfeksi paru-paru menyebabkan akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya (ruang pleuran), pus ini berisi sel-sel darah putih yang berperan untuk melawan agen infeksi dan juga berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan. Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri.

  1. Efusi pleura

Pada tuberkulosis komplikasi efusi pleura timbul karena reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, sehingga meningkatkan permebilitas dinding pembuluh darah pleura Peradangan pleura akan menyebabkan permebiliti dinding kapiler meningkat sehingga cairan dan protein yang melewati dinding itu akan meningkat maka terbentuk efusi pleura.

  1. Hepatitis, ketulian dan gangguan gastrointestinal (sebagai efek samping obat-obatan).(Manurung S. , 2013, hal. 112)
  2. Konsep Asuhan Keperawatan
  3. Pengkajian
  4. Identitas

Penyakit tiberculosis (TB) dan dapat menyerang manusia mulai dari usia anak sampai dewasa dengan perbandingan yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan pada pasien yang tinggal di daerah dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga masuknya cahaya matahari ke dalam rumah sangat minim. (Somantri, 2012, hal. 68)

  1. Status kesehatan saat ini
  • Keluhan Utama

Keluhan yang sering menyebabkan klien TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu keluhan repiratoris yang meliputi: batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Dan keluhan sistematis meliputi: demam, keluhan lain (keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan dan malaise). (Muttaqin, 2012, hal. 82)

  • Alasan Masuk Rumah Sakit

Biasanya klien mengeluh batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada (Muttaqin, 2012, hal. 82)

  • Riwayat Penyakit Sekarang

Provoking: keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan masalah yang paling sering di keluhkan.

Quality: mula-mula batuk non produktif

Reglon: batuk darah biasanya terjadi karena adanya ulkus pada dinding broncus

Seaverity: batuk darah biasanya di keluarkan dalam bentuk gumpalan-gumpalan maupun dalam bentuk segar

Time: dari penjelasan sebelumnya, keluhan batuk biasanya timbul mendadak dan berkurang setelah minum obat batuk yang biasa ada di pasaran. (Muttaqin, 2012, hal. 85)

 

 

 

 

  1. Riwayat kesehatan terdahulu
  • Riwayat Penyakit Sebelumnya

Sebelumnya klien pernah menderita TB paru, kelhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memberatkan TB paru seperti diabetes melitus. (Muttaqin, 2012, hal. 86)

  • Riwayat Penyakit Keluarga

Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat menanyakan  apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi penularan di dalam rumah. (Muttaqin, 2012, hal. 86)

  • Riwayat Pengobatan

Mengenai obat-bat yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang relevan, obat-obat meliputi obat OAT dan antitusif. Adanya efek samping yang terjadi di masa lalu.

  1. Pemeriksaan Fisik
  • Keadaan umum
  1. Kesadaran

Kesadaran klien yang terdiri atas compos metis, apatis, somnolen, sopor, atau koma.

  1. Tanda-tanda vital

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapat peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya peyakit penyulit seperti hipertensi. (Muttaqin, 2012, hal. 86)

  • Body System
  1. Sistem pernapasan

Inspeksi

Umunya bentuk dada simetris (kecuali jika ada kelainan), gerakan pernapasanya cepat, apnea, takipnea, retraksi sela iga. (Muttaqin, 2012, hal. 87)

 

 

 

Palpasi

Umunya pada pasien tuberkulosis paru tanpa komplikasi pada saat palapasi gerakan dada saat napas normal dan seimbang antara kanan dan kiri. (Muttaqin, 2012, hal. 87)

Perkusi

Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi serta efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sakit sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. (Muttaqin, 2012, hal. 88)

Auskultasi

Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit. (Muttaqin, 2012, hal. 88)

  1. Sistem kardiovaskuler

Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:

Inspeksi: inspeksi tentang adanya parut pada dan keluhan kelemahan fisik

Palpasi: denyut nadi perifer melemah

Perkusi: batas atas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura masif terdorong ke sisi sehat

Auskultasi: tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak didapatkan. (Muttaqin, 2012, hal. 88)

  1. Sistem persarafan

Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan wajah meringis, menangis, merintih, merengang, dan mengeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya konjungtiva anemis pada TB paru dengan hemoptoe masif dan kronis, dan sklera ikterik pada TB paru dengan gangguan fungsi hati. (Muttaqin, 2012, hal. 88)

  1. Sistem perkemihan

Inspeksi: oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama Rifanpisin.

Palpasi: tidak ada kelainan pada bladder kecuali adanya komplikasi yang menyertai. (Muttaqin, 2012, hal. 88)

  1. Sistem pencernaan

Meningkatnya seputum pada saluran napas secara tidak langsung akan memengaruhi sistem persarafan khususnya saluran cerna. Klien mungkin akan mengeluh tidak nafsu makan, disertai dengan batuk, pada akhirnya klien akan mengalami penurunan berat badan yang signifikan(badan terlihan kurus). (Somantri, 2012, hal. 70)

  1. Sistem integument

Inspeksi: turgor kulit buruk, kering, bersisik, hilang lemak subkutis

Palpasi: suhu badan klien biasanya meningkat 40o – 41o C. (Manurung S. , 2013, hal. 107)

  1. Sistem muskuloskelet

Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien TB paru. Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, dan jadwal olahraga menjadi tidak teratur. (Muttaqin, 2012, hal. 89)

  1. Sistem endokrin

Inspeksi: terdapat pembengkakan pada kelenjar getah bening persisten.

Palapsi: pembesaran getah bening teraba. (Sudoyo. dkk, 2009, hal. 2246)

  1. Sistem reproduksi

Tidak terjadi kelainan pada sistem reproduksi kecuali jika adanya penyakit yang menyertai. (Black & Hawks, 2014, hal. 321)

  1. Sistem pengindraan
  • Mata

Scelar ikterik pada TB paru dengan gaguan fungsi hati. (Muttaqin, 2012, hal. 88)

  • Telinga

Tidak terdapat kelainan pada telingan kecuali jika adanya komplikasi penyakit telinga yang menyertai. (Manurung S. , 2013, hal. 106)

  • Hidung

Tidak terdapat kelainan pada hidung kecuali jika adanya komplikasi penyakit hidung yang menyertai. (Manurung S. , 2013, hal. 106)

  1. Sistem imun

Sistem imun yang non spesifik dapat menyebabkan bakteri mycrobakterium tuberkulosis berkembang biak karena sistem imun merupakan yang paling berperan dalam penyebaran bakteri. (Sudoyo. dkk, 2009, hal. 2247)

 

  1. Pemeriksaan penunjang

Tes Diagnostic

Untuk menegakkan diagnosa TB Paru, maka test diagnostik yang sering dilakukan pada klien adalah:

  • Pemeriksaan Radiologis: foto rontgen toraks

Tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang bermacam-macam pada foto rotge toraks, akan tetapi terdapat beberapa gambaran yang karakteristik untuk tuberkulosis paru, yaitu:

  1. Apabila lesi terdapat terutama dilapangan diatas paru
  2. Bayangan berwarna atau bercak
  3. Terdapat kavitas tunggal atau multipel
  4. Terdapat klasifikasi
  5. Apabila lesi bilateral terutama bila terdapat pada lapangan atas paru
  6. Bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto ulang beberapa minggu kemudian.

Lesi pada orang dewasa mempunyai predileksi di segmen apikal dan posterior lobus atas serta segmen apikal lobus bawah. Umumnya lesi tuberkulosis bersifat multiform, yaitu terdapat membran beberapa stadia pada saat yang sama misalnya terdapat infiltrat, fibrosis dan klasifikasi bersamaan. (Manurung S. , 2013, hal. 108)

  • Pemeriksaan laboratorium
  1. Darah

Pada TB Paru aktif biasanya ditemukan peningkatan leukosit dan laju endap darah (LED)

  1. Sputum BTA

Pemeriksaan bakteriologik dilakukan untuk menemukan kuman tuberkulosis. Diagnosa pasti ditegakan bila pada biakan ditemukan kuman tuberkulosis. Pemeriksaan penting untuk diagnosa definitive dan menilai kemajuan klien. Dilakukan tiga kali berturut-turut dan biakan/kultur BTA selama 4-8 minggu.dengan cara SPS yaitu:

Sewaktu/spot(dahak sewaktu saat kunjungan)

Pagi (keesokan harinya)

Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap 3 hari berturut-turut. (Manurung S. , 2013, hal. 110)

  • Test Tuberculin (Mantoux Test)

Pemeriksaan ini banyak digunakan untuk menegakan diagnosa terutama pada anak-anak. Biasanya diberikan suntikan PPD (Protein Perified Derivation) secara intra cutan 0,1 cc. Lokasi penyuntikan umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah sebelah kiri bagian depan. Penilaian test tuberkulosis dilakukan setelah 48-72 jam penyuntikan dengan mengukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi pada lokasi suntikan. Indurasi berupa kemerahan dengan hasil sebagai berikut:

  1. Indurasi 0-5 mm: negatif
  2. Indurasi 6-9 mm: meragukan
  3. Indurasi > 10 mm: positif

Test tuberculin negatif berarti bahwa secara klinis tidak ada infeksi mikrobakterium tuberculosa, dan bila hasil meragukan dapat disebabkan karena kesalahan teknik reaksi silang. (Manurung S. , 2013, hal. 110)

  1. Penatalaksanaan

Obat-obat Anti-Tuberkulosis:

  • Isoniazid (INH/H)

Dosis: 5 mg/KgBB, per oral

Efek samping: peripheral neuritis, hepatitis, dan hipersesitivitas

  • Ethambutol Hydrochloride (EMB/E)

Dosis

Dewasa: 15 mg/KgBB per oral, untuk pengobatan ulang mulai dengan 25 mg/KgBB/hari selama 60 hari, kemudian diturunkan sampai 15 mg/Kg/BB/hari.

Anak (6-12 tahun): 10-15 mg/KgBB/hari

Efek samping: optik neuritis (efek terburuk adalah kebutaan) dan skin rash

  • Rifampin/Rimpafisin (REP/R)

Dosis: 10 mg/KgBB/hari per oral

Efek samping hepatitis, reaksi demam, purpura, neusea, dan vomiting

  • Pyrazinamide (PZA/Z)

Dosis: 15-30 mg/KgBB per oral

Efek samping: hiperrurisemia, hepatotoxicity, skin rash, artralgia, distres gastrointestinal

  • (Somantri, 2012, hal. 72)

Untuk program nasioal pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu, penderita dibagi dalam empat kategori sebagai berikut.

Kategori I

Fase inisial : 2HRZS (isoniazid, rifampisin, parazinamid, streptomisin dipakai setiap hari selama 2 bulan)

Fase kontinu : 4RH(rifampisin dan isoniazid dipakai setiap hari selama selama 4 bulan) atau 4H3R3(isoniazid dan rifampisin, dipakai 3 kali seminggu selama 4 bulan)

 

Kategori II

Fase inisial : 2HRZES(isoniazid, rifampisin, parazinamid, etambutol, streptomisin dipakai setiap hari selama 2 bulan) atau 1HRZE (isoniazid, rifampisin, parazinamid, etambutol, dipakai setiap hari selama 1 bulan

Fase kontinu : 5H3R3E3 (isoniazid, rifampisin, etambutol, dipakai 3 kali seminggu selama 5 bulan) atau 5HRE (isoniazid, rifampisin, etambutol, dipakai setiap hari selama 5 bulan)

 

Kategori III

Fase inisial : 2HRZ (isoniazid, rifampisin, parazenamid, dipakai setiap hari selama 2 bulan) atau 2H3R3Z3 (isoniazid, rifampisin, parazinamid, dipakai setiap 3 kali seminggu selama 2 bulan)

Fase kontinu: 2HR (isoniazid dan rifampisin, dipakai setiap hari selama 2 bulan) atau 2H3R3 (isoniazid dan rifampisin, dipakai setiap 3 kali seminggu selama 2 bulan)

Kategori IV

Peresepan INH(isoniazid) seumur hidup

 

  1. Diagnosa keperawatan

Menurut (Wilkinson, 2014) diagnosa keperawatan tuberkulosis yang muncul antara lain:

  1. Bersihan jalan napas, ketidakefektifan

Definisi: ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi saluran napas guna mempertahakan jalan napas yang bersih.

Tujuan:

Batasan karakteristik:

Subjektif

Dispnea

Objektif

Suara napas tambahan (mis, rale, crackle, ronki fan mengi)

Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan

Sianosis

Kesulitan untuk berbicara

Penurunan suara napas

Sputum berlebih

Batuk tidak efektif atau tidak ada

Ortopnea

Gelisah

Mata terbelalak

Faktor yang berhubungan

Lingkungan: merokok, menghirup asap rokok, dan perokok pasif

Obstruksi jalan napas: spasme jalan napas, retensi sekret, mukus berlebih, adanya jalan napas buatan, terdapat benda asing di jalani napas, sekret di bronki, dan eksudat di alveoli. (Wilkinson, 2014, hal. 24-25)

  1. Pola napas, ketidakefektifan

Definisi: inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat.

Batasan karakteristik:

Subjektif

Dispnea

Objektif

Peribahan ekskurasi dada

Mengambil posisi tiga titik tumpu (tripod)

Bradipnea

Penurunan tekanan inspirasi-ekpirasi

Penurunan ventilasi semenit

Penurunan kapasitas vital

Perubahan dalam kedalaman bernapas (dewasa VT 500 mL pada saat istirahat, bayi 6-8 Ml/kg)

Peningkatan diameter anterior-posterior

Napas cuping hidung

Ortopnea

Fase ekspirasi memanjang

Pernapasan bibir mencucu

Takipnea

Usia dewasa 14 tahun atau lebih: ≤11 atau >24 [kali per menit]

Usia 5-14: <15 atau >25

Usia 1-4: <20 atau >30

Bayi: <25 atau >60

Faktor yang berhubungan

Ansietas

Posisi tubuh

Deformitas tulang

Deformitas dinding dada (Wilkinson, 2014, hal. 60-61)

 

 

  1. Intervensi
  2. Bersihan jalan napas, ketidakefektifan(Wilkinson, 2014, hal. 26-27)
  • Tujuan : menunjukan bersihan jalan napas yang efektif, yang dibuktikan oleh pencegahan aspirasi, kepatenan jalan napas, ventilasi tidak terganggu.
  • Kriteria hasil: klien mengeluarkan sekret secara efektif, mempunyai jalan napas yang paten, serta batuk efektif.
  • Intervensi (NIC)

Aktivitas keperawatan

Kaji dan dokumentasikan hal-hal berikut ini

Keefektifan pemberian oksigen dan terapi lain

Keefektifan obat yang diprogramkan

Hasil oksimetri nadi

Kecenderungan pada gas darah arteri, jika tersedia frekuensi, kedalama, dan upaya pernapasan

Auskultasi bagian dada arterior dan posterior untuk mengetahui penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan.

Pengisapan jalan napas (NIC)

Tentukan kebutuhan pengisapan oral atau trakea pantau status oksigen pasien (tingkat SaO2 dan SVO2) dan status hemodinamik (tingkat MAP [mean arterial pressure] dan irama jantung) segera sebelum, selama, dan setelah pengisapan

Catat jenis dan jumlah sekret yang dikumpulkan.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

  1. Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung (mis, oksigen, mesin pengisap, spirometer, inheler, dan intermittet positive pressure breathing [IPPB])
  2. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan merokok di dalam ruang perawatan; beri penyuluhan tentang pentingnya berhenti merokok
  3. Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam untuk memudahkan pengeluaran sekret
  4. Ajarkan pasien untuk membebat/mengganjal luka insisi pada saat batuk
  5. Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum, seperti warna, karakter, jumlah, dan bau
  6. Pengisapan jalan napas (NIC): instruksikan kepada pasien dan/atau keluarga tentang cara pengisapan jalan napas, jika perlu

Aktivitas Kolaboratif

  1. Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu
  2. Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau peralatan pendukung
  3. Berikan udara/oksigen yang telah dihumidikasikan (dilembapkan) sesuai demgan kebuijakan istitusi
  4. Lakukan atau batu dengan terapi aerosol, nebulizer ultrasonik, dan perawatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan institusi
  5. Beri tahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal

Aktivitas lain

  1. Anjurkan aktivitas fisik untuk memfasilitasi pengeluaran sekret
  2. Ajurkan penggunaan spirometer insensif
  3. Jika pasien tidak mampu ambulasi, pindahkan pasien dari satu sisi tempat tidur ke sisi tempat tidur yang lain sekurangnya setiap dua jam sekali
  4. Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur, untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kontrol diri
  5. Berikan pasien dukungan emosi (mis., menyakinkan pasien bahwa batuk tidak akan menyebabkan robekan atau “kerusakan” jahitan)
  6. Atur posisi pasien yang memungkinkan untuk pengembangan maksimal rongga dada (mis., bagian kepala tempat tidur ditinggikan 450 kecuali ada kontraindikasi
  7. Pengisapan nosofaring atau orofaring untuk mengeluarkan sekret setiap (sebutkan frekuensinya)
  8. Lakukan pengeisapan endotrakea atau nasotrakea, jika perlu
  9. Pertahankan keadekuatan hidrasi faktor penyebab, seperti nyeri, keletihan, dan sekret yang kental.
  10. Pola napas, ketidakefektifan(Wilkinson, 2014, hal. 61-63)
  • Tujuan : menunjukan pola pernapasan efektif, yang dibuktikan oleh status pernapasan yang tak terganggu: ventilasi dan status pernapasan: kepatenan jalan napas; dan tidak ada penyimpangan tanda-tanda vital dari rentang normal
  • Ktiteria hasil: klien mempunyai kecepatan dan irama pernapasan dalam batas normal
  • Intervensi (NIC)

Aktivitas keperawatan

  1. Panjau adanya pucat dan sianosis
  2. Pantau efek obat pada status pernapasan
  3. Tentukan lokasi dan luasnya kreptasi di sangkar iga
  4. Kaji kebutuhan insersi jalan napas
  5. Observasi dan dokumentasi ekpansi dada bilateral pada pasien yang terpasang ventilator
  6. Pemantauan Pernapasan (NIC)

Pantauan kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan

Perhatikan gerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot-otot aksesoris, serta retraksi otot supraklavikular dan interkosta

Pantauan pernapasan yang berbunyi, seperti melengking atau mendengkur

Pantau pola napas: bradipnea, takipnea, hiperventilasi, pernapasan Kussmaul, pernapasan Cheyne-Stokes, dan pernapasan apneastik, pernapasan Boit, dan pola ataksik

Perhatikan lokasi trakea

Auskultasi suara napas, perhatikan area penurunan/tidak adanya ventilasi dan adanya suara napas tambahan

Pantau peningkatan kegelisahan, ansietas, dan lapar udara

Catat perubahan pada SaO2, SVO2, CO2 akhir-tidal, dan nilai gas darah  arteri (GDA), jika perlu

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

  1. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki pola pernapasan; uraikan teknik
  2. Diskusikan perencanaan untuk perawatan dirumah, meliputi pengobatan, peralatan pendukung, tanda dan gejala komplikasi yang dapat dilaporkan, sumber-sumber komunitas
  3. Diskusikan cara menghindari alergen, sebagai contoh:

Memeriksa rumah untuk adanya jamur di dinding rumah

Tidak menggunakan karpet dilantai

Menggunakan filter elektrolit pada alat perapian dan AC

Ajarkan teknik batuk efektif

Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa tidak boleg merokok didalam ruangan

Instruksikan kepada pasien dan keluarga bahwa mereka harus memberi  tahu perawat pada saat terjadi ketidakefektifan pola pernapasan

Aktivitas Kolaboratif

  1. Konsultasi dengan ahli terapi pernapasan untuk memastika keadekuatan fungsi ventilator mekanis
  2. Laporkan perubahan sensori, bunyi napas, pola pernapsan, nilai GDA, sputum, dan sebagainya, jika perlu atau sesuai protokol
  3. Berikan obat (mis., bronkodilator) sesuai dengan program atau protokol
  4. Berika terapi nebulizer ultrasonik dan udara atau oksigen yang dilembapkan sesuai program atau protokol institusi
  5. Berikan obat nyeri untuk mengoptimalkan pola pernapasan, uraikan jadwal

Aktivitas Lain

  1. Hubungkan dan dokumentasikan semua data hasil pengkajiian (mis., sensori, suara napas, pola pernapasan, nilai GDA, sputum, dan efek obat pada pasien)
  2. Bantu pasien untuk menggunakan spirometer intensif, jika perlu
  3. Tenangkan pasien selama periode gawat napas
  4. Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode gawat napas
  5. Untuk membantu memperlambat frekuensi pernapasan, bimbing pasien menggunakan teknik pernapasam bibir mencucu dan pernapasan terkontrol
  6. Lakukan pengisapan sesuai dengan kebutuhan untuk membersihkan sekret
  7. Lakukan pengisapan sesuai dengan kebutuhan untuk mebersihkan sekret
  8. Minta psien untuk mengubah posisi, batuk dan napas
  9. Informasikan kepada pasien sebelum dengan prosedur, untuk menurunkan ansietas dan meningkatkan perasaan kendali
  10. Pertahankan oksigen aliran rendah dengan kanul nasal, masker atau sungkap. Uraikan kecepatan aliran
  11. Atur posisi pasien untuk mengoptimalkan pernapasan, uraikan posisi
  12. Singkronisasikan antara pola pernapasan klien dan kecepatan ventilasi

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan, Edisi 8 – Buku 3. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Manurung, N. (2016). Aplikasi Asuhan Keperawtan Sistem Respiratory. Jakarta: CV. Trans Info Media.

Manurung, S. (2013). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Pernapasan Akibat Infeksi. Jakarta: CV. Trans Info Media.

Muttaqin, A. (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Putro, A. L., & Sardikin, G. (2012). Tuberkulosis Nosokomial. Jurnal Tuberkulosis Indonesia Vol. 8, 30-32.

Somantri, I. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Sudoyo. dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Suprapto, A. W., & Imam. (2013). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: CV. Trans Info Media.

Wilkinson, J. M. (2014). Diagnosa Keperawatan, Edisi 10. Jakarta: EGC.

Posted in Keperawatan Medikal Bedah | Leave a comment

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN EFUSI PLEURA

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

efusi pleura merupakan salah satu kelainan yang menganggu system pernapasan. Efusi pleura bukanlah diagnosis dari sutau penyakit, melainkan hanya merupakan gejala atau komplikasi dari suatu penyakit. Efusi pleura juga suatu keadaan dimana terdapat cairan berlebihan dirongga pleura, jika kondisi ini dibiarkan akan membahayakan jiwa penderitanya. (Muttaqin, 2012, p. 126)

Cairan yang masuk akan membuat tekanan pleura meningkat yang nantinya akan Efusi pleura sutau keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam pleura yang berupa transudat dan eksudat yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura viseralis. (Muttaqin, 2012, p. 126)

 

  1. Batasan Masalah

Masalah pada pembahasan ini di batasi pada konsep teori penyakit dan konsep asuhan keperawatan klien yang mengalami efusi pleura.

 

  1. Rumusan masalah
  2. Bagaimana konsep penyakit pada pasien dengan efusi pleura ?
  3. Bagaimana pengkajian pada pasien efusi pleura ?
  4. Bagaimana diagnosa keperawatan pada pasien efusi pleura ?
  5. Bagaimana intervensi pada pasien efusi pleura ?

 

  1. Tujuan
  2. Tujuan Umum

melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien Efusi Pleura dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas

 

  1. Tujuan Khusus
  2. Mengetahui dan memahami tentang konsep penyakit pada pasien effuse pleura dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
  3. Melakukan pengkajian ashuan keperawatan pada pasien Efusi Pleura dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
  4. Melakukan diagnosa ashuan keperawatan pada pasien Efusi Pleura dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
  5. Melakukanintervensi pada pasien dengan effusi pleura dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

  1. Konsep Penyakit
  2. Definisi

Efusi pleura adalah suatu keadaan ketika rongga pleura dipenuhi oleh cairan ( terjadi penumpukan cairan dalam rongga pleura ). (Somantri, 2012: 106)

Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 212)

Kesimpulan dari efusi pleura adalah ketika keadaan rongga pleura dipenuhi oleh cairan yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal.

 

  1. Etiologi

Efusi pleura adalah akumulasi cairan pleura akibat peningkatan kecepatan produksi cairan, penurunan kecepatan pengeluaran cairan atau keduanya, ini dise babkan oleh satu dari lima mekanisme berikut:

Peningkatan tekanan pada kapiler subpleura atau limfatik

  • Peningkatan permeabilitas kapiler
  • Penurunan tekanan osmotic koloid darah
  • Peningkatan tekanan negative intrapleura
  • Kerusakan drainase limfatik ruang pleura

Penyebab efusi pleura

Infeksi

  1. Tuberculosis
  2. Pneumonitis
  3. Abses paru
  4. Perforasi esophagus
  5. Abses subfrenik

Noninfeksi

  • Karsinoma paru
  • Karsinoma pleura: primer , sekunder
  • Karsinoma mediastinum
  • Tumor ovarium
  • Bendungan jantung: gagal jantung, perikarditis konstriktiva
  • Gagal hati
  • Gagal ginjal
  • Hipotirodisme
  • Kilotoraks
  • Emboli paru

Tampilan cairan efusi pleura

Jernih, kekuningan (tanpa darah)

  • Tumor jinak
  • Tumor ganas
  • Tuberculosis

Seperti susu

  • Tidak berbau (kilus)
  • Pascatrauma
  • Berbau (nanah)
  • Empiema

Hemoragik

  • Keganasan
  • Trauma

(Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 212)

 

  1. Tanda dan gejala
  2. Efusi yang berukuran kecil umumnya asimtomatik; gejala klinis dari kelainan penyebab dapat ditemukan.
  3. Efusi yang berukuran besar dapat menyebabkan gangguan fungsi paru, yang mengakibatkan dispnea, pada saat aktivitas fisik atau saat istirahat.
  4. Nyeri dada (pleuritik atau rasa nyeri tumpul/sakit).
  5. Batuk non-produktif pada beberapa kasus.
  6. Efusi yang berukuran besar dapat menyebabkan pergeseran mediastinum (deviasi trakea, pergeseran titik impuls maksimum/PMI, hipotensi).
  7. Hasil pemeriksaan paru dapat menunjukkan penurunan suara napas di dasar paru, egofoni, suara redup dengan perkusi, dan penurunan fermitus raba.

(Jeffrey & Scot, 2012, p. 137)

 

  1. Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya efusi pleura bergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi Karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.

Pada umumnya, efusi karena penyakit pleura hampir mirip plasma (eksudat), sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat). Efusi yang berhubungan dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pleura parietalis sekunder (akibat samping) terhadap peradangan atau adanya neoplasma.

Klien dengan pleura normal dapat terjadi efusi pleura ketika terjadi payah/gagal jantung kongestif. Saat jantung tidak dapat memompakan darahnya secara maksimal ke seluruh tubuh maka akan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler yang selanjutnya timbul hipertensi kapiler sistemik dan cairan yang berada dalam pembuluh darah pada area tersebut menjadi bocor dan masuk kedalam pleura, ditambah dengan adanya penurunan reabsorbsi cairan tadi oleh kelenjar limfe di pleura mengakibatkan pengumpulan cairan yang abnormal/berlebihan. Hipoalbuminemia (missal pada klien sindrom, malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites dan edema anarsaka) akan mengakibatkan terjadinya peningkatan pembentukan cairan pleura dan reabsorbsi yang berkurang. Hal  tersebut dikarenakan adanya penurunan pada tekanan onkotik intravaskular yang mengakibatkan cairan akan lebih mudah masuk ke dalam rongga pleura.

Luas efusi pleura yang mengancam volume paru, sebagian akan bergantung pada kekakuan relatif paru dan dinding dada. Pada volume paru dalam batas pernapasan normal, dinding dada cenderung rekoil keluar sementara paru – paru cenderung untuk rekoil ke dalam. (Somantri, 2012, hal. 108-109)

 

 

 

 

 

Risiko gangguan perfusi serebral
Ketidaksembangan nutrisi, nyeri lambung

Gangguan eliminasi alvi

Kelemahan fisik umum
Intoleransi aktivitas
TB Paru Pneumonia
Gagal jantung kiri

Gagal ginjal

Gagal fungsi hati

 

Karsinoma

Mediastrinum

Karsinoma paru

Atelektasis

Hipoalbuminemia

inflamasi

Peningkatan tekanan hidrostatik di pembuluh darah
Peningkatan permeabilitas kapiler paru
Ketidakseimbangan jumlah produksi cairan dengan absorpsi yang bisa dilakukan pleura viseralis
Tekanan osmotik koloid menurun

 

Tekanan negatif

intrapleura peningkatan permeabilitas kapiler

Akumulasi/penimbunan cairan di kavum pleura
Gangguan ventilasi (pengembangan paru tidak optimal), gangguan difusi, distribusi, dan transportasi oksigen
Sistem pernapasan
Sistem saraf pusat
Sistem pencernaan
Sistem muskuloskeletal
Respons psikososial
Pa O2 menurun

PCO2 meningkat

Sesak napas

Peningkatan produksi sekret

Penurunan imunitas

Penurunan suplai oksigen ke otak
Efek hiperventilasi
Penurunan suplai oksigen ke jaringan
Sesak napas tindakan invasif
Koping tidak efektif
Peningkatan metabolisme anaerob
Produki asam lambung meningkat peristaltik menurun
Hipoksia serebral
Pola napas tidak efektif

Jalan napas tidk efektif

Risiko terpapar infeksi

Pusing disorientasi
Mual, nyeri lambung konstipasi
Peningkatan produksi asam laktat
Kecemasan
(Muttaqin, 2012, p. 127)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Klasifikasi

Efusi pleura dibagi menjadi 2 yaitu:

  1. Efusi pleura transudat

Merupakan ultrafiltrat plasma, yang menandakan bahwa membran pleura tidak terkena penyakit. Akumulasi cairan disebabkan oleh factor sistemik yang mempengaruhi produksi dan absorb cairan pleura seperti (gagal jantung kongestif, atelektasis, sirosis, sindrom nefrotik, dan dialysis peritoneum).

  1. Efusi pleura eksudat

Ini terjadi akibat kebocoran cairan melewati pembuluh kapiler yang rusak dan masuk kedalam paru yang dilapisi pleura tersebut atau kedalam paru terdekat.kriteria efusi pleura eksudat:

  1. Rasio cairan pleura dengan protein serum lebih dari 0,5
  2. Rasio cairan pleura dengan dehidrogenase laktat (LDH) lebih dari 0,6
  3. LDH cairan pleura dua pertiga atas batas normal LDH serum

Penyebab efusi pleura eksudat seperti pneumonia, empiema, penyakit metastasis (mis, kanker paru, payudara, lambung,atau ovarium), hemotorak, infark paru, keganasan, repture aneurismaaorta. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 212)

 

  1. Komplikasi
  2. Pasien dapat dipulangkan pada efusi yang kecil dengan penyebab yang telah diketahui, gejala yang minimal, dan tanpa tanda gangguan respirasi.
  3. Pasien perlu dirawat di rumah sakit pada kasus dengan etiologi yang belum diketahui, etiologi atau komorbiditas yang mendasarinya memerlukan perawatan di rumah sakit, adanya hipoksia atau gangguan fungsi respirasi, atau empiema.
  4. Pasien dengan gangguan hemodinamik atau respirasi yang berat perlu dirawat di ICU. (Jeffrey & Scot, 2012, p. 138)

 

 

 

 

 

 

 

  1. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
  2. Pengkajian
  3. Identitas

Sesuai dengan etiologi penyebabnya, efusi pleura dapat timbul pada seluruh usia. Status ekonomi (tempat tinggal) sangat berperan terhadap timbulnya penyakit ini terutama yang didahului oleh tuberkulosis paru. Klien dengan tuberkulosis paru sering ditemukan di daerah padat penduduk dengan kondisi sanitasi kurang.(Somantri, 2012, hal. 109)

  1. Status kesehatan saat ini
  • Keluhan Utama

Kebanyakan efusi pleura bersifat asimptomatik, gejala yang timbul sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritik, ketika efusi sudah membesar dan menyebar kemungkinan timbul dispnea dan batuk. Efusi pleura yang besar akan mengakibatkan napas pendek. Tanda fisik meliputi deviasi trakea menjauhi sisi yang terkena, dullness pada perkusi,dan penurunan bunyi pernapasan pada sisi yang terkena.(Somantri, 2012, hal. 109)

  • Alasan Masuk Rumah Sakit

Meningkatnya tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal jantung), Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma (misalnya hipoprotinnemia), meningkatnya permeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri), berkurangnya absorbsi limfatik.(Somantri, 2012, hal. 107)

  • Riwayat Penyakit Sekarang

Klien dengan efusi pleura akan diawali dengan adanya keluhan seperti batuk, sesak napas, nyeri pleuritis, rasa berat pada dada, dan berat badan menurun. (Muttaqin, 2012, hal. 128)

  1. Riwayat Kesehatan Terdahulu
  • Riwayat Penyakit Sebelumnya

Klien dengan efusi pleura terutama akibat adanya infeksi non-pleura biasanya mempunyai riwayat penyakit tuberkulosis paru.

(Somantri, 2012, hal. 110)

 

 

 

  • Riwayat Kesehatan Keluarga

Tidak ditemukan data penyakit yang sama ataupun diturunkan dari anggota keluarganya yang lain, terkecuali penularan infeksi tuberkulosis yang menjadi faktor penyebab timbulnya efusi pleura.

(Somantri, 2012, hal. 110)

  • Riwayat Pengobatan

Mengenai obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu seperti,Pengobatan untuk effusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah plerektomi, dan terapi diuretik. (Padila, 2012, p. 123)

  1. Pemeriksaan fisik
  • Keadaan umum
  1. Kesadaran

Klien dengan efusi pleura biasanya akan mengalami keluhan batuk, sesak napas, nyeri pleuritis, rasa berat pada dada, dan berat badan menurun.(Muttaqin, 2012, hal. 129)

  1. Tanda-tanda vital

RR cenderung meningkat dan klien biasanya dispneu, vokal premitus menurun, suara perkusi redup sampai pekak bergantung pada jumlah cairannya, auskultasi suara napas menurun sampai menghilang, egofoni. (Somantri, 2012, hal. 110)

  • Body System
  1. Sistem pernapasan

Gejala: kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada/trauma

Tanda: takipnea, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, retraksi interkostal, bunyi napas menurun dan fermitus menurun (pada sisi terlibat), perkusi dada: hiperresonan diarea terisi udara dan bunyi pekak diarea terisi cairan.

Observasi dan palpasi: gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma atau kemps, penurunan pengembangan (area sakit).

(Padila, 2012, hal. 124-125)

  1. Sistem kardiovaskuler

Inspeksi pada efusi pleura letak ictus cordis normal yang berada pada ICS 5 pada linea medioclaviculaus kiri selebar 1 cm, palpasi frekuensi jantung dan teratur tidaknya denyut jantung, perkusi terdengar suara pekak adanya pergeseran jantung Karena pendorongan cairan efusi pleura dan auskultasi bunyi jantung I dan II tunggal atau gallop dan bunyi jantung III gejala payah jantung serta adanya murmur . (Muttaqin, 2012, hal. 130)

  1. Sistem persarafan

Inspeksi tingkat kesadaran pada pemeriksaan GCS dalam keadaan composmentis, somnolen atau koma . (Muttaqin, 2012, hal. 130)

  1. Sistem perkemihan

Pengukuran volume output urine dilakukan dalam hubungannya dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria, karena itu merupakan tanda awal syok.(Muttaqin, 2012, p. 130)

  1. Sistem pencernaan

Pada klien efusi pleura didapatkan indikasi mual dan muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan. (Muttaqin, 2012, hal. 130)

  1. Sistem integumen

Pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan. (Padila, 2012, hal. 125)

  1. Sistem musculoskeletal

Pada pasien efusi pleura diperhatikan adanya edema peritibial, feel pada kedua ekstremitas dan kekuatan otot antara bagian kiri dan kanan (Muttaqin, 2012, hal. 130).

  1. Sistem endokrin

Pada pasien efusi pleura tidak terdapat gangguan pada system endokrin

  1. Sistem reproduksi

Pada pasien efusi pleura tidak ditemukan adanya gangguan pada system genetalia

  1. Sistem penginderaan

Pada pasien efusi pleura tidak ditemukannya kerusakan pada penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan . (Muttaqin, 2012, hal. 130)

  1. Sistem imun

Pada pasien efusi pleura terjadinya peningkatan tekanan pada kapiler subpleura atau limfatik. (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 212)

 

 

 

  1. Pemeriksaan Penunjang
  2. Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan didapati menghilangnya sudut kostrofenik. Bila cairan lebih 300ml, akan tampak cairan dengan permukaan melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum
  3. Torakosentesis

Aspiran cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun terapeutik. Torakosentesis sebaiknya dilakukan pada posisi duduk. Lokasi aspirasi adalah pada bagian bawah paru di sela iga ke-9 garis aksila posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan sebaiknya tidak lebih dari 1000-1500cc pada setiap kali aspirasi. Jika aspirasi dilakukan sekaligus dalam jumlah banyak, maka akan menimbulkan syok pleural (hipotensi) atau edema paru. Edema paru terjadi karena paru-paru terlalu cepat mengembang.

  1. Torakosentesis / pungsi pleura untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, stiologi, berat jenis. Fungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela iga ke-8.didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah (hemotoraks), pus (piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila dicairan serosa mungkin berupa transudat (hasil bendungan)atau eksudat (hasil radang).
  2. Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam (untuk TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase, laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan, dan PH.
  3. Biopsi pleura mungkin juga dilakukan. Pemeriksaan histologis satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50-75% diagnosis kasus pleuritis tuberculosis dan tumor pleura. Bila hasil biopsi pertama tidak memuaskan dapat dilakukan biopsy ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotorak, hemotorak, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.

(Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 214)

 

 

 

 

  1. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada efusi pleura antara lain:

  • Tirah baring

Tirah baring bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena peningkatan aktivitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga dispneu akan semakin meningkat pula.

  • Thorakosentesis

Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subjektif seperti nyeri, dipsneu, dan lain-lain.Cairan efusi sebanyak 1-1,5 liter perlu dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru. Jika jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutnya baru dapat dilakukan 1 jam kemudian.

  • Antibiotik

Pemberian antibiotik dilakukan apabila terbukti terdapat adanya infeksi. Antibiotik diberikan sesuai dengan hasil kultur kuman.

  • Pleurodesis

Pada efusi karena keganasan dan efusi rekuren lain, diberikan obat (tetrasiklin,Kalk, dan biomisin) melalui selang interkostalis untuk melekatkan kedua lapisan pleura dan mencegah cairan terakumulasi kembali.

(Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 214-215)

 

  1. Diagnosa keperawatan
  2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

Definisi:

Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.

Penyebab:

Fisiologis

  • Spasme jalan napas
  • Hipersekresi jalan napas
  • Disfungsi neuromuskuler
  • Benda asing dalam jalan napas
  • Adanya jalan napas buatan
  • Sekresi yang tertahan
  • Hiperplasia dinding jalan napas
  • Proses infeksi
  • Respon alergi
  • Efek agen farmakologis (mis.anastesi)

Situasional

  • Merokok aktif
  • Merokok pasif
  • Terpajan polutan

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

(tidak tersedia)

Objektif

  • Batuk tidak efektif
  • Tidak mampu batuk
  • Sputum berlebihan
  • Mengi, wheezing dan atau ronkhi kering
  • Mekonium dijalan napas (pada neonatus)

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  • Dispnea
  • Sulit bicara
  • Ortopnea

Objektif

  • Gelisah
  • Sianosis
  • Bunyi napas menurun
  • Frekuensi napas berubah
  • Pola napas berubah

Kondisi klinis terkait:

  • Gullian barre syndrome
  • Sklerosis multipel
  • Myasthenia gravis
  • Prosedur dignostik (mis. Bronkoskopi, transesophageal echocardiography [TEE])
  • Depresi sistem saraf pusat
  • Cedera kepala
  • Stroke
  • Kuadriplegia
  • Sindrom aspirasi mekonium
  • Infeksi saluran napas

(SDKI, 2017, pp. 18-19)

  1. Pola napas tidak efektif

Definisi

Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat.

Penyebab

  • Depresi pusat pernapasan
  • Hambatan upaya napas (mis. Nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan)
  • Deformitas dinding dada
  • Deformitas tulang dada
  • Gangguan neuromuscular
  • Gangguan neurologis (mis. Elektroensefalogram [EEG] positif, cidera kepala, gangguan kejang)
  • Imaturitas neurologis
  • Penurunan energy
  • Obesitas
  • Posisi tubuh yang menghambat ekstansi paru
  • Sindrom hipoventilasi
  • Kerusakan inervasi diagrama (kerusakan saraf C5 keatas)
  • Cidera pada medulla spinalis
  • Efek agen farmakologis
  • Kecemasan

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

  • Dispnea

Objektif

  • Penggunaan otot bantu pernapasan
  • Fase ekspirasi memanjang
  • Pola napas abnormal (mis. Takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  • Ortopnea

Objektif

  • Pernapasan pursed-lip
  • Pernapasan cuping hidung
  • Diameter thoraks anterior-posterior meningkat
  • Ventilasi semenit menurun
  • Kapasitas vital menurun
  • Tekanan ekspirasi menurun
  • Tekanan insprasi menurun
  • Ekskrusi dada berubah

Kondisi klinis terkait

  • Depresi system saraf pusat
  • Cedera kepala
  • Trauma thoraks
  • Gullian barre syndrome
  • Multiple sclerosis
  • Myasthenia gravis
  • Stroke
  • Kuardiplegia
  • Intoksikasi alkohol

(SDKI, 2017, pp. 26-27)

  1. Intoleransi aktivitas

Definisi:

Ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Penyebab:

  • Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
  • Tirah baring
  • Kelemahan
  • Imobilitas
  • Gaya hidup monoton

Gejala dan tanda mayor:

Subyektif

  • Mengeluh lelah

Objektif

  • Frekuensi jantung menigkat >20% dari kondisi istirahat

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  • Dispnea saat/ setelah aktivitas
  • Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
  • Merasa lemah

Objektif

  • Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat
  • Gambaran EKG menunjukkan aritmia
  • Gambaran EKG menunjukkan iskemia
  • Sianosis

Kondisi klinis terkait:

  • Anemia
  • Gagal jantung kongestif
  • Penyakit jantung koroner
  • Penyakit katup jantung
  • Aritmia
  • Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
  • Gangguan metabolik
  • Gannguan muskuloskeletal.

(SDKI, 2017, p. 128)

  1. Intervensi
  2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
  • Tujuan: Pembersihan jalan napas yang efektif, yang dibuktikan oleh pencegahan Aspirasi; Status pernapasan: Kepatenan Jalan Napas; dan Status Pernapasan: Ventilasi tidak terganggu.
  • kriteria hasil
  1. Batuk efektif
  2. Mengeluarkan sekret secara efektif
  3. Mempunyai jalan napas yang paten
  4. Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih
  5. Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal
  6. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
  7. Mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan dirumah

(Wilkinson, 2015, hal. 39)

  • Intervensi (NIC)

Aktivitas keperawatan

  1. Kaji dan dokumentasikan hal-hal berikut ini:
  2. Keefektifan pemberian oksigen dan terapi lain
  3. Keefektifan obat resep
  4. Kecenderungan pada gasdarah arteri, jika tersedia
  5. Frekuensi, kedalaman dan upaya pernapasan
  6. Faktor yang berhubungan, seperti nyeri, batuk tidak efektif, mucus kental, dan keletihan
  7. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan.
  8. Pengisapan jalan napas (NIC)
  9. Tentukan kebeutuhan pengisapan oral atau trakea
  10. Pantau status oksigen pasien (tingkat SaO2 dan SvO2) dan status hemodinamik (tingkat MAP[mean arterial pressure] dan irama jantung)segera sebelum, selama, dan setelah pengisapan
  11. Catat jenis dan jumlah sekret yang dikumpulkan

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung (misalnya, oksigen, mesin pengisap, spirometer,inhaler, dan intermittent positive pressure breathing [IPPB])
  2. Informasikan kepda pasien dan keluarga tentang larangan merokok didalam ruang perawatan; beri penyuuhan tentang pentingnya berhenti merokok
  3. Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam untuk memudahkan pengeluaran sekret
  4. Ajarkan pasien untuk membebat/mengganjal luka insisi pada saat batuk.
  5. Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum, seperti warna, karakter, jumlah, dan bau
  6. Pengisapan jalan napas (NIC): Instruksikan kepada pasien dan/atau keluarga tentang cara pengisapan jalan napas, jika perlu

Aktivitas kolaboratif

  1. Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu
  2. Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau peralatan pendukung
  3. Berikan udara atau oksigen yang telah dihumidifikasi (dilembabkan) sesuai dengan kebijakan institusi
  4. Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizer ultrasonic, dan peralatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan dan protokol institusi
  5. Beritahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal.

(Wilkinson, 2015, hal. 39-41)

  1. Pola napas tidak efektif
  • Tujuan: Pola pernapasan efektif, yang dibuktikan oleh Status Pernapasan: Status Ventilasi dan Pernapasan yang tidak terganggu: kepatenan jalan napas; dan tidak ada penyimpangan tanda vital dari rentang normal.
  • Kriteria hasil
  1. Menunjukkan pernapasan optimal pada saat terpasang ventilator mekanis
  2. Mempunyai kecepatan dan irama pernapasan dalam batas normal
  3. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal untuk pasien
  4. Meminta bantuan pernapasan saat dibutuhkan
  5. Mampu menggambarkan rencana untuk perawatan dirumah
  6. Mengidentifikasi faktor (mis, alergen) yang memicu ketidakefektifan pola napas, dan tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.

(Wilkinson, 2015, p. 101)

  • Intervensi (NIC)

Aktivitas keperawatan

Pengkajian

  1. Pantau adanya pucat sianosis
  2. Pantau efek obat pada status pernapasan
  3. Tentukan lokasi dan luasnya repitasi di sangkar iga
  4. Kaji kebutuhan insersi jalan napas
  5. Observasi dan dokumentasi ekspansi dada bilateral pada pasien yang terpasang ventilator

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki pola pernapasan.
  2. Diskusikan perencanaan untuk perawatan dirumah, meliputi pengobatan, peralatan pendukung, tanda dan gejala komplikasi yang dapat dilaporkan, sumber-sumber komunitas.
  3. Diskusikan cara menghindari allergen, sebagai contoh:

Memeriksa rumah untuk adanya jamur di dinding rumah

Tidak menggunakan karpet di lantai

Menggunakan filter elektronik alat perapian dan AC

  1. Ajarkan teknik batuk efektif
  2. Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa tidak boleh merokok di dalam ruangan
  3. Instruksikan kepada pasien dan keluarga bahwa mereka harus memberitahu perawat pada saat terjadi ketidakefektifan pola pernapsan

Aktivitas kolaboratif

  1. Konsultasi dengan ahli terapi pernapasan untuk memastikan keadekuatan fungsi ventilator mekanis
  2. Laporkan perubahan sensori, bunyi napas, nilai GDA, sputum dan sebagainya, jika perlu atau sesuai protokol
  3. Berikan obat (misalnya, bronkodilator) sesuai dengan program atau protokol
  4. Berikan terapi nebulizer ultrasonic dan udara atau oksigen yang dilembabkan sesuai program atau protokol sesuai institusi
  5. Berikan obat nyeri untuk mempertimbangkan pola pernapasan

(Wilkinson, 2015, hal. 101-104)

  1. Intoleransi aktivitas
  • Tujuan: Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, yang dibutuhkan oleh toleransi aktivitas, ketahanan, penghematan energi, kebugaran fisik, energy psikomotorik, dan perawatan-diri: aktivitas kehidupan sehari-hari (dan AKSI)
  • Kriteria hasil
  1. Mengidentifikasi aktivitas atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang dapat mengakibatkan intoleran aktivitas
  2. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang dibutuhkan dengan peningkatan normal denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan tekanan darah serta memantau pola dalam batas normal
  3. Pada (tanggal target) akan mencapai tingkat aktivitas
  4. Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang kebutuhan oksigen, obat, dan/atau peralatan yang dapat meningkatkan toleransi terhadap aktivitas
  5. Menampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan beberapa bantuan (misalnya, eliminasi dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar mandi)
  6. Menampilkan manajemen pemeliharan rumah dengan beberapa bantuan (misalnya, membutuhkan bantuan untuk kebersihan setiap minggu)

(Wilkinson, 2015, pp. 26-27)

  • Intervensi (NIC)

Aktivitas keperawatan

Pengkajian

  1. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi, dan melakukan AKS dan AKSI
  2. Kaji respons emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas
  3. Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas
  4. Manajemen energy (NIC):
  5. Tentukan penyebab keletihan (misalnya, perawatan, nyeri, dan pengobatan)
  6. Pantau respon kardiorespiratori terhadap aktivitas (misalnya takikardia, disritmia lain, dispnea, diaforesis, pucat, tekanan hemodinamik, dan frekuensi pernapasan)
  7. Pantau respon oksigen pasien (misalnya, denyut nadi, irama jantung, dan frekuensi pernapasan) terhadap aktivitas perawatan diri atau aktivitas keperawatan
  8. Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi yang adekuat
  9. Pantau dan dokumentasikan pola tidur pasien dan lamanya waktu tidur dalam jam

 

 

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

Instruksikan kepada pasien dan keluarga dalam:

  1. Penggunaan teknik napas terkontrol selama aktivitas, jika perlu
  2. Mengenali tanda dan gejala intoleran aktivitas, termasuk kondisi yang perlu dilaporkan kepada dokter
  3. Pentingnya nutrisi yang baik
  4. Penggunaan peralatan, seperti oksigen, selama aktivitas
  5. Penggunaan teknik relaksasi (misalnya, distraksi, visualisasi) selama aktivitas
  6. Dampak intoleran aktivitas terhadap tanggung jawab peran dalam keluarga dan tempat
  7. Tindakan untuk menghemat energi, sebagai contoh: menyimpan alat atau benda yang sering digunakan di tempat yang mudah dijangkau
  8. Manajemen energi (NIC):
  9. Ajarkan kepada pasien dan orang terdekat tentang teknik perawatan-diriyang akan meminimalkan konsumsi oksigen (misalnya, pemantauan mandiri dan teknik langkah untuk melakukan AKS)
  10. Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik manajemen waktu untuk mencegah kelelahan

Aktivitas kolaboratif

  1. Berikan pengobatan nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri merupakan salah satu faktor penyebab
  2. Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik (misalnya, untuk kelatihan ketahanan), atau rekreasi untuk merencanakan dan memantau program aktivitas, jika perlu
  3. Untuk pasien yang mengalami sakit jiwa, rujuk ke layanan kesehatan jiwa dirumah
  4. Rujuk pasien ke pelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan pelayanan bantuan perawatan rumah, jika perlu
  5. Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet guna meningkatkan asupan makanan yang kaya energy
  6. Rujuk pasien ke pusat rehabilitasi jantung jika keletihan berhubungan dengan penyakit jantung.(Wilkinson, 2015, pp. 26-29)

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Jeffrey, & Scot. (2012). Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara.

 

Muttaqin, A. (2012). Asuhan keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular dan Hematologi. jakarta: salemba medika.

 

Muttaqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

 

Muttaqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

 

Nurarif, & Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction.

 

Padila. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

 

SDKI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesi. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

 

Somantri, I. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

 

Wilkinson, J. M. (2015). Buku Saku Diagnosis Keperawatan EDISI 9. Jakarta: EGC.

 

Posted in Keperawatan Medikal Bedah | Leave a comment

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN COR PULMONALE

BAB 1

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Cor pulmonale adalah hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonary yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Istilah hipertrofi yang bermakna patologis menurut weitzenblum sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi ventrikel kanan. Untuk menetapkan adanya cor pulmonale secara klinis pada pasien gagal nafas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisis yakni edema. Hipertensi pulmonale “sine qua non” dengan cor pulmonale maka definisi cor pulmonale yang terbaik adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit yang mengenai struktur dan atau pembuluh darah paru; hipertensi pulmonale yang menghasilkan pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi) dan berlanjut dengan berjalannya waktu menjadi gagal jantung kanan. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi espirasi kronik dan cor pulmonale, diperkirakan 80-90% kasus. (Setiati dkk. , 2014:1251)

Penyebab dari cor pulmonale yang terbanyak adalah hipertentsi pulmonale yang disebabkan oleh proses primer paru, akan tetapi sebagian besar tidak diketahui. Lebih banyak gejala cor pulmonale ditimbulkan oleh hipertensi pulmonale berupa cepat capek, sesak, tegang, kadang-kadang sincope. (Wahid dan Suprapto, 2013:116)

 

  1. Batasan Masalah

Masalah pada pembahasan ini di batasi pada konsep teori penyakit dan konsep asuhan keperawatan klien yang mengalami cor pulmonale

 

  1. Rumusan Masalah
  2. Bagaimana konsep penyakit pada pasien dengan cor pulmonale?
  3. Bagaimana pengkajian pada pasien dengan cor pulonale?
  4. Bagaimana diagnosa keperawatan pada pasien dengan cor pulmonale?
  5. Bagaimana intervensi pada pasien dengan cor pulmonale?
  6. Tujuan
  7. Tujuan Umum

Diharapkan  dapat memahami dan mengetahui tentang konsep teori dan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan cor pulmonale.

  1. Tujuan Khusus
  2. Mahasiswa mampu mengetahui konsep penyakit pada pasien dengan cor pulmonale
  3. Mahasiswa mampu mengetahui pengkajian pada pasien dengan cor pulmonale
  4. Mahasiswa mampu mengetahui diagnosa keperawatan pada pasien dengan cor pulmonale
  5. Mahasiswa mampu mengetahui intervensi pada pasien dengan cor pulmonale

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

 

  1. KONSEP PENYAKIT
  2. Definisi

Cor pulmonale adalah hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonary yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri.  (Setiati, 2014:1251)

Cor pulmonal merupakan keadaan hipertrofi ventrikel kanan akibat suatu penyakit yang mengenai fungsi atau struktur jaringan paru, tidak termasuk didalamnya kelainan jantung kanan akibat kegagalan dari fungsi ventrikel kiri atau akibat penyakit jantung bawaan. (Muttaqin, 2012:227)

Kesimpulan dari cor pulmonal adalah keadaan hipertrofi atau dilatasi dari struktur bilik jantung kanan yang mengakibatkan hipertensi pulmonar sehingga terjadi penurunan fungsi paru atau pegurangan jaringan pembuluh darah paru.

 

  1. Etiologi

Penyebab penyakit cor pulmonale antara lain :

  1. Penyakit menahun dengan hipoksia :
  2. Penyakit paru obstruktif kronik
  3. Fibrosis paru
  4. Penyakit fibrositik
  5. Crypogenik fibrosing alveolitis
  6. Penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia
  7. Kelainan dinding dada :
  8. Kifoskoliosis, torakoplasti, fibrosis pleura
  9. Penyakit neuromuscular
  10. Gangguan mekanisme kontrol pernafasan :
  11. Obesitas, hipoventilasi idiopatik
  12. Penyakit serebrovasculer
  13. Obstruksi saluran nafas atas pada anak :
  14. Hipertrofi tonsil dan adenoid
  15. Kelainan primer pembuluh darah
  16. Hipertensi pulmonal primer, emboli paru berulang dan vaskulitis pembuluh darah paru.

(Wahid, 2013:117)

 

  1. Tanda dan gejala
  2. Sianosis.
  3. Lelah karena hipoksia dan gagal jantung.
  4. Mendesis karena kondisi paru-paru yang buruk seperti PPOK atau emfisema.
  5. Kesulitan bernapas (dispnea) pada saat berolahraga keras dan ketika berbaring (orthopnea) karena naiknya kebutuhan oksigen dengan gerakan dan meningkatkan usaha pernapasan dari diafragma ketika berbaring.
  6. Batuk produktif karena kondisi pernapasan.
  7. Edema karena gagal jantung kanan; cairan yang terbentuk akan bergantung pada area yang terserang.
  8. Berat badan naik karena retensi cairan.
  9. Respirasi lebih dari 20 kali per menit (tachypnea); kecepatannya meningkat untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan oksigen.
  10. Denyut jantung naik di atas 100 kali per menit (takikardia) karena tubuh berusaha mengatasi hipoksia dan membawa lebih banyak oksigen.

(DiGiulio etall, 2014:107)

 

  1. Patofisiologi

Penyakit paru kronis akan mengakibatkan

  1. Berkurangnya “vascular bed” paru, dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang mengembang atau kerusakan paru
  2. Asidosis dan hiperkapmia
  3. Hipoksia alveolar, yang akan merangsang vasokonstriksi pembulu paru
  4. Polistemia dan hiperviskositas darah. Kelainan ini akan menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonale (perjalanan lambat) dalam jangka panjang akan mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanandan kemudian akan berlanjut menjadi gagal jantung kanan. (Setiati, 2014:1251)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(Somantri, 2012:132)

 

  1. 4. Klasifikasi

Secara umum cor pulmonale dibagi menjadi dua bentuk:

  1. Cor Pulmonale Akut

Yaitu dilatasi mendadak dari ventrikel kanan dan dekompensasi.

 

 

  1. Cor Pulmonale Kronik

Merupakan jenis cor pulmonale yang paling sering terjadi. Dinyatakan sebagai hipertropi ventrikel kanan akibat penyakit paru atau pembuluh darah atau adanya  kelainan pada toraks, yang akan menyebabkan hipertensi dan hipoksia sehingga terjadi hipertropi ventrikel kanan.  (Somantri, 2012:131)

 

  1. Komplikasi
  2. Emfisema
  3. Gagal jantung kanan
  4. Gagal jantung kiri
  5. Hipertensi pulmonal primer

(Wahid dan Suprapto, 2013:120)

 

  1. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
  2. Pengkajian
  3. Identitas

Anamnesa pada pasien 50 tahun biasanya didapatkan adanya kebiasaan merokok.  (Wahid dan Suprapto, 2013:119)

  1. Status kesehatan saat ini
  • Keluhan utama

Sesak nafas tiba-tiba, kadang-kadang didapatkan batuk yang produktif dan hemoptisis.  (Wahid dan Suprapto, 2013:124)

  • Alasan Masuk Rumah Sakit

Seringnya sesak nafas dan sering pingsan jika beraktifitas (exertional syncope).  (Wahid dan Suprapto, 2013:124)

  • Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan sesak napas merupakan gejala tersering pada penyakit paru primer. Gejala ini terjadi saat melakukan aktifitas atau bahkan saat istirahat dan kadang-kadang diperberat dengan posisi tidur.  (Muttaqin, 2012:228)

  1. Riwayat kesehatan terdahulu
  • Riwayat penyakit sebelumnya

Riwayat merokok merupakan penyebab timbulnya kelainan paru obstruktir kronik, polusi udara (asap dari cerobong-cerobong pabrik didaerah industri dan asap dari kendaraan bermotor).  (Wahid dan Suprapto, 2013:125)

  • Riwayat penyakit keluarga

Pada banyak kasus cor pulmonale ditemukan pada anggota keluarga tertentu dan ternyata kekurangan alfa-antripsin memegang peranan dalam penentuan predisposisi terjadinya penyakit paru obstruktif kronik.

Riwayat penyakit paru kronik (bronchitis kronik dan emfisema paru, diantaranya disebabkan hemophilus influenza, pneumococcus,staphylococcus aureus, pseudomonas, klebsiella.  (Wahid dan Suprapto, 2013:125)

  • Riwayat pengobatan

Mengenai obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu seperti, pemberiaan diuretika seperti furosemid atau hidroklorotiazid diharapkan dapat mengurangi kongesti edema dengan cara mengeluarkan natrium dan menurunkan volume darah, sehingga pertukaran udara dalam paru dapat diperbaiki dan hipoksia maupun beban jantung kanan dapat dikurangi.  (Wahid dan Suprapto, 2013:124)

  1. Pemeriksaan fisik
  • Keadaan umum
  1. Kesadaran

Pada pasien cor pulmonale dengan kesadaran somnolenSakit kepala, confusion, nampak sianotik, disertai sesak dan tanda-tanda emfisema yang lebih nyata. (Somantri, 2012; 133, Wahid dan Suprapto, 2013:119)

  1. Tanda-tanda vital

Berat badan naik karena retensi cairan, respirasi lebih dari 20 kali per menit (tachypnea), denyut jantung naik di atas 100 kali per menit (takikardia) karena tubuh berusaha mengatasi hipoksia dan membawa lebih banyak oksigen. (DiGiulio, 2014:107-108)

  • Body Sistem
  1. Sistem pernafasan

Pada klien cor pulmonale terjadi adanya bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.

(Muttaqin, 2012:230)

  1. Sistem kardiovaskuler

Terdengar graham steel murmur yang bersifat soft, blowing, hight pitch diastolic murmur, akibat adanya insufisiensi relative katup pulmonale.  (Wahid dan Suprapto, 2013:126)

  1. Sistem persarafan

Pada klien cor pulmonale merasa sakit kepala, bingung, dan somnolen.

(Somantri, 2012:133)

  1. Sistem perkemihan

Pada klien cor pulmonale terjadi perubahan berat badan, sering penggunaan diuretik.  (Wahid dan Suprapto, 2013:127)

 

  1. Sistem pencernaan

Pada klien cor pulmonale terjadi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan penurunan nafsu makan.

(Muttaqin, 2012:230)

  1. Sistem integument

Pada klien cor pulmonale di dapatkan warna kulit yang pucat,sianosis pada jari. (Wahid dan Suprapto, 2013:126)

  1. Sistem musculoskeletal

Pada klien cor pulmonale juga dapat terjadi karena kelainan neuromuskuler, seperti poliomielitis, dan distrofi otot.

(Somantri, 2012:130)

  1. Sistem imun

Cor pulmonale juga bisa disebabkan infiltrasi limfatik.

(Wahid dan Suprapto, 2013:118)

  1. Sistem penginderaan

Pada klien cor pulmonale terjadi gangguan penciuman, seperti : hiposmia (penurunan sensitivitas penciuman) atau anosmia (kehilangan sensasai penciuman bilateral dan komplet).

(Black, 2014:231)

  1. Sistem reproduksi

Pada klien cor pulmonale terjadi penurunan libido (penurunan gairah seksualitas). (Somantri, 2012:133)

  1. Sistem endokrin

Pada klien cor pulmonale terjadi peningkatan kadar sodium yang mengakibatkan retensi cairan. (DiGiulio, 2014:109)

  1. Pemeriksaan penunjang
  • Pemeriksaan Radiologi

Batang pulmonal dan hilus membesar. Perluasaan hilus dapat dihitung dari perbandingan jarak antara permulaan percabangan pertama arteri pulmonalis utama dan kiri dibagi dengan diameter transversal torak. Perbandingan >0,36 menunjukan hipertensi pulmonal.

  • Ekokardiografi

Ekokardiografi memungkinkan pengukuran ketebalan dinding ventrikel kanan. Meskipun perubahan volume tidak didapat diukur, teknik ini dapat memperlihatkan pembesaran kavitas ventrikel kanan dalam hubungannya dengan pembesaran ventrikel kiri. Septum ventrikel dapat tergeser kekiri.

  • Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Berguna untuk mengukur masa ventrikel kanan, ketebalan dinding, volume cavitas, dan jumlah darah yang dipompa.

  • Biopsi paru-paru

Dapat berguna untuk menunjukan vaskulitis pada beberapa tipe penyakit vaskuler paru-paru seperti penyakit vaskuler kolagen, atritis rematoid, dan granulo matosis wagener.  (Somantri, 2012:133)

  1. Penatalaksanaan
  • Penatalaksanaan Keperawatan

Sasaran penatalaksanaan keperawatan adalah:

  1. Melalui hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan nafas.
  2. Tinggalkan kepala tempat tidur dan bantu pasien memilih posisi yang mudah untuk bernafas.
  3. Tirah baring : bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan dasar.
  4. Membersihkan penyuluhan agar pasien menghindari segala jenis polusi udara dan berhenti merokok.
  5. Latihan pernafasan dan bimbingan ahli fisoterapi.
  6. Kolaborasi memperbaiki ventilasi dan oksigenasi jaringan melalui pemberian O
  • Penatalaksanaan Medis

Pemberian Medikamentosa

  1. Bronkodilator

Aminofilin : menghilangkan spasme saluran pernafasan Beta 2 adrenergik selektif (Turbutalin atau salbutamol).

  1. Mukolitik dan ekspektoran

Mukolitik berguna untuk mencairkan dahak dengan memecah ikatan rantai kimia nya, sedangkan ekspektoran untuk mengeluarkan dahak dari paru.

  1. Antibiotika

Pemberian antibiotika diperlukan karena biasanya kelainan parenkim paru disebabkan oleh mikroorganisme, diantaranya: Hemophylus influenza dan Pneumococcus peka terhadap metisilin, kloksasilin, flukoksasilin, dan eritromisin. Klebsiella peka terhadap gentamisin, steptomisin dan prolimiksin.

  1. Oksigenasi

Peningkatan PaCO2 (tekanan CO2 arterial) dan asidosis pada penderita PPOM disebabkan tidak sempurnanya pengeluaran CO2 sehingga menimbulkan hipoksemia. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian oksigen 20-30% melalui masker venture dan secara intermiten 1-3 liter permenit.

  1. Jika terjadi gagal jantung kanan, diberikan; digitalis, diuretik, dan diet yang rendah garam.pemberian digitalis harus berhati-hati, karena dalam keadaan hipoksia, dan kalium yang rendah mudah terjadi, sehingga mudah terjadi asidosis respiratorik dan alkalosis metabolic, dan bahaya intoksikasi lebih besar. (Wahid dan Suprapto, 2013:122-124)

 

  1. Diagnosa keperawatan
  2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

Definisi:

Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.

Penyebab:

Fisiologis

  • Spasme jalan napas
  • Hipersekresi jalan napas
  • Disfungsi neuromuskuler
  • Benda asing dalam jalan napas
  • Adanya jalan napas buatan
  • Sekresi yang tertahan
  • Hiperplasia dinding jalan napas
  • Proses infeksi
  • Respon alergi
  • Efek agen farmakologis (mis.anastesi)

Situasional

  • Merokok aktif
  • Merokok pasif
  • Terpajan polutan

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

(tidak tersedia)

Objektif

  • Batuk tidak efektif
  • Tidak mampu batuk
  • Sputum berlebihan
  • Mengi, wheezing dan atau ronkhi kering
  • Mekonium dijalan napas (pada neonatus)

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  • Dispnea
  • Sulit bicara
  • Ortopnea

Objektif

  • Gelisah
  • Sianosis
  • Bunyi napas menurun
  • Frekuensi napas berubah
  • Pola napas berubah

Kondisi klinis terkait:

  • Gullian barre syndrome
  • Sklerosis multipel
  • Myasthenia gravis
  • Prosedur dignostik (mis. Bronkoskopi, transesophageal echocardiography

[TEE])

  • Depresi sistem saraf pusat
  • Cedera kepala
  • Stroke
  • Kuadriplegia
  • Sindrom aspirasi mekonium
  • Infeksi saluran napas.

(SDKI, 2017:18-19)

  1. Gangguan pertukaran gas

Definisi

Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/atau eleminasi karbondioksida pada membran alveolus-kapiler.

Penyebab

  • Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
  • Perubahan membran alveolus-kapiler

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

  • Dispnea

Objektif

1) PCO2 meningkatkan/menurun

2) PO2 menurun

3) Takikardia

4) Ph arteri meningkat/menurun

5) Bunyi napas tambahan

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  • Pusing
  • Penglihatan kabur

Objektif

  • Sianosis
  • Diaforesis
  • Gelisah
  • Napas cuping hidung
  • Pola napas abnormal (cepat/lambat, reguler/ireguler, dalam/dangkal)
  • Warna kulit abnormal (mis.pucat, kebiruan)
  • Kesadaran menurun

Kondisi klinis terkait

  • Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
  • Gagal jantung kongestif
  • Asma
  • Pneumonia
  • Tuberkolosis paru
  • Penyakit membran hialin
  • Asfiksia
  • Persistent pulmonary hypertesion of newborn (PPHN)
  • Prematuritas
  • Infeksi saluran nafas

(SDKI, 2017:22)

  1. Intoleran Aktivitas

Definisi

Ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Penyebab

  • Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
  • Tirah baring
  • Kelemahan
  • Imobilitas
  • Gaya hidup monoton

Gejala dan tanda mayor:

Subyektif

  • Mengeluh lelah

Objektif

  • Frekuensi jantung menigkat >20% dari kondisi istirahat

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  • Dispnea saat/ setelah aktivitas
  • Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
  • Merasa lemah

Objektif

  • Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat
  • Gambaran EKG menunjukkan aritmia
  • Gambaran EKG menunjukkan iskemia
  • Sianosis

Kondisi klinis terkait:

  • Anemia
  • Gagal jantung kongestif
  • Penyakit jantung koroner
  • Penyakit katup jantung
  • Aritmia
  • Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
  • Gangguan metabolik
  • Gannguan muskuloskeletal

(SDKI, 2017:128)

 

  1. Intervensi
  2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
  • Tujuan

Menunjukan pembersihan jalan napas yang efektif, yang dibuktikan oleh pencegahan aspiras; status pernapasan: kepatenan jalan napas; dan status pernapasan: ventilasi tidak terganggu.

  • Kriteria hasil
  1. Batuk efektif
  2. Mengeluarkan sekret secara efektif
  3. Mempunyai jalan napas yang paten
  4. Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih
  5. Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal
  6. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
  7. Mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan dirumah.
  • Intervensi (NIC)

Aktivitas keperawatan

  1. Kaji dan dokumentasikan hal-hal berikut ini:

Keefektifan pemberian oksigen dan terapi lain

Keefektifan obat resep

Kecenderungan pada gasdarah arteri, jika tersedia

Frekuensi, kedalaman   dan upaya pernapasan

Faktor yang berhubungan, seperti nyeri, batuk tidak efektif, mucus kental, dan keletihan

  1. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan.
  2. Pengisapan jalan napas (NIC)

Tentukan kebeutuhan pengisapan oral atau trakea

Pantau status oksigen pasien (tingkat SaO2 dan SvO2) dan status hemodinamik (tingkat MAP[mean arterial pressure] dan irama jantung)segera sebelum, selama, dan setelah pengisapan

Catat jenis dan jumlah sekret yang dikumpulkan

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung (misalnya, oksigen, mesin pengisap, spirometer,inhaler, dan intermittent positive pressure breathing [IPPB])
  2. Informasikan kepda pasien dan keluarga tentang larangan merokok didalam ruang perawatan; beri penyuuhan tentang pentingnya berhenti merokok
  3. Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam untuk memudahkan pengeluaran sekret
  4. Ajarkan pasien untuk membebat/mengganjal luka insisi pada saat batuk.
  5. Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum, seperti warna, karakter, jumlah, dan bau
  6. Pengisapan jalan napas (NIC): Instruksikan kepada pasien dan/atau keluarga tentang cara pengisapan jalan napas, jika perlu

Aktivitas kolaboratif

  1. Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu
  2. Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau peralatan pendukung
  3. Berikan udara atau oksigen yang telah dihumidifikasi (dilembabkan) sesuai dengan kebijakan institusi
  4. Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizer ultrasonic, dan peralatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan dan protokol institusi
  5. Beritahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal.

(Wilkinson, 2015:39-41)

  1. Gangguan pertukaran gas
  • Tujuan

Gangguan pertukaran gas akan berkurang, yang dibuktikan oleh terganggunya respon alergi: sistemik, keseimbangan elektrolit dan asam-basa, respon ventilasi mekanis: orang dewasa, status pernapasan: pertukaran gas, status pernapasan: ventilasi, perfusi jaringan paru, dan tanda-tanda vital.

  • Kriteria hasil
  1. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
  2. Memiliki ekspansi paru yang simetris
  3. Menjelaskan rencana perawatan dirumah
  4. Tidak menggunakan pernapasan bibir mencucu
  5. Tidak mengalami napas dangkal atau ortopnea
  6. Tidak menggunakan otot aksesoris untuk bernapas
  • Intervensi NIC

Aktivitas keperawatan

  1. Kaji suara paru; frekuensi napas, kedalaman, dan usaha napas; dan produksi sputum sebagai indikator keefektifan penggunaan alat penunjang
  2. Pantau saturasi O2 dengan oksimeter nadi
  3. Pantau hasil gas darah (misalnya, kadar PaO2 yang rendah, dan PaCO2 yang tinggi menunjukan perburukan pernapasan)
  4. Pantau kadar elektrolit
  5. Pantau status mental (misalnya, tingkat kesadaran, gelisah dan konfusi)
  6. Peningkatan frekuensi pemantauan pada saat pasien tampak somnolen
  7. Observasi terutama membran mukosa mulut

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Jelaskan penggunaan alat bantu yang diperlukan (oksigen, pengisap, spiro-meter, dan IPPB)
  2. Ajarkan kepada pasien teknik bernapas dan relaksasi
  3. Jelaskan pada pasien dan keluarga alasan pemberian oksigen dan tindakan ainnya
  4. Informasikan pada pasien dan keluarga bahwa merokok iti dilarang
  5. Manajemen jalan napas (NIC):

Ajarkan tentang batuk efektif

Ajarkan pada pasien bagaimana menggunakan inhaler yang dianjurkan, sesuai dengan kebutuhan

Aktivitas kolaboratif

  1. Konsultasikan dengan dokter tentang pemeriksaan gas darah arteri (GDA) dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan yang sesuai dengan adanya perubahan kondisi pasien
  2. Laporkan perubahan pada data pengkajian terkait (misalnya, sensorium pasien suara nafas, pola nafas, analisis gas darah arteri sputum, efek obat)
  3. Berikan (misalnya, natrium bikarbonat) untuk mempertahankan keseimbangan asam basa
  4. Persiapan pasien untuk ventilasi mekanis, bila perlu
  5. Manajemen jalan napas (NIC):

Berikan udara yang dilembapkan atau oksigen, jika perlu

Berikan bronkodilator, jika perlu

Berikan terapi aerosol, jika perlu

Berikan terapi nebulasi ultrasonik, jika perlu

  1. Pengaturan hemodinamik (NIC): berikan obat anti aritmia,jika perlu

(Wilkinson, 2015:326-329)

  1. Intoleran aktivitas
  • Tujuan

Menoleransi aktivitas yang bisa dilakukan, yang dibuktikan oleh toleransi aktivitas, ketahanan, penghematan energi, kebugaran fisik, energi psikomotorik, dan perawatan-diri; aktivitas kehidupan sehari-hari (dan AKSI)

  • Kriteria hasil
  1. Mengidentifikasi aktivitas atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang dapat mengakibatkan intoleran aktivitas
  2. Berpartisipasi dalam aktivitas yang dibutuhkan dengan peningkatan normal denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan tekanan darah serta memantau pola tersebut dalam batas normal
  3. Pada (tanggal target) akan mencapai tingkat aktivitas (uraikan tingkat yang diharapkan dari daftar pada sasaran penggunaan)
  4. Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang kebutuhan oksigen, obat, dan/atau peralatan yang dapat meningkatkan toleransi terhadap aktivitas
  5. Menampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan beberapa bantuan (misalnya, eliminasi dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar mandi)
  6. Menampilkan manajemen pemeliharan rumah dengan beberapa bantuan (misalnya, membutuhkan bantuan untuk kebersihan setiap minggu)
  • Intervensi NIC

Aktivitas Keperawatan

  1. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi, dan melakukan AKS dan AKSI
  2. Kaji respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas
  3. Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas

Penyuluhan untuk pasien/ keluarga

Instruksikan pada pasien dan keluarga dalam:

  1. Penggunaan teknik napas terkontrol selama aktivitas, jika perlu
  2. Mengenali tanda dan gejala intoleran aktivitas, termasuk kondisi yang perlu dilaporkan kepada dokter
  3. Pentingnya nutrisi yang baik
  4. Pengguanaan peralatan, seperti oksigen, selama aktivitas
  5. Pengguanaan teknik relaksasi (misalnya, distraksi, fisualisasi) selma aktivitas
  6. Dampak intoleran aktivitas terhadap tanggung jawab peran dalam keluarga dan tempat
  7. Tindakan untuk menghemat energi sebagai contoh : menyimpan alat atau benda yang sering digunakan ditempat yang mudah dijangkau

Aktivitas Kolaboratif

  1. Berikan pengobatan nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri merupakan salah satu faktor penyebab
  2. Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik, (misalnya, untuk latihan ketahan), atau rekreasi untuk merencanakan dan memantau progran aktivitas, jika perlu
  3. Untuk pasien yang mengalami sakit jiwa, rujuk kelayanan kesehatan jiwa dirumah
  4. Rujuk pasien ke pelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan pelayanan bantuan perawatan rumah, jika perlu
  5. Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet guna meningkatkan asupan makanan yang kaya energi
  6. Rujuk pasien ke pusat rehabilitasi jantung jika keletihan berhubungan dengan penyakit jantung. (Wilkinson, 2015:26-29)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Black, J. M. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: CV Pentasada Media Edukasi.

 

DiGiulio, M. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishing.

 

Muttaqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

 

SDKI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

 

Setiati, S. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid I. Jakarta: InternaPublishing.

 

Somantri, I. (2012). Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

 

Wahid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: CV Trans Info Media.

 

Wilkinson, J. M. (2015). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC.

 

Posted in Keperawatan Medikal Bedah | Leave a comment

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN COPD (CRONIC OBSTRUKTIVE PULMONARY DESEASE)

BAB 1

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

PPOK atau COPD penyebab utama morbiditas dan mortalitas kronik diseluruh dunia. Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa PPOK atau COPD berada diurutan keempat dan virus immunodefisiensi manusia (HIV) / sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS) berada di urutan kelima sebagai penyebab tunggal kematian (setelah penyakit jantung, penyakit serebrovaskular, dan infeksi pernapasan akut), yang menyebabkan 2,74 juta kematian pada tahun 2000. WHO memperkirakan bahwa PPOK atau COPD adalah penyebab morbiditas dan mortalitas di urutan ke 12 tertinggi pada tahun 1990 dan akan menjadi urutan ke-5 pada tahun 2020.  (Patricia Gonce Morton, 2011,hal: 735)

Pada pasien dengan bronchitis kronik, batuk yang menonjol dan produksi sputum dapat menetap dalam jangka waktu lama tanpa menyebabkan disfungsi ventilasi. Namun, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, beberapa pasien mengalami PPOK yang signifikan disertai obstruksi jalur keluar. Sindrom klinis ini disertai hiperkapnea, dan (pada kasus yang parah) sianosis (maka disebut “blue bloaters”). Diferensiasi bentuk PPOK ini dari kasus yang disebabkan oleh emfisema dapat terjadi pada kasus klasik, namun banyak pasien menderita kedua kondisi tersebut. Dengan progresivitas penyakit, bronkitis kronik dipersulit oleh hipertensi pulmoner dan gagal jantung. Infeksi rekuren dan kegagalan respirasi merupakan ancaman terus-menerus.  (Nasar dan Cornain, 2015, hal: 461)

 

  1. Batasan Masalah

Masalah pada pembahasan ini dibatasi pada konsep teori penyakit dan konsep keperawatan klien yang mengalami penyakit COPD (Cronik Obstruktive  Pulmonary Desease)

 

 

 

  1. Rumusan Masalah
  2. Bagaimana konsep penyakit COPD ?
  3. Bagaimana pengkajian pada pasien dengan COPD ?
  4. Bagaimana diagnose keperawatan pada pasien dengan COPD ?
  5. Bagaimana intervensi pada pasien dengan COPD ?
  6. Tujuan
  7. Tujuan Umum

Bertujuan untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem pernapasan dengan COPD menggunakan proses pendekatan keperawatan.

  1. Tujuan Khusus
  2. Mengetahui dan memahami tentang konsep penyakit dari COPD
  3. Melakukan pengkajian pada pasien gangguan sistem pernapasan dengan COPD
  4. Melakukan diagnose pada pasien gangguan system pernapasan dengan COPD

 

 

BAB 2

 TINJAUAN PUSTAKA

  1. KONSEP PENYAKIT
  2. Definisi

Penyakit  Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstruktive Pulmunary Disease (COPD) adalah keadaan penyakit yang ditandai keterbatasan aliran udara yang tidak reversibel sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasannya progresif dan berkaitan dengan respons inflamasi abnormal pada paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya atau defesiensi alfa-antitripsin yang diturunkan. Istilah PPOK digunakan beberapa gabungan penyakit, yang meliputi emfisema dan bronchitis kronis.  (Patricia Gonce Morton, 2013,hal: 735)

Menurut “the national heart, lung, and blood institute (NHLBI)” dan WHO, COPD didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh terbatasnya saluran udara yang progresif yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali. Keterbatasan saluran udara biasannya dapat progresif dan terasosiasi dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas. Kondisi paling umum yang menyebabkan COPD adalah bronchitis kronik, emfisema, dan asma bronkhial.

  1. Bronchitis kronik berhubungan dengan sekresi berlebih mukus kronik atau berulang ke dalam cabang bronkus dengan batuk yang terjadi hamper setiap hari selama paling tidak 3 bulan dalam setahun, dan ini berlangsung paling tidak 2 tahun berturut­-turut ila penyebab batuk yang lain telah di keluarkan.
  2. Emfisema didefinisikan sebagai pembesaran permanen yang abnormal dari ruang udara pada posisi distal terhadap bronkial terminal, disertai dengan kerusakan dindingnya,tetapi tanpa fibrosis yang jelas.
  3. Asma Bronkhial

Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggapan reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam ransangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan menyeluh dari saluran pernapasan. (Prof.Dr.Elin Yulinah Sukandar, 2013,hal: 431)

Jadi menurut kelompok COPD adalah gangguan obstruksi pernpasan yang disebabkan oleh polusi asap rokok dan infeksi pada jalan napas serta ditandai dengan keterbatasan udara yang pogresif.

 

  1. Etiologi

adalah destruksi jalan napas yang ireversibel dan progresif yang di tandai dengan bronchitis kronis dan emfisema dalam derajat yang berbeda-beda.

  1. Emfisema melibatkan destruksi dinding alveolar dengan kolaps bronkus, hilangnya rekoil elastic, dan hiperinflasi.
  2. Bronchitis kronis melibatkan peradangan endobronkial dengan penambahan sekresi (sebagai akibat peningkatan produksi dan penurunan membuang secret oleh mukosiliar)
  3. Edema jalan napas dan bronkospasme memberi andildalam timbulnya obstruksi.
  4. Pasien juga mengalami bronkiektasis dan / atau asma bersamaan.

Penurunan volume semenit total dan peningkatan kerja respirasi (sebagai akibat resistensi jalan napas dan ketidak cocokan ventilasi atau perfusi) mengakibatkan hipoventilasi alveolar, hipoksemia dan hiperkapnea

Eksasebasi akut dapat timbul karena factor idiopatik, infeksiosa, atau lingkungan dan sering kali di temukan dengan manifestasi gangguan respirasi yang bermakna.

Merokok sigaret merupakan penyebab utama kelainan ini.  (Scott, 2012,hal: 131)

  1. Tanda dan gejala
  2. Dispnea, merupakan sesak nafas akibat abnormalitas vaskularisasi paru pada COPD berat dan biasannya karena melakukan aktivitas.
  3. Takipnea, merupakan frekuensi pernapasan yang jumlahnya meningkat diatas frekuensi pernapasan normal.
  4. Mengi, merupakan suara seperti serak atau siul disebabkan penyempitan saluran napas yang timbul akibat adannya peradangan karena infeksi, asma, atau merokok.
  5. Penggunaan otot tambahan, merupakan terjadinnya indikasi gawat napas . ketika berbaring terlentang, pada pasien COPD sering menggunakan otot skalenus dan otot sternokleidomastoideus dalam melakukan aktivitas.
  6. Demam, merupakan infeksi dan penyakit yang menyebabkan inflamasi pusat suhu di hipotalamus kurang peka terhadap panas dan pada pasien PPOK dapat ditemukan dengan pneumonia atau bronchitis secara bersamaan
  7. Sianosis, perifer biasannya karena vaso kontriksikulit, karena pajanan terhadap dingin
  8. Batuk produktif, merupakan batuk yang ditandai dengan mengeluarkan banyak dahak umumnya disebabkan oleh flu, nyeri atau radang tenggorokan,dan sinusitis.
  9. Gerakan udara yang buruk, terjadi karena dalam alveolus udara diserap sampai rongga alveolus kolaps menyebabkan melemahnya gerakan napas. (Scott, 2012,hal: 129)
  10. Patofisiologi

Seiring perkembangan PPOK, perubahan patofisiologis berikut biasannya terjadi secara berurutan: hipersekresi mucus, disfungsi silia, keterbatasan aliran udara hiperinflasi pulmonal, abnormalitas pertukaran gas, hipertensi pulmunal dank or pulmonal. jalan napas perifer menjadi tempat utama obstruksi pada pasien PPOK. Perubahan inflamasi seperti edema jalan nafas dan hipersekresi mucus juga menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer. hipersekresi mucus disebabkan oleh mucus disebabkan oleh stimulasi pembesaran kelenjar yang mensekesi mucus dan peningkatan jumlah sel goblet oleh mediator inflamasi seperti leukotriene, proteinase, dan neuropeptide. sel epitel yang bersilia mengalami metaplasia sekuamosa, yang menyebabkan gangguan pembersihan mukosilia, yang biasanya merupakan abnormalitas fisiologis yang pertama kali terjadi pada PPOK. abnormalitas ini dapat terjadi selama bebrapa tahun sebelum abnormalitas lain terjadi. Keterbatasan aliran udara ekspirasi adalah temuan penting pada PPOK, ketika proses penyakit berkembang, volume ekspirasi kuat dalam satu detik (forced extiratory volume in 1 sekon, FEV1) dan kapasitas vital kuat (forced vital capacity, FVC) menurun; hal, ini berhubungan dengan peningkatan ketebalan dinding jalan nafas, penurunan kelekatan alveolar, dan penurunan recoil elastis paru. Sering kali, tanda pertama terjadinya keterbatasan aliran udara adalah penurunan rasio FEV1/FEC. menurun global ini initiative for chronic obstructive lung disease (GOLd) 20010, adanya FEV pascabronkodilator kurang dari 80% dari nilai prediksi dan kombinasi dengan rasio FEV1/FVC kurang dari  70% menegaskan adaya keterbatasan aliran udara yang tidak refersivel sepenuhnya. Pada PPOK berat, udara terperangkap diparu selama ekspirasi kuat, yang menyebabkan kapasitas residu fungsional (functional residual capacity, FRC) tinggi secara abnormal. peningkatan FRC menyebabkan hiperinflasi plumonal  (Patricia Gonce Morton, 2011, Hal : 737)

Pada PPOK lebih lanjut, obstruksi jalan nafas perifer, destruksi parenkim, dan iregularitas vascular pulmonal mengurangi kapasitas paru untuk pertukaran gas sehingga menyebabkan hipoksemia (oksigen darah rendah) dan hiperkapnia (karbondioksida darah tinggi). Ketidakseimbangan rasio ventilasi-perfusi adalah kekuatan pendorong dibelakang hipoksemia pada pasien PPOK, tanpa memperhatikan stadium penyakit. Hiperkapnia kronis biasanya mengindikasikan disfungsi otot inspirasi dan hipoventilasi alveolar ketika hipoksemia dan hiperkapnia berkembang lambat pada PPOK, hipertensi pulmonal sering terjadi, yang menyebabkan hipertrofi ventikel kanan, lebih dekinal sebagai kor pulmonal. Gagal jantung kanan menyebabkan stasis vena lebih lanjut dan trombosit yang dapat berpotensi menyebabkan embolisme paru dan lebih lanjut mengganggu sirkulasi paru. Terakhir, PPOK berkaitan dengan inflamasi sistemik dan disfungsi otot rangka yang dapat menyebabkan keterbatasan kapasitas fisik dan penurunan status kesehatan.  (Patricia Gonce Morton, 2011, hal: 737)

 

 

 

 

 

 

 

Pathway

(Nixson Manurung, 2016,hal: 11)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Klasifikasi berdasarkan penyebab
  2. Bronkitis kronis

Bronkitis kronik sering di derita oleh perokok dan penduduk kota yang penuh dengan kabut dan asap kendaraan atau polusi: beberapa penelitian menunjukan bahwa sekitar 20-25% pria pada kelompok usia 40-65 tahun menderita penyakit ini. Diagnosis bronkitis kronik dibuat berdasarkan kondisi klinis: yaitu terdapat batuk produktif persisten sedikitnya 2 tahun berturut-turut. Pada fase awal penyakit, batuk produktif meningkatkan sputum mukoid, namun jalan napas tidak tersumbat.  (Nasar dan Cornain, 2015,hal: 460)

  1. Emfisema

Emfisema di tandai oleh pelebaran abnormal yang permanen dari rongga udara bagian distal dari bronkifibrosaolus terminalis, disertai destruksi dinding tanpa fibrosis yang signifikan. (Nasar dan Cornain, 2015,hal: 457)

  1. Asma

kelainan inflamasi kronik jalan napas yang menyebabkan episode bunyi napas berdesing berulang, hiperreaktivitas sel otot polos bsesak napas, dada tertekan, dan batuk, terutama pada malam hari dan/atau pagi-pagi. Tanda khas penyakit ini obstruksi jalan napas intermiten dan reversible, radang bronkus kronis disertai eosinophil dan  meningkatnya sekresi mukus. (Nasar dan Cornain, 2015,hal: 461)

 

  1. Komplikasi
  2. Hipoksemia

Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55mmHg dengan nilai saturasi O2 < 85 % pada awalnya  pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis

 

 

 

  1. Asidosis Respiratori

Timbul akibat dari peningkatan nilai PCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizziness, dan takipnea

  1. Infeksi Saluran Pernapasan

Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsang otot polos bronchial dan edema mukosa. Terhambatnya aliran udara akan meningkatkan kerja napas dan menimbulkan dyspnea

  1. Gagal Jantung

terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan timbul akibat penyakit paru-paru). Harus diopservasi terutama pada pasien dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, namun beberapa pasien emfisema berat juga mengalami masalah ini

  1. Kardiak Disritmia

Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, dan efek obat dan terjadinnya asidosis respiratori

  1. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubuungan dengan asma bronchial. penyakit ini sangat berat, potensi yang mengancam kehidupan, dan sering kali tidak berespon terhadap terapi yang bias di berikan. penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma. (Somantri, 2012, hal : 50)

 

  1. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
  2. Paengkajian
  3. Identitas

Umur         :Pada COPD biasanya pada usia dewasa menengah hingga lansia biasanya berkisar usia 45-65 tahun. (Somantri, 2012,hal: 59)

  1. Status Kesehatan saat ini
  • Keluhan Utama

Klien mengalami sesak nafas pada saat melakukan aktivitas. (Patricia Gonce Morton, 2011,hal: 739)

  • Alasan Masuk Rumah Sakit

Klien mengalami batuk produksi sputum, sesak nafas. (Patricia Gonce Morton, 2011,hal: 739)

  • Riwayat penyakit sekarang

Klien mengalami peningkata usaha dan frekuensi pernafasan. (Muttaqin, 2012,hal: 158)

  1. Riwayat kesehatan terdahulu
  • Riwayat Penyakit Sebelumnya

Klien sudah mempunyai penyakit asma, alergi, sinusitis atau polip hidung, infeksi pernapasan pada masa kanak-kanak, (Muttaqin, 2012,hal: 157)

  • Riwayat penyakit keluarga

Pada riwayat keluarga terdapat riwayat penyakit pernapasan kronis atau PPOK (Patricia Gonce Morton, 2011,hal: 737)

  • Riwayat pengobatan

Klien biasannya mengkonsumsi obat penyekat beta yang biasannya diresepkan untuk penyakit jantung.  (Patricia Gonce Morton, 2011,hal:737)

  1. Pemeriksaan Fisik
  • Keadaan umum

Pada penyakit COPD di dapatkan klien energi menurun dan kelemahan.

  1. Kesadaran

Pada klien COPD di dapatkan keterbatasan aktivitas. (Patricia Gonce Morton, 2011,hal: 739)

  1. Tanda-tanda vital

Inspeksi

      Pada klien COPD terlihat adannya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu napas (sternokleidomastoid). Pada saat inspeksi, biasannya dapat terlihat klien mempunyai bentuk dada barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan masa otot, bernapas dengan bibir yang dirapatkan, dan pernapasan abnormal yang tidak efektif. (Muttaqin, 2012,hal: 158)

Palpasi

      Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil premitus biasannya menurun. (Muttaqin, 2012,hal: 158)

Perkusi

      Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma mendatar atau menurun. (Muttaqin, 2012,hal: 158)

Auskultasi

      Sering didapatkan adannya bunyi napas ronki dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruktif pada bronkiolus. (Muttaqin, 2012,hal: 158)

  • Body System
  1. Sistem pernafasan

Frekuensi pernapasan pada saat istirahat, sering meningkat 20 kali per menit, dan pernapasan dangkal. (Patricia Gonce Morton, 2011,hal: 738)

  1. Sistem kardiovaskuler

Edema pergelangan kaki atau tungkai bawah pada COPD dapat menjadi indikasi gagal jantung kanan.  (Patricia Gonce Morton, 2011, hal: 738)

  1. Sistem persarafan

Klien mengalami PPOK akan berdapak pada pasien yang menimbulkan perasaan takut tidak jelas sehingga akan menimbulkan depresi pada penderita (Patricia Gonce Morton, 2011,hal: 737)

  1. Sistem perkemihan

Tidak ada masalah pada sistem perkemihan dan tidak ada nyeri tekan. (Patricia Gonce Morton, 2011,hal: 739)

 

 

  1. Sistem pencernaan

Pada klien PPOK terdapat benjolan abdomen. serta timbul refluks gasreoesofagus (Patricia Gonce Morton, 2011, hal: 738)

  1. Sistem integument

Pada klien COPD didapatkan sianosis sentral atau perubahan warna kebiruan membrane mukosa. (Patricia Gonce Morton, 2011, hal: 738)

  1. Sistem musculoskeletal

Aktivitas otot istirahat, yang dapat menjadi indikasi gawat napas. Ketika berbaring terlentang pasien sering menggunakan otot skalenus dan otot sternokleidomastoideus. (Patricia Gonce Morton, 2011,hal: 738)

  1. Sistem endokrin

Pada klien COPD tidak terdapat gangguan pada sistem endokrin ,Karena pada COPD yang timbul  hanya kelainan jalan napas  (Somantri, 2012, hal : 57)

  1. Sistem reproduksi

Daerah genetalia tidak ada tanda-tanda infeksi ataupun luka, karena pada pemeriksaan diagnostic hanya didapatkan peningkatan atau perburukan pada sistem pernapasan  (Patricia Gonce Morton, 2011, hal : 739)

  1. Sistem penginderaan

Semua alat indra tidak mengalami permasalahan namun bisa terjadi jika terdapat penyakit penyerta  (Somantri, 2012,hal: 49)

  1. Sistem imun

Tidak ada hubungan yang menonjol sistem imun terhadap penyakit COPD. (Muttaqin, 2012,hal: 156)

  1. Pemeriksaan penunjang
  2. Pemeriksaan spirometri

Dilakukan untuk mengukur volume maksimal udara yang diekhshalasi secara kuat dari titik inspirasi maksimal (FEC) dan volume udara yang diekshalasi selama detik pertama latihan ini (FEV). Rasio dua pengukuran (FEV :FVC) kemudian dihitung. Kurang dari 70% dianggap sebagai tanda awal keterbatasan aliran udara pasien yang memiliki FEV tetap normal (minimal 80% dari nilai yang di prediksi)  (Patricia Gonce Morton, 2011, hal : 739)

  1. Pengukuran fungsi paru
    1. Kapasitas inspirasi menurun
    2. volume residu: meningkat pada emfisema, bronkhitis, dan asma
    3. FEV1 selalu menurun= derajat obstruksi progresif penyakit paru obstruksi kronis.
    4. FVC awal normal: menurun pada bronchitis dan asma.
    5. TLC normal sampai meningkat sedang (predominal pada emfisema) (Muttaqin, 2012, hal: 158)
  2. Analisa Gas Darah

PaO2 menurun PCO2 meningkat, sering menurun pada asma. Nilai pada PH normal, asidosis, alkaliosis respiratorik ringan sekunder. (Muttaqin, 2012,hal: 159)

  1. Pemeriksaan Laboratorium
  2. Hemaoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) meningkat pada polistemia sekunder
  3. Jumlah darah merah meningkat
  4. Eosinofil dan total IgE serum meningkat
  5. Pulse oksimerti: SaO2 oksigenasi menurun
  6. Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretic (Muttaqin, 2012,hal: 159)
  7. Pemeriksaan sputum

pemeriksaan gram kuman/ kultur adanya infeksi campuran. Kuman pathogen yang biasa ditemukan adalah streptocos pneumoniae Hemophylus infuenzae, dan Mcraxellc catarrhalis. (Muttaqin, 2012,hal: 159)

 

 

  1. Pemeriksaan Radiologi Thoraks foto (AP dan lateral)

menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan bendungan area paru. Pada infesima paru didapatkan diafragma dengan letak yang rendah dan mendatar ruang udara retrosternal > (foto lateral), jantung tampak bergantung, memanjang dan menyempit.  (Muttaqin, 2012,hal: 159)

  1. Pemeriksaan Bronkogram

Menunjukkan dilatasi bronkus kolap bronkiale respirasi kuat.  (Muttaqin, 2012,hal: 159)

  1. EKG

kelainan EKG yang paling awal terjadi adalah rotasi cloch wise jantung. Bila sudah terdapat korpulrmonal terdapat deviasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, dan aVe voltasi QRS rendah. Di VI rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 V1 rasio R/S kurang dari 1 sering terdapat RBBB inkomplet.  (Muttaqin, 2012,hal: 159)

 

  1. Penatalaksanaan
  • O2 suplemen selalu di indikasikan.
    1. Dilakukan titrasi hingga PaO2 > 60 mmHg (SaO2 > 90%)
    2. Peningkatan FiO2 dapat sedikit meningkatkan PaCO2 sebagai akibat adannya peningkatan ruang mati (ketidakcocokan V/Q) dan depresi kendali respirasi sementara.
  • Bronkodilator inhaler sebaiknya digunakan dengan segera (antikolinergik lebih efektif dibandingkan dengan beta agonis, tetapi bronkodilator yang terbaik di dapatkan dengan mengkombinasikan kedua obat).
  • Kortiko steroid sistemik mungkin bermanfaat pada beberapa pasien.
  • Antibiotik ( misalnya azithromiycin,doksisiklin) sebaiknya diberikan, terutama pada eksaserbasi yang berat.
  • Methylxanthine (misalnya teofalin) tidak bermanfaat pada serangan akut.
  • Bantuan ventilator mungkin diperlukan.
  1. Ventilasi mekanik yang non-invasif melalui CPAP (tekanan jalan napas positif yang terus menurus) atau BiPAPel (tekanan jalan napas positif bilevel) dapat meniadakan keperluan intubasi.
  2. Intubasi orotrakea dilakukan pada kasus gagal napas. (Scott, 2012,hal: 130)

Manejemen medis yang diberikan berupa :

  • Pengobatan farmakolog
  1. bronkodilator : dosis dan frekuensi bronkodilator ditingkatkan pada keperahan akut untuk memberikan peredaan gejala. Agonis beta 2 aksi pendek lebih disukai karena onset aksi yang cepat. Bronkodilator dapat diberikan melalui MDI atau nebulisasi. Nebulisasi dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan dyspnea parah yang tidak dapat menahan nafas setelah memakai MDI
  2. kortikosteroid : hasil pengujian klinis menyarankan pasien dengan COPD yang memburuk secara akut untuk menerima kortikosteroid oral atau intravena dalam  jangka pendek (9 hingga 14 hari) dan resiko efek samping yang lebih rendah
  3. Antimikroba : kebanyakan pasien COPD yang memburuk karena 30% dikarenakan inveksi virus atau bakteri. antibiotik paling menguntungkan jikadigunakan jika tampak tiga gejala seperti, peningkatan dispnea, peningkatan volume sputum dan peningkatan kandungan nanah sputum. Pemilihan terapi antimikroba empirik didasarkan pada organisme yang paling mungkin. (Prof.Dr.Elin Yulinah Sukandar, 2013,hal: 436)

 

 

 

 

 

 

 

         Diagnosa keperawata

  1. Ketidak efektifan bersihan jalan napas

Definisi : ketidakmampuan beradaptasi dengan pengurangan bantuan ventilator mekanik yang dapat menghambat dan memperlama proses penysmpihsn.

Penyebab :

Fisiologis

  • Hipersekresi jalan napas
  • Ketidak cukupan energy
  • Hambatan upaya napas (misal nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan, efek sedasi)

Psikologis

  • Kecemasan
  • Perasaan tidak berdaya
  • Kurang terpapar informasi tentang proses penyepihan
  • Penurunan motivasi

Situasional

  • Ketidak adekuatan dukungan sosial
  • Ketidak tepatan kecepatan proses penyepihan
  • Riwayat kegagalan berulang dalam upaya penyepihan
  • Riwayat ketergantungan ventilator >4 hari

Gejala dan tanda mayor :

Subjektif

(tidak tersedia)

Objektif

  • Frekuensi napas meningkat
  • Penggunaan otot bantu napas
  • Napas megap-megap (gasping)
  • Upaya napas dan bantuan ventilator tidak sinkron
  • Napas dangkal
  • Agitasi
  • Nilai gas darah arteri abnormal

Gejala dan tanda minor :

Subjektif

  • Lelah
  • Kuatir mesin rusak
  • Focus meningkat pada pernapasan
  • Gelisah

Objektif

  • Auskultasi suara inspirasi menurun
  • Warna kulit abnormal (misal pucat, sianosis)
  • Napas paradox abdominal
  • Diaphoresis
  • Ekspresi wajah takut
  • Tekanan darah meningkat
  • Frekuensi nadi meningkat
  • Kesadaran menurun

Kondisi klinis terkait :

  • Cedera kepala
  • Coronary artery bypass graft (CABG)
  • Gagal napas
  • Cardiac arrest
  • Transplantasi jantung
  • Dysplasia bronkopulmunal (PPNI, 2016,hal: 18)

 

  1. Gangguan pertukaran gas

Definisi : kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/atau eleminasi karbon dioksida di membrane alveolus-apiler

Penyebab :

Subjektif

Dispnea

Objektif

  • PCO2 meningkat/menurun
  • PO2 menurun
  • Takikardi
  • pH arteri meningkat/menurun
  • bunyi napas tambahan

Gejala dan tanda minor :

Subjektif

  • pusing
  • Penglihatan kabur

Objektif

  • Sianosis
  • Diaforesis
  • Gelisah
  • Napas cuping hidung
  • Pola napas abnormal (cepat/lambat, regular/ireguler, dalam/dangkal)
  • Warna kulit abnormal (misal pucat, kebiruan)
  • kesadaran menurun

Kondisi klinis terkait

  • penyakit paru obstruksi kronis (PPOK)
  • Gagal jantung kongestif
  • Asma
  • Pneumonia
  • Tuberkolosis paru
  • Penyakit membrane hialin
  • Asfiksia
  • Persistent pulmonary hypertension of newborn (PPHN)
  • Prematuritas
  • Infeksi saluran napas (PPNI, 2016,Hal: 22)

 

  1. Intoleransi aktivitas

Definisi : ketidakcukupan  energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Penyebab

  • Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
  • Tirah baring
  • Kelemahan
  • Imobilitas
  • Gaya hidup monoton

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

Mengeluh lelah

Objektif

Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  • Dispnea saat/ setelah aktivitas
  • Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
  • Merasa lemah

Objektif

  • Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat
  • Gambaran EKG menunjukkan aritmia saat/ setelah aktivitas
  • Gambaran EKG menunjukkan iskemia
  • Sianosis

Kondisi klinis terkait

  • Anemia
  • Gagal jantung kongestif
  • Penyakit jantung coroner
  • Penyakit katup jantung
  • Aritmia
  • Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
  • Gangguan metabolic
  • Gangguan musculoskeletal (PPNI, 2016, hal : 128)

 

  1. Gangguan pemenuhan nutrisi

Definisi: Asupan nutrisi tidak memenuhi kebutuhan metabolism

Penyebab:

  • Ketidak mampuan menelan makanan
  • Ketidak mampuan mencerna makanan
  • Ketidak mampuan mengabsorbsi nutrient
  • Peningkatan kebutuhan metabolism
  • Faktor ekonomi (misal finansial tidak mencukupi)
  • Factor psikologis misal setres, keengganan untuk makan)

Gejala dan tanda mayor :

Subjektif

(tidak tersedia)

Objektif

berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal

Kondisi dan tanda minor :

Subjektif

  • Cepat kenyang setelah makan
  • Kram/nyeri abdomen
  • Nafsu makan menurun

Objektif

  • Bising usus hiperaktif
  • Otot mengunyah lemah
  • Otot menelan lemah
  • membrane mukosa pucat
  • Sariawan
  • Serum albumin turun
  • Rambut rontok berlebihan
  • Diare

Kondisi klinis terkait :

  • Stroke
  • Parkinson
  • Mobius
  • Cerebral palsy
  • Clieft palate
  • Amyotropic lateral sclerosis
  • kerusakan neuromuscular
  • Luka bakar
  • Kanker
  • Infeksi
  • AIDS
  • Penyakit Crohn’s
  • Enterokolitis
  • Fibrosis kistik (PPNI, 2016,hal: 56)

 

            Intervensi

  1. Ketidak efektifan jalan napas
  • Tujuan :
  1. menunjukan jalan napas yang efektif, yang dibuktikan oleh pencegahan aspirasi; status pernapasan : kepatenan jalan napas; dan status pernapasan : ventilasi tidak terganggu.
  2. Menunjukan status pernapasan : kepatenan jalan napas, yang dibuktikan oleh indicator gangguan sebagai berikut :
  3. Frekuensi dan irama pernapasan
  4. Kedalaman inspirasi
  5. Kemampuan untuk membersihkan sekresi
  • Kreteria hasil :
  1. pecegahan aspirasi : tindakan personal untuk mencegah masuknya cairan dan partikel padat kedalam paru.
  2. Respons mekanik : orang dewasa : perubahan alveolar dan perfusi jaringan disokong secara efektif oleh fentilasi mekanik.
  3. Status pernapasan: kepatenan jalan napas: jalan napas trakeobronkial terbuka dan bersih untuk pertukaran gas.
  4. Status pernapasan: ventilasi: pergerakan udara masuk dan keluar paru.
  • Intervensi (NIC)

Aktivitas Keperawatan

  1. Kaji dan dokumentasikan hal-hal berikut ini
  • Keefektifan pemberian oksigen dan terapi lain
  • Keefektifan obat resep
  • Kecenderungan pada gas dara arteri, jika tersedia
  • Frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan
  • Factor yang berhubungan, seperti nyeri, btuk tidak efektif, mukus kental, dan keletihan
  1. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan atau ketiadaan fentilasi dan adannya suara napas tambahan
  2. Pengisapan jalan napas (NIC)
  • Tentukan kebutuhan pengisapan oral atau trakea
  • Pantau status oksigen pasien (tingkat SaO2 dan SvO2) dan status hemodinamik (tingkat MAP (mean areterial pressure) dan irama jantung) segera sebelum, selama, dan setelah pengisapan
  • Catat jenis dan jumlah secret yang kumpulkan

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung (misalnya, oksigen, mesin pengisapan, spirometer, inhaler, dan intermitten positive pressure breating [IPPB])
  2. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan merokok didalam ruang perawatan; berikan penyuluhan tentang pentingnya berhenti merokok
  3. Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknis napas dalam untuk memudahkan pengeluaran secret
  4. Ajarkan pasien untuk membebat/mengganjal luka insisi pada saat batuk
  5. Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada skutum, seperti warna, kaakter, jumlah, dan bau pengisapan jalan (napas NIC): instruksikan pada pasien dan/atau keluarga tentang cara pengisapan jalan napas, jika perlu

Aktivitas kolaboratif

  1. Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan jika perlu
  2. Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau peralatan pendukung
  3. Berikan udara/oksigen yang telah dihumidasikan (dilembapkan) sesuai dengan kebijakan institusi
  4. Lakukan atau babtu dalam terapi aerosol, nebulizer ultrasonic, fan perawatan paru lainya sesuai sesuai dengan kebijakan dan protocol institusi
  5. Beri tahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal . (Wilkinson, 2016,hal: 24)

 

  1. Gangguan pertukaran gas
  • Tujuan

Gangguan pertukaran gas akan berkurang, yang di buktikan oleh tidak terganggunnya respon alergi: sistemik, keseimbangan elektrolit dan asam basa, respon ventilasi mekanis : orang dewasa, status pernapasan: pertukaran gas, status pernapasan: ventilasi, perfusi jaringan paru, dan tanda-tanda vital.

tatus pernapasan : pertukaran gas tidak akan terganggu yang dibuktikan oleh indicator gangguan sebagai berikut:

Status kognitif

PaO2, PaCO2,pH arteri, dan saturasi O2 tidal akhir CO2

  • Kriteria hasil
  1. Respons ventilasi mekanis: orang dewasa: pertukaran alveolar dan perpusi jaringan yang disokong dalam ventilasi mekanis.
  2. Status pernapasan: pertukaran gas: pertukaran CO2 atau O2 di alveoli untuk mempertahankan konsentrasi gas darah arteri
  3. Perfusi jaringan: paru: ke adekuatan aliran dara melewati vaskulator paru yang utuh untuk perfusi unit alveoli kapiler
  4. Tanda-tanda vital: kondisi suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah dalam rentang normal.
  • Intervensi (NIC)

Aktivitas keperawatan

  1. Kaji suara paru; frekuensi napas, kedalaman, dan usaha napas; dan produksi sekutum sebagai indicator ke efektifan penggunaan alat penunjang.
  2. Pantau saturasi O2 dengan oksimeter nadi
  3. Pantau hasil gas darah (missal kadar PaO2 yang rendah, dan PaCO2 yang tinggi menunjukan perburukan pernapasan)
  4. Pantau kadar elektrolit
  5. Pantau status mental (missal, tingkat kesadaran, gelisah, dan konfusi)
  6. Peningkatan frekuensi pemantauan pada saat pasien tampak somnolen
  7. Obserfasi terhadap sianosis, terutama membrane mukosa mulut

Manajemen Jalan Napas (NIC)

  1. Identifikasikan pasien terhadap pemasangan jalan napas actual atau potensial
  2. Auskultasi suara napas, tandai area penurunan atau hilangnya ventilasi dan adannya bunyi tambahan pantau setatus pernapasan dan oksigenasi, sesuai dengan kebutuhan

Pengaturan Hemodinamik (NIC) :

  1. Auskultasi bunyi jantung
  2. Pantau dan dokumentasikan frekuensi, Irma, dan denyut jantung
  3. Pantau adannya edema ferifer, distensi vena jugularis, dan bunyi jantung S3 dan S4
  4. Pantau fungsi alat pacu jantung jika sesuai

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Jelaskan penggunaan alat bantu yang diperlukan (oksigen, pengisap, spirometer, dan IPPB)
  2. Ajarkan kepada pasien teknik bernapas dan relaksasi
  3. Jelaskan kepada pasien dan keluarga alasan pemberian oksigen dan tindakan lainnya.
  4. Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa merokok dilarang
  5. Manejemen jalan napas (NIC) :

Ajarkan tentang batuk efektif

Ajarkan kepada pasien bagaimana menggunakan inhaler yang dianjurkan, sesuai dengan kebutuhan.

Aktivitas Kolaboratif

  1. Konsultasikan dengan dokter tentang pentingnya pemeriksaan gas darah arteri (GDA) dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan sesuai dengan adannya perubahan kondisi pasien
  2. Laporkan perubahan pada data pengkajian terkait (misalnya, sensorium,pasien suara napas, pola napas, analisis gas darah arteri, sputum, efek obat)
  3. Berikan obat yang diresepkan (misalnya natrium bikarbonat) untuk mempertahankan keseimbangan asam basa.
  4. Persiapan pasien untuk ventilasi mekanis, bila perlu

Manejemen jalan napas (NIC)

  1. Berikan udara yang dilembabkan atau oksigen, jika perlu
  2. Berikan bronkodilator, jika perlu
  3. Berikan terapi aerosol, jika perlu
  4. Berikan terapi nebulasi ultrasonic, jika perlu

Pengaturan hemodinamik (NIC)

Berikan obat anti aritmia, jika perlu. (Wilkinson, 2016,hal: 185)

 

  1. Intoleransi aktifitas
  • Tujuan

Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, yang dibuktikan oleh toleransi aktifitas, ketahana, penghematan energy, tingkat kelelahan, energy psikomotorik, istirahat dan perawatan diri : AKS (dan AKSI)

  • Kriteria Hasil
  1. Mengidentifikasi aktifitas atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang dapat mengakibatkan intoleran aktivitas
  2. Berpartisipasi dalam aktifitas fisik yang dibutuhkan dengan peningkatan denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan tekanan darah serta memantau pola dalam batas normal
  3. Pada (tanggal target) akan mencapai tingkat aktifitas (uraikan tingkat yang diharapkan dari daftar pada saran penggunaan)
  4. Mengungkapkan secara verbal pengalaman tentang kebutuhan oksigen, obat dan peralatan yang dapat meningkatkan toleransi pada aktifitas
  5. Menampilkan aktifitas kehidupan sehari-hari (AKS) dengan beberapa bantuan (mis. Eliminasi dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar mandi)
  • Intervensi (NIC)

Aktifitas keperawatan

  1. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi dan melakukan AKS dan AKSI
  2. Kaji respon emosi, social, dan spiritual terhadap aktifitas
  3. Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas
  4. Manajemen Energi (NIC) :

Tentukan penyebab keletihan (mis., perawatan, nyeri dan pengobatan)

Pantau respon kardiorespiratori terhadap aktifitas (mis., takikardia, distribmia lain, dispenia, diaphoresis, pucat, tekanan hemodinamik dan frekuensi pernapasan)

Penyuluhan untuk pasien

  1. Penggunaan teknik napas terkontrol selama aktifitas jika perlu
  2. Mengenali tanda dan gejala intoleran aktifitas, termasuk kondisi yang perlu dilaporkan pada dokter
  3. Pentingnya nutrisi yang baik
  4. Penggunaan peralatan, seperti oksigen selama aktifitas
  5. Penggunaan teknik relaksasi (mis., distraksi, visualisasi) selama aktifitas
  6. Dampak intoleransi aktifitas terhadap tanggung jawab peran dalam keluarga dan tempat kerja
  7. Tindakan untuk menghemat energy sebagai contoh : menyimpan alat atau benda yang sering digunakan di tempat yang mudah terjangkau

Aktifitas kolaboratif

  1. Berikan pengobatan nyeri sebelum aktifitas apabila nyeri merupakan salah satu factor penyebab
  2. Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik (mis., untuk latihan ketahanan), atau rekreasi untuk metencanakan dan memantau program aktifitas jika perlu
  3. Rujuk pasien ke pelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan bantuan perawatan rumah jika perlu
  4. Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet, guna meningkatkan asupan makanan yang kaya energy

Aktivitas lain

  1. Hindari menjadwalkan aktifitas perawatan selama periode istirahat
  2. Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bersanndar, duduk, berdiri, dan ambulasi sesuai toleransi
  3. Pantau TTV sebelum, selama, sesudah aktifitas; hentikan jika TTV tidak dalam rentang normal bagi pasien atau jika ada tanda-tanda bahwa aktifitas tidak dapat ditoleransi (mis.,nyeri dada, pucat, vertigo, dyspnea)
  4. Rencanakan aktivitas bersaama pasien dan keluarga yang meningkatkan kemandirian dan ketahanan (Wilkinson, 2016,hal : 15-18)
  5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi
  • Tujuan: memperlihatkan status nutrisi, yang dibuktikan oleh indikator: gangguan ekstrem, berat, sedang,ringan, atau tidak ada penyimpangan dari rentang normal) :
    1. Asupan gizi
    2. Asupan makanan
    3. Asupan cairan
    4. Energi
  • Kreteria hasil:
  1. Selera makan: keinginan untuk makan ketika dalam keadaan sakit atau sedang menjalani pengobatan
  2. Perilaku keputusan: program diet : tindakan personol dan untuk mengikuti anjuran asupan makanan dan cairan
  • Intervensi (NIC):

Aktivitas keperawatan

  1. Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan
  2. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
  3. Pantau nilai laboratorium, khususnya transferrin, albumin, dan elektrolit
  4. Manajemen nutrisi (NIC)
    1. Ketahui makanan kesukaan pasien
    2. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
    3. Timbang pasien pada interval yang tepat

Penyuluhan untuk psien/keluarga

  1. Ajarkan metode untuk perencanaan makan
  2. Ajarkan pasien / keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal
  3. Manajemen nutrisi (NIC)

Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinnya.

Aktivitas kolaboratif

  1. Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein pasien yang mengalami ketidak ade kuatan asupan protein atau kehilangan protein (misalnya pasien anoreksia nervosa, penyakit gromerular atau dialysis peritoneal)
  2. Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan, makanan pelengkap, pemberian makanan melalui selang, atau nutrisi parenteral total agar asupan kalori yang adekuat dapat di pertahankan.
  3. Rujuk kedokter untuk menentukan penyebab gangguan nutrisi
  4. Rujuk ke program gizi dikomunitas yang tepat, jika pasien tidak dapat membeli atau menyiapkan makanan yang adekuat
  5. Manajemen nutrisi (NIC)

Tentukan, dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukan, jumlah kalori dan jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (khususnya untuk pasien dengan kebutuhan energy tinggi, seperti pasien paska bedah dan luka bakar, trauma, demam, dan luka). (Wilkinson, 2016,hal: 282)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Muttaqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

Nasar dan Cornain. (2015). Buku Ajar Patologi Robbins. Singapura: Elsevier.

Nixson Manurung, S. (2016). Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory. Jakarta: CV.Trans Info Media.

Patricia Gonce Morton, D. F. (2011). Volume 1 Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik Edisi 8. Jakarta: EGC.

PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Perawat Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Prof.Dr.Elin Yulinah Sukandar, A. D. (2013). Iso farmakoterapi buku 1. Jakarta: PT. ISFI .

Scott, J. M. (2012). Kedaruratan Medik. Tangerang: Binarupa Aksara.

Somantri, I. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Wilkinson, J. M. (2016). Diagnosa keperawatan. Jakarta: EGC.

Posted in Keperawatan Medikal Bedah | Leave a comment

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)

BAB I

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

ISPA merupkan salah satu dari 10 penyakit utama yang sering terjadi pada anak-anak di negara berkembang, khususnya balita diperkirakan 6-8 kali pertahun, artinya seorang anak mendapatkan serangan batuk dan pilek sebanyak 6-8 kali setahun (Maryunani, 2010, hal. 9)

Hasil SKRT 1995 menunjukkan bahwa 21,2% kematian bayi dan 30,03% kematian  anak  balita  disebabkan  oleh ISPA.  ISPA  menyangkut  saluran pernapasan  atas  dan  saluran  pernapasan bawah. Hampir semua kematian ISPA pada anak-anak  umumnya  adalah  ISPA  bagian bawah  dan  hampir  semuanya  adalah pnemonia.  Dalam  mencapai  keberhasilan program  penanggulangan  ISPA  secara nasional  dituntut  pengetahuan  ibu  untuk mengenal gejala  ISPA yang  disertai napas cepat serta sikap ibu untuk  segera melakukan konsultasi. (Maryunani, 2010, hal. 9)

ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi.Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya.40% -60% dari kunjungan di Puskesmas adalah oleh penyakit ISPA.Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30 %.ISPA merupakan salah satu penyakit pernafasan yang terberat dan banyak yang menimbulkan akibat dan kematian World Health Organization memperkirakan insidensi ISPA di negara berkembang dengan angka kejadian ISPA pada balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada  13 juta anak balita di dunia golongan usia balita. Pada tahun 2000, 1,9 juta (95%) anak – anak di seluruh dunia meninggal karena ISPA, 70 % dari Afrika dan Asia Tenggara (Olivya dkk, 2016, hal. 76)

  • Batasan Masalah

Pada pembahasan ini hanya membatasi konsep teori penyakit dan konsep asuhan keperawatan pada klien ISPA.

  • Rumusan Masalah
    1. Bagaimana konsep penyakit ISPA?
    2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien ISPA?

 

  • Tujuan
    1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memahami konsep dan melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan penyakit ISPA

  1. Tujuan Khusus
  • Tujuan Umum

Untuk mengetahui, memahami dan menambah pengetahuan atau wawasan tentang asuhan keperawatan pada pasien ISPA.

 

 

  • Tujuan Kasus
  1. Untuk mengetahui apa itu ISPA
  2. Untuk mengetahui penyebab atau etiologi dari ISPA
  3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari ISPA
  4. Untuk mengetahui patofisiologi dari ISPA
  5. Untuk mengetahui klasifikasi dari ISPA
  6. Untuk mengetahui komplikasi ISPA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

  • Konsep Penyakit
  • Definisi

ISPA  adalah penyakit saluran pernafasan akut dengan disertai atau tanpa radang perenkim paru (pneumonia),  yang diebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus maupun reketsia ke dalam saluran pernafasan yang menimbulkan gejala penyakit yang dapat berlangsung sampai 14 hari. (Wijayaningsih, 2013, hal. 1).

ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan
yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup besar pada lapangan pediatri. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan -bulan musim dingin. Tetapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Risiko terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing, serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik. (Kunoli, 2012, hal. 218) .

Secara anatomis, ISPA dapat dibagi dalam dua bagian yaitu ISPA atas dan ISPA bawah, dengan batas anatomis adalah bagian dalam tenggorokan yang biasa disebut epligotis.

  1. ISPA atas : ISPA atas yang perlu diwaspadai adalah radang saluran tenggorokan atau pharingitis dan radang telinga tengah atau otitis. Pharingitis yang disebabkan kuman tertentu (streptococcus hemolyticus) dapat berkomplikasi dengan penyakit jantung (endokarditis). Sedangkan radang telinga tengah yang tidak diobati dapat berakibat ketulian.
  2. ISPA bawah yang berbahaya adalah pneumonia dimana penyakit ini menyerang paru-paru dan ditandai dengan batuk dan kesukaran bernafas.  (Stillwell, 2011, hal. 128).
  • Etiologi

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri ( diplococcus pneumoniea, pneumococcus, stretokokus, stafilokokus, hemofillus dan korinebacterium), virus (influenza, adenovirus, sitomegagalovirus dll), jamur (aspergilus sp. Gandida albicans histoplasm) dan aspirasi (makanan, asap kendaraan bermotor, bahan bakar minyak tanah, cairan  amnion pada saat lahir, benda asing (biji-bijian) mainan plastik kecil, dll.) (Morton, 2011, hal. 721).

ISPA sendiri sering disebabkan oleh bacteri stafilokokus dan streptokokus serta virus influenza yang ada di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung. Biasanya bakteri dan virus tersebut menyerang anak-anak yang berusia dibawah 2 tahun dimana kekebalan tubuhnya masih lemah, adanya peralihan musim kemarau ke musim hujan dapat menimbulkan resiko serangan ispa. Faktor lain yang dapat diperkirakan adanya rendah asupan antioksidan, status gizi kurang dan buruknya sanitasi lingkungan. (Wijayaningsih, 2013, hal. 2)

Beberapa faktor pencetus terjadinya ISPA diantaranya yaitu:

  1. Usia : Anak yang usianya lebih muda, kemungkinan untuk menderita atau terkena penyakit ISPA lebih besar bila dibandingkan dengan anak yang usianya lebih tua karena daya tahan tubuhnya lebih rendah.
  2. Status Imunisasi : Anak dengan status imunisasi yang lengkap, daya tahan tubuhnya lebih baik dibandingkan dengan anak yang status imunisasinya tidak lengkap.
  3. Lingkungan : Lingkungan yang udaranya tidak baik, seperti polusi udara di kota-kota besar dan asap rokok dapat menyebabkan timbulnya penyakit ISPA pada anak.(Wijayaningsih, 2013, hal. 3) .

 

  • Tanda Dan Gejala
  1. Demam : sering tampak sebagai tanda infeksi pertama. Paling sering terjadi pada usia 6 bulan – 3 tahun dengan suhu mencapai 39,5-40,5ºC bahkan dengan infeksi ringan. Mungkin malas dan peka rangsang atau terkadang euforia (perasaan senang berlebihan) dan lebih aktif dari normal, beberapa anak bicara dengan cepat kecepatan yang tidak biasa.
  2. Anoreksia : merupakan hal yang umum disertai dengan penyakit masa kanak-kanak sering kali merupakan bukti awal dari penyakit. Menetap sampai derajat yang lebih besar atau lebih sedikit melalui tahap demam dari penyakit.
  3. Muntah : merupakan suatu reflek yang tidak dapat dikontrol untuk mengeluarkan isi lambung dengan paksa melalui mulut. Biasanya anak kecil mudah muntah bersamaan dengan penyakit yang merupakan petunjuk untuk awitan infeksi.
  4. Batuk : merupakan gambaran umum dari penyakit pernapasan. Dapat menjadi bukti hanya selama fase akut.
  5. Sakit tenggorokan : merupakan keluhan yang sering terjadi pada anak yang lebih besar. Ditandai dengan anak akan menolak untuk minum dan makan per oral.
  6. Keluar sekret cair dan jernih dari hidung, sering menyertai infeksi pernapasan. Mungkin encer dan sedikit atau kental dan purulen, tergantung pada tipe atau tahap infeksi.(Wijayaningsih, 2013, hal. 2)
  • Patofisiologi

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) disebabkan oleh virus atau kuman golongan A streptococus, stapilococus, haemophylus influenzae, clamydia trachomatis, mycoplasma, dan pneumokokus  atau juga karena faktor berbagai macam polusi masuk ke sluran pernafasan atas (hidung, pharing, laring) dan menginvasi bakteri jika tidak segera ditangani maka akan menyerang dan menginflamasi saluran pernafasan bagian bawah yang akan membuat peradangan dimana suhu tubuh meningkat sehingga menimbulkan  demam atau hipetermi sebagai reaksi tubuh melawan patogen asing dalam tubuh.

Adanya faktor pencetus ISPA pada  pernafasan bagian bawah( bronkus, bronkiolus, dan alveolus) juga akan menjadikan dilatasi atau pelebaran pada pembuluh darah semakin banyak benda asing yang masuk dan mengiritasi paru-paru maka akan menimbulkan eksudat yang dapt masuk ke alveoli sehingga  mengganggu  difusi gas antara CO2 dengan O2 pada paru, maka pasien juga akan tergangu pada pola nafas dan juga kapasitas fisiologisnya terjadi penurunan  untuk beraktivitas atau intoleransi aktivitas,akumulasi secret berlebih pada bronkus maka mukus juga akan meningkat dengan adanya bakteri dibagian pernafasan maka akan ada peluang bagi bakteri tersebut membawa kotoran dan menimbulkan pembengkakan didaerah mulut, bau mulut akibatb adanya penyakit disaluran pernafasan akan mengakibatkan perasaan yang tidak nyaman dan juga bisa mengakibatkan gangguan makan atau anoreksia, jika terus berlanjut maka akan menimbulkan masalah asuhan keperawatan yaitu kurangnya nutrisi dari kebutuhan pasien.

Patogen dari luar yang masuk lebih dalam  pada saluran cerna akan menginfeksi saluran cerna yang menjadikan flora yang semula normal dalam usus meningkat dan menjadikan peristaltik usus juga meningkat, jika peristaltik pada usus terus meningkat kemungkinan malabsorbsi akan terjadi dan pasien mengalami diare dimana pasien bisa BAB >3x per harinya,jika keadaan tersebut terus berlanjut maka akan menimbulkan gangguan pada cairan tubuh pasien  (Nurarif, 2015, hal. 65).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PATHWAY

 

Infeksi bakteri stafilokokus dan streptokokus serta virus influenza

 

makanan, asap kendaraan bermotor, linkungan yang kotor

 

 

Infeksi saluran pernfasan bawah
mengInvasi bakteri pada saluran pernafasan atas
Infeksi saluran nafas bawah
peradangan
Penigkatan suhu tubuh
hipetermi
Dilatasi pembuluh darah
Eksudat masuk alveoli
Gangguan difusi gas
Ganguan pertukaran  gas
Suplai O2
Kuman berlebih di bronkus
Proses peradangan
Akumulasi secret di bronkus
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Mucus di bronkus
Bau mulut tak sedap
Kuman masuk ke saluran cerna
Infeksi saluran cerna
Peningkatan flora normal usus
Peristaltik usus
malabsobsi
Frekuensi BAB > 3X/hri
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gangguan keseimbangan cairan tubuh
Nutrisi kurang dari kubutuhan tubuh
intek
anoreksia
Intoleransi aktivitas
hipoksia

 

 

 

 

 

 

(Nurarif, 2015, hal. 65)

 

  • Klasifikasi

Klasifikasi pada ISPA menurut (Kunoli, 2012, hal. 217) adalah sebagai berikut

  1. Bukan pneumonia mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuwensi nafas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding pada bagian bawah ke arah dalam. Contohnya adalah Common Cold, Faringitis, dan Oritis
  2. Pneumonia didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernafas diagnosis gejala ini berdasarkan umur. Frekuensi nafas cepat pada anak berusia 2 bulan sampai < 1 tahun = 50x/menit, untuk anak usia 1 sampi < 5 tahun = 40x/menit.
  3. Pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk kesukaran bernafas disertai sesak nafas atau tarikan dinding dada bagian bawah dalam (chest indrawing) pada anak berusia dua bulan sampai <5 tahun. Untuk anak berusia kurang 2 bulan, diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat yaitu frequensi pernafasan sebanyak 60x/menit atau lebih.

 

  • Komplikasi

ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) sebenarnya merupakan self limited disease yang sembuh sendiri dalam 5-6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lain, tetapi penyakit ISPA yang tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang baik dapat menimbulkan penyakit seperti:

  1. Laringitis

peradangan pada laring (pangkal tenggorokan), disebabkan oleh inveksi virus atau bakteri pada saluran pernapasan bagian atas pada penderita anak-anak dengan struktur saluran pernapasan yang kecil, bisa saja terjadi kesulitan bernapas jika terus memburuk hingga lebih dari dua minggu menjadi faktor penyebab ISPA pada saluran pernafasan bawah

  1. Bronkitis

Komplikasi ini terjadi ketika infeksi yang disebabkan oleh virus dan bakteri dari saluran pernafasan atas menyebar lebih jauh ke dalam paru-paru

  1. Sinusitis

Kondisi ini sering kali disebabkan oleh virus flu atau pilek  yang disebarkan sinus dari saluran pernapasan atas. Biasanya setelah terjadi pilek atau flu, infeksi bakteri sekunder bisa terjadi. Ini akan menyebabkan dinding dari sinus mengalami peradangan atau inflamasi, Faktor pemicu sinusitis infeksi virus adalah infeksi jamur dari luar tubuh  (Nurarif, 2015, hal. 129).

  • Asuhan Keperawatan
  1. Pengkajian
  • Identitas

Umur   : ISPA bisa menyerang siapa saja termasuk seseorang yang mengalami kelainan sistem kekebalan tubuh, juga pada seorang lanjut usia dikarenakan kekebalan tubuh menurun dan juga memiliki resiko pada balita dan anak-anak, dikarenakan sistem kekebalan tubuh mereka belum terbentuk sepenuhnya.

  • Jenis kelamin : bisa menyerang laki laki atau perempuan

(Wahid, 2013, hal. 194)

  1. Status kesehatan saat ini
  • Keluhan utama (demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan)
  • Alasan masuk rumah sakit (Biasanya pasien masuk ke rumah sakit dengan keadaan demam, sakit tenggorokan)
  • Riwayat penyakit sekarang ( klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan lemah, nyeri otot dan sendi, nafsu makan menurun, batuk, pilek dan sakit tenggorokan.) (Wijayaningsih, 2013, hal. 4).
  1. Riwayat kesehatan terdahulu
  • Riwayat penyakit sebelumnya

Mengkaji klien sebelumnya telah memiliki riwayat penyakit asma, pneumonia dan sebagainya. (Kunoli, 2012, hal. 213)

  • Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji kemungkinan adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan seperti yang dialami klien atau gangguan tertentu yang berhubungan langsung dengan gangguan sistem pernafasan seperti riwayat penyakit ASMA. (Stillwell, 2011, hal. 139)

  • Riwayat Pengobatan
  • Pnemunia berat : Dirawat dirumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigen dan sebagainya
  • Pneumonia : Dirawat obat antibiotik kontrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksilin atau penisilin prokain
  • Bukan pneumonia : tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan dirumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) di sertai pembesaran kelenjar getah bening di leher, di anggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.(Kunoli, 2012, hal. 217).
  • Riwayat sosial ( kemungkinan terbesar pasien terkena penyakit ISPA ketika pasien tersebut tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat penduduknya dan seringnya pasien berkontak dengan polusi baik asap kendaraan bermotor dan polusi udara yang lainnya)(Wijayaningsih, 2013, hal. 131)

 

  1. Pemeriksaan fisik
  2. Keadaan umum

Kesadaran (Biasanya pada penderita ISPA tingkat kesadaranya adalah composmentis, tetapi jika keadaan pasien sudah parah maka tingkat kesadarannya bisa Somnolen.) (Marni, 2014, hal. 222)

  1. Tanda-tanda vital

TD       :pada pasien ISPA tekanan darah meningkat

Suhu    :suhu melebihi 38.5⁰C (> 101.3⁰F) melalui rektum

RR       :pernapasan meningkat  (>24 kali/menit)

Nadi    : nadi teraba cepat (100 kali/menit). (Stillwell, 2011, hal. 128)

  1. Body system
  • Sistem pernafasan
  • Inspeksi
  • Membran mukosa hidung-faring tampak kemerahan
  • Tonsil tampak kemerahan dan edema
  • Tampak batuk tidak produktif
  • Tidak ada jarinan parut pada leher
  • Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, pernafasan cuping hidung
  • Palpasi
  • Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher atau nyeri tekan pada nodus limfe servikalis
  • Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
  • Perkusi
  • Suara paru normal (resonance)
  • Auskultasi
  • Suara nafas vesikuler atau tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru

(Wijayaningsih, 2013, hal. 5).

  • Sistem kardiovaskuler
    • Inspeksi :
  1. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum
    • Palpasi
  2. Denyut nadi cepat
    • Perkusi
  3. Batas jantung mengalami pengeseran
    • Auskultasi
  4. Tekanan darah meningkat (Wahid, 2013, hal. 195-196)
  • Sistem persarafan : Tidak adanya kelainan(Nurarif, 2015, hal. 65)
  • Sistem perkemihan : Tidak adanya kelainan(Nurarif, 2015, hal. 65)
  • Sistem pencernaan
    • Inspeksi :
  • bentuk abdomen (cembung/cekung/ datar), kesimetrisan, masa atau benjolan
    • Auskultasi :
  • lakukan asukultasi abdomen untuk menentukan adanya bising usus pada pasien.
    • Palpasi :
  • lakukan palpasi abdomen untuk menentukan lemah, keras atau distensi, adanya nyeri tekan, dan adanya massa atau asites. (Wahid, 2013, hal. 196).
  • Sistem integumen
  • Inspeksi :
  • ada tidaknya lesi, ada tidaknya jaringan parut,
  • Warna kulit :
  • Pucat
  • sianosis
  • Palpasi :
  • Turgor menurun (Morton, 2011, hal. 630)
  • Sistem muskuloskeletal: Tidak adanya kelainan(Nurarif, 2015, hal. 65)
  • Sistem endokrin: Tidak adanya kelainan(Nurarif, 2015, hal. 65)
  • Sistem reproduksi: Tidak adanya kelainan(Nurarif, 2015, hal. 65)
  • Sistem penginderaan
    • Pemeriksaan mata

Inspeksi : kesimetrisan mata, ada tidaknya oedem pada kelopak mata/palpebra,konjungtiva dan sklera tidak ada perubahan warna

  • Pemeriksaan telinga

Inspeksi : bentuk simetris,terdapat serumen, tidak terdapat benjolan, tidak terdapat hiperpigmentasi

Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan

  • Pemeriksaan hidung

Inspeksi : amati bentuk tulang hidung dan posisi septum nasi (adakah pembengkokan atau tidak,) terdapat secret atau tidak,

Palpasi  :ada atau tidaknya terdapat nyeri tekan, dan masa

  • Pemeriksaan mulut

Inspeksi : amati bibir (kelainan konginetal : labioseisis, palatoseisis atau labiopalatoseisis), warna lidah terdapat perdarahan atau tidak, ada abses atau tidak (Marni, 2014, hal. 26)

  • Sistem imun: Virus yang menyerang saluran nafas dapat menyebar ke tempat- tempat lain dalam tubuh, sehingga dapat menyerang sistem imun dan dapat menyebabkan demam (Nurarif, 2015, hal. 65)

 

 

 

  • Pemeriksaan penunjang
    1. Pemeriksaan kultur/ biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai dengan jenis kuman.
    2. Pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia.
    3. Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan.(Wahid, 2013)
  • Penatalaksanaan
  1. Penderita pneumia (ISPA berat) dapat dirawat di rumah, tetapi jika keadaannya berat penderita harus di rawat di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang memadai, seperti cairan intravena jika sangat sesak,oksigen, serta sarana rawat lainnya
  2. Untuk orang dewasa dapat diberikan kotrimoksazol 2×2 tablet. Pada kasus dimana rujukan tidak memungkinkan diberikan injeksi amoksilin atau gentamisin
  3. Pada orang dewasa, terapi kausal secara empiris adalah penisilin prokain 600.000-1.200.000 IU sehari atau ampisilin 1 gram 4 kali swhari terutama pada penderita dwngan batuk produktif
  4. Bila penderita elergi terhadap golongan penisilin dapat diberikan eritromisin 500mg 4 kali sehari. Demikian juga bila diduga penyebabnya mikoplasma
  5. Tergantung jenis batuk, dapat diberikan kodein 8 mg 3 x sehari atau bronkhodilator (theophilin atau salbutamol)
  6. Suportif : meningkatkan daya tahan tubuh berupa Nutrisi yang adekuat,pemberian multivitamin dll. (Kunoli, 2012, hal. 220).
  7. Diagnosa Keperawatan

Menurut  (Wilkinson, 2011, hal. 1016) diagnosa keperawatan pada ISPA yang muncul antara lain:

  • Intoleransi aktivitas

Definisi: ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin dilakukan

Batasan Karakteristik:

  1. Subjektif

Ketidaknyamanan atau dipsneea saat beraktivitas

Keletihan atau kelemahan secara verbal

  1. Objektif

Respon frekuensi jantung atau tekanan darah abnormal terhadap aktivitas,

Perubahan elektrokardiogram (EKG) yang menunjukkan aritmia, iskemia dan abnormalitas konduksi.

Faktor yang berhubungan

  1. Tirah baring dan imobilitas
  2. Kelemahan umum
  3. gaya hidup kurang gerak
  4. Ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Herdman, 2015, hal. 241).
  • Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inspeksi

Definisi : resiko tehadap kegagalan untuk mempelihara suhu tubuh dalam batas normal. (Wilkinson, 2011, hal. 46).

Batasan karateristik

  1. Subjektif : tidak tersedia
  2. Objektif : perubahan laju metabolisme, dehidrasi, kulit merah, kejang, takikardi, takipnea, kulit terasa hangat.

Faktor yang berhubungan

  1. Dehirasi
  2. terpapar lingkungan panas
  3. proses penyait (mis infeksi,kanker)
  4. peningkatan laju metabolisme
  5. respon trauma dan aktivitas berlebihan (SDKI, 2016: 284).
  • Ketidakseimbangan nutrisi

Definisi: asupan nitrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.

Batasan Karakteristik

  1. Berat badan 20% atau lebih sibawah rentang berat badan ideal.
  2. Bising usus hiperaktif.
  3. Cepat kenyang setelah makan.
  4. Gangguan sensasi rasa.
  5. Kelemahan otot pengunyah.
  6. Kelemahan otot untuk menelan.
  7. Kerapuhan kapiler.
  8. Ketidakmampuan memakan makanan.
  9. Tonus otot menurun.

Faktor yang berhubungan:

  1. Perilaku makan terganggu.
  2. Ketidakmampuan makan.
  3. Kurang asupan makanan.
  4. Ketidak mampuan mencerna makanan.
  5. Tingginya kebutuhan metabolik. (herdman, 2015:181).
  • Nyeri akut berdasarkan inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil

Definisi: Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.

Batasan karakteristik

  1. Subjektif: mengeluh nyeri
  2. Objektif: tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, TD meningkat, nafsu makan berubah dan berfokus pada diri sendiri.

Faktor yang berhubungan

Agents-agents, penyebab cidera( misalnya biologis,kimia,fisik, dan psikologis) (SDKI, 2016, hal. 172).

  • Risiko tinggi penularan infeksi berhubungan dengan tidak kuatnya pertahan sekunder (adanya infeksi penekanan imun).

Definisi: rentan mengalami invasi dan multiplikasi organisme patogenik yang dapat mengganggu kesehatan.

Faktor risiko:

  1. Kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
  2. Prosedur invasif.
  3. Penekanan sistem imun.
  4. Ketidak adekuatan imunitas dapatan(Herdman, 2015, hal. 405)
  • Ketidakefektifan pembersihan jalan napas

Definisi: ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi saluran napas guna mempertahankan jalan napas yang bersih.

Batasan karakteristik

  1. Subjektif : dispnea
  2. Objektif : suara napas tambahan (misalnya, rale, crackle, ronki dan mengi), perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan, batuk tidak ada atau tidak efektif, sianosis, kesulitan untuk berbicara, penurunan suara napas, otropnea, gelisah, sputum berlebihan, mata terbelalak. (Wilkinson, 2011, hal. 37).

Faktor yang berhubungan:

  1. Adema
  2. Peningkatan dan kekentalan sekresi trakeobronkial atau paru.
  3. Inflamasi trakeobronkial.
  4. Nyeri pleuritik
  5. Batuk tidak efektif sekunder akibat keletihan (Wilkinson, 2011, hal. 1016).
  6. Intervensi
  7. Ketidakefektifan pembersihan jalan napas.

Hasil NOC

Tujuan :

  1. menunjukkan status pernapasan: ventilasi tidak terganggu
  2. menunjukkan status pernapasan: pola pernapasan efektif

Kriteria hasil

  1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernapas dengan mudah, tidak ada pursed lips).
  2. Menunjukkan jalan nafas yang paten(pasien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal).
  3. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas. (Nurarif, 2015, hal. 303).

Intervensi NIC

Airway sunction

  1. Pastikan kebutuhan oral atau tracheal suction
  2. Auskultasi suara napas sebelum dan sesudah suction
  3. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang suction.
  4. Minta pasien nafas dalam sebelum suction dilkakukan.
  5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal utuk memfasilitasi suction nasotrakeal
  6. Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan
  7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan dari masotrakeal.
  8. Monitor status oksigen pasien.
  9. Ajarkan keluaarga bagaimana cara melakukan suction
  10. Hentikan suction dan berikan oksigen apabila pasien menunjukan brakikardi, peningkatan saturasi O2,dll

Airway management

  1. Buka jalan napas, gunakan tekhnik chin lift atau jaw thrust bila perlu.
  2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan vetilasi.
  3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan napas buatan.
  4. Pasang mayo bila perlu
  5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
  6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
  7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
  8. Lakukan suction pada mayo.
  9. Berikan bronkodilator bila perluberikan pelembab udara kassa basah NaCl lembab.
  10. Atur intake untuk cairan.
  11. Monitor respirasi atau status O2.(Nurarif, 2015, hal. 303)

Aktivitas keperawatan

Meurut  (wilkinson, 2011: 102),pada umumnya tindakan keperawatan pada pasien dengan ketidakefektifan jalan napas ini berfokus pada kajian penyebab ketidakefektifan pernapasan, pemantauan status pernapasan, penyuluhan mengenai penatalaksanaan mandiri terhadap alergi, membantu pasien untuk memperlambat pernapasan dan mengendalikan respons dirinya, membantu pasien menjalani pengobatan pernapasan, dan menenangkan pasien selama periode dispnea dan napas pendek.

Pengkajian:

  1. Pantau adanya pucat atau sianosis.
  2. Pantau efek obat pada status pernapasan.
  3. Tentukan lokasi dan luasnya krepitasi di sangkar iga
  4. Kaji kebutuhan insersi jalan napas.
  5. Observasi dan dokumentasikan ekspansi dada bilateral pada pasien yang terpasang ventilator.

Penyuluhan untuk pasien atau keluarga.

  1. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki pola pernapasan \.
  2. Diskusikan perencnaan untuk perawatan dirumah, meliputi pengobatan, peralatan pendukung, tanda dan gejala komplikasi yang dapat dilaporkan, sumber- sumber komunitas.
  3. Ajarkan teknik batuk efektif.
  4. Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa tidak boleh merokok di dalam ruangan
  5. Instruksikan kepada pasien dan keluarga bahwa mereka harus memberitahu perawat pada saat terjadi ketidakefektifan pola pernapasan.

Aktivitas kolaboratif

  1. Konsultasi dengan ahli terapi pernapasan untuk memastikan keadekuatan fungsi ventilator mekanis.
  2. Laporkan perubahan sensori, bunyi napas, pola napas, pola pernapasan, nilai GDA, sputum, dan sebagainya, jika perlu atau sesuai protokol.
  3. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses insfeksi

Tujuan: suhu tubuh normal 30-37,5⁰C

  • Observasi tanda-tanda vital
  • Anjurkan pada pasien atau keluarga untuk melakukan kompres dingin (air biasa) pada kepala / axial
  • Atur sirkulasi udara
  • Anjurkan pasien untuk mengenakan pakaaian yang tipis dan dapat menyerap keringan seperti katun
  • Anjurkan pasien untuk minum banyak ±2000-2500 ml/hr
  • Anjurkan pasien untuk istirahat di tempat tidur selama fase febris penyakit
  • Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy, obat antimicrobial, dan antipiretika(Kunoli, 2012, hal. 222) .
  1. Ketidakseimbangan nutrisi

Tujuan : klien dapat mencapai BB yang direncanakan mengarah pada BB normal, klien dapat menoleransi diet yang dianjurkan, tidak menunjukan tanda malnutrisi. (Kunoli, 2012, hal. 222)

Intervensi  NIC:

  • Kaji adanya alergi makanan
  • Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
  • Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
  • Anjurkan pasien untuk menigkatkan protein dan vitamin C
  • Berikan subtansi gula
  • Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
  • Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan (Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma, 2015:294-295)
  1. Nyeri akut berdasarkan inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil.

Tujuan: nyeri berkurang atau terkontrol.

Intervensi NIC:

  • Lakukan pwngkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
  • Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu, ruangan pencahayaan dan alergen atau iritan terhadap debu.
  • Anjurkan untuk melakukan kumur air hangat.
  • Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
  • Kolaborasi: berikan obat sesaui indikasi (steroid oral, IV, inhalasi dan analgesik)(Nurarif, 2015, hal. 299-300)
  1. Risiko tinggi penularan infeksi berhubungan dengan tidak kuatnya pertahan sekunder (adanya infeksi penekanan imun)

Tujuan : tidak terjadi penularan, tidak terjadi komplikasi (Wijayaningsih, 2013, hal. 8)

Intervensi:

  1. Batasi pengunjung sesuai indikasi
  2. Menjaga keseimbangan antara istirahat dan aktivitas
  3. Menutup mulut dan hidung ketika bersin
  4. Meningkatkan daya tahan tubuh, terutama anak di bawah usia 2 tahun, lansia, dan penderita kronis. Konsumsi vitamin C, A dan mineral seng atau anti oksidan jika kondisi tubuh menurun atau asupan makanan berkurang.
  5. Kolaborasi pemberian obat sasuai hasil kultur.(Kunoli, 2012, hal. 223)

Rasionalisasi:

  1. Menurunkan potensi terpajan pada penyakit infeksius.
  2. Menurunkan konsumsi atau kebutuhan keseimbangan O2 dan memperbaiki pertahanan pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
  3. Mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
  4. Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
  5. Dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitifitas atau diberikan secara profilaktik karena risiko tinggi (Wijayaningsih, 2013, hal. 8).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Herdman, T. H. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Aplikasi. Jakarta: EGC.

Kunoli, F. J. (2012). Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis. Jakarta Timur: Trans Info Media.

Marni. (2014). Asuhan Keperawatan pada Anak Sakit. Yogyakarta : Gosyen.

Maryunani, A. (2010). Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: CV. Trans Info Media.

Morton, P. G. (2011). Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.

Nurarif, A. H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Medis dan Nanda Nic – Noc. Jogjakarta: Mediaction.

Olivya dkk. (2016). HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANGTUA DENGAN PENCEGAHAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA ANAK USIA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUMINTING KOTA MANADO. E-jurnal Sariputra. vo. 3(2), 76.

SDKI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat.

Stillwell, S. B. (2011). pedoman keperawatan kritis. Jakarta: EGC.

Wahid, A. (2013). Asuhan Keperawatan pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta Timur: Trans Info Media.

Wijayaningsih, K. S. (2013). Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: Cv. Trans Info Media.

Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.

Posted in Keperawatan Medikal Bedah | Leave a comment

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PENDERITA “HIV/AIDS”

BAB 1

PENDAHULUAN

 

  1. Latar belakang

Pertama kali HIV ditemukan pada hewan simpanse yang diduga sebagai sumber infeksi ke tubuh manusia, pertama virus ini bernama Simian Immunodefeciency Virus yang bermutasi menjadi Human Immunodefeciency Virus (HIV) saat manusia memburu hewan ini untuk dijadikan pangan. Di indonesia HIV pertama kali dilaporkan di Bali bulan April 1987 terjadi pada orang berkebangsaan belanda, sejak pertama kali ditemukan di indonesia pada tahun 2011 kasus HIV/AIDS sudah tersebar di 368 dari 498 kabupaten/kota kasus HIV/AIDS sudah meningkat secara signifikan (Katiandagho, 2015, pp. 1-6)

HIV/AIDS telah menjadi wabah penyakit paling mematiakan dalam sejarah, setiap 25 menit di Indonesia satu orang akan terinfeksi HIV/AIDS, satu dari lima orang yang terinfeksi berusia dibawah 25 tahun. Lebih dari 500.000 orang di Indonesia akan positif terinfeksi HIV pada tahun 2014, mereka diberikan obat anti viral untuk melumpuhkan virus HIV (Gallant, 2010, hal. 6-7).

HIV (Human immunodeficiency virus) ialah virus yang secara progresif mengancurkan sel-sel darah putih, infeksi HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, meyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu terutama pada orang dewasa sedangkan AIDS (Acquired immunodefeciency syndrome) adalah  penyakit berat yang ditandai dengan kerusakan imunitas seluler yang disebabkan oleh retrovirus (Bararah & Jauhar, 2013, p. 295)

Penyakit HIV/AIDS bisa disebabkan oleh hubungan seksual secara bebas tanpa menggunakan kondom, memakai drug dan jarum yang dipakai secara bergantian, HIV mempunyai masa inkubasi atau perjalanan untuk memasuki tubuh manusia, ada tanda dan gejala yang dialami oleh orang yang sudah terinfeksi HIV tapi agar tidak terjadi salah kaprah tentu kita harus memeriksakan terlebih dahulu ke dokter dengan menggunakan tes ELISA dan western blot (Gallant, 2010, hal. 24-25)

 

  1. Batasan Masalah

Agar auhan keperawatan ini lebih terarah maka penulis membatasi masalah yang ada di asuhan keperawatan ini, meliputi : definis, etioligi manifestasi klinis, komlpikasi pada penyakit HIV/AIDS

 

  1. Rumusan Masalah
  2. Apa definisi dari penyakit HIV/AIDS ?
  3. Bagaimana etiologi dari penyakit HIV/AIDS ?
  4. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit HIV/AIDS?
  5. Bagaimana patofisiologi dari penyakit HIV/AIDS?
  6. Bagaimana asuhan keperawatan dari penyakit HIV/AIDS?

 

  1. Tujuan
  2. Tujuan Umum

Setelah kita mempelajari proses mata kuliah medikal bedah mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang konsep dari penyakit HIV/AIDS ini dan mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada klien yang menderita HIV/AIDS

 

  1. Tujuan Khusus
  • Mahasiswa diharapkan untuk mampu memahami definisi dari penyakit HIV/AIDS ?
  • Mahasiswa mampu memahami bagaimana etiologi dari penyakit HIV/AIDS ?
  • Mahasiswa juga diharapkan mampu mengenali manifestasi klinis atau tanda     dan gejala dari penyakit HIV/AIDS?
  • Mahasiswa juga diharapkan bisa mengerti dan memahamin bagaimana  patofisiologi dari penyakit HIV/AIDS?
  • Mahasiswa juga diharapkan untuk memahami bagaimana asuhan keperawatan dari penyakit HIV/AIDS?

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

 

  1. Konsep Dasar HIV/AIDS
  2. Definisi

HIV (Human immunodeficiency virus) ialah virus yang secara progresif mengancurkan sel-sel darah putih yang menyerang limfosit T, infeksi HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, meyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu terutama pada orang dewasa (Bararah & Jauhar, 2013, p. 295)

HIV (Human immunodefeciency virus)  pertama kali menyerang di sub-Sahara Afrika suatu pada abad ke-20 virus ini ditularkan oleh simpanse, mungkin sewaktu manusia memburu lalu terkena darah simpanse. Penyakit ini awalnya menyerang laki-laki homoseksual dan bioseksual tapi kemudian meluas menyertakan pengguna obat terlarang yang disuntikan (Gallant, 2010, hal. 18).

AIDS(Aquired immunodefeciency syndrome) yang disebabkan oleh virus HIV(Human imunodefeciency virus), dimana virus ini menyerang sel-sel darah putih atau sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga orang yang terserang penyakit ini tidak dapat melawan berbagai jenis penyakit yang menyerang tubuhnya. AIDS juga dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan karakterististik defesiensi imun yang berat, dan merupakan manifestasi stadium akhir infeksi HIV, antibodi HIV posistif tidak identitik dengan AIDS karena AIDS harus menunjukkan adanya satu atau lebih gejala penyakit defesiensi sistem imun idem (Katiandagho, 2015, p. 11)

AIDS (Acquired immunodefeciency syndrome) juga bisa disebut  penyakit berat yang ditandai dengan kerusakan imunitas seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV). Akibat dari penyakit ini sistem kekebalan tubuh bisa menurun secar bertahap disebabkan oleh infeksi HIV, Selama perjalanan penyakit ini pasien sangat membutuhkan perawatan medis dan keperawatan yang canggih (Bararah & Jauhar, 2013, p. 295)

  1. Etiologi

Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV yaitu suatu virus yang masuk ke dalam kelompok retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini juga bisa dapat ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi patogen di dalam darah, dan penularan masa perinatal (Bararah & Jauhar, 2013, p. 295)

HIV sendiri termasuk kelompok retrovirus, virus yang mempunyai enzim (protein) yang dapat mengubah asam rebonukleatnya(RNA) menjadi asam deoksiribunokleat(DNA). Kemampuan HIV untuk tetap tersembunyi yang menyebabkan virus ini tetap ada seumur hidup bahkan dengan pengobatan yang efektif. Penularan virus dapat ditularkan melalui :

  1. Hubungan seksual yang tidak terlindungi atau tanpa kondom dengan orang yang telah terinfeksi HIV
  2. Jarum sunti yang tidak disterilkan dan sering dipakai secara bergantian
  3. Mendapatkan tranfusi darah dari penderita virus HIV
  4. Ibu penderita HIV positif melahirkan atau melalui air susu ibu (ASI) (Gallant, 2010, hal. 24-25).

 

  1. Manifestasi Klinis Penyakit HIV/AIDS
  • Fase 1 : Terinfeksi HIV

Rentang waktu sejak virus HIV masuk kedalam tubuh sampai antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window period antara 15 hari sampai 6 bulan. Dalam fase ini umumnya seseorang yang telah terinfeksi HIV masih tampak dan merasa sehat-sehat saja, tanpa menunjukkan gejala apapun bahwa ia sudah tertular HIV akan tetapi orang ini juga sudah menularkan HIV pada orang lain (Katiandagho, 2015, p. 32)

  • Fase 2 : Gejala-gejala mulai terlihat

Dalam fase ini umumnya gejala-gejala mulai nampak, seperti hilangnya selera makan, gangguan pada rongga mulut dan tenggorokan, diare, pembengkakan kelenjar, bercak-bercak dikulit, demam serta keringat berlebihan di malam hari tetapi gejala diatas belum dapat di jadikan patokan bahwa itu adalah AIDS, karena itu masih gejala-gejala umum  dan harus di periksakan ke dokter untuk hasil yang lebih spesifik (Katiandagho, 2015, p. 33)

  • Fase 3 : Penyakit AIDS

Dalam fase ini HIV benar-benar menimbulkan AIDS. Sistem kekebalan tubuh semakin menurun sehingga tidak ada lagi perlawanan terhadap penyakit yang menyerang termasuk kanker dan infeksi. Perwujudan penyakit yang menyerang tubuh seseorang tergantung pada virus, bakteri, jamur atau  protozoa yang menyebabkan infeksi, sehingga orang tersebut akan menderita penyakit yang parah (Katiandagho, 2015, p. 33)

  • Fase 4 : Penderita Meninggal karena salah satu Penyakit

Sebagaimana yang telah kita pahami bahwa tanpa sistem kekebalan tubuh yang baik sulit bagi seseorang untuk mempertahankan hidupnya dari serangan penyakit. Seseorang bisa bertahan hidup terhadap berbagai penyakit pada tahapan AIDS, tetapi hanya berlangsung selama 1-2 tahaun saja, selanjutnya penderita akan meninggal dunia karena penyakt atau komplikasi dari beberapa penyakit yang ia derita (Nurarif & Kusuma, 2015)

 

  1. Patofisiologi

HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral, subset limfosit ini yang mencakup limfosit penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit mekanisme infeksi HIV yang menyebabakan penuruan sel CD4.

Virus HIV secar istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen   permukaan CD4, yang bekerja sebagai resepetor viral, meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri, induksi apoptosis melalui antigen viral yang dapat bekerja sebagai superantigen. HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit, infeksi HIV pada monosit tidak seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat berperang sebagai resorvoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi dan dapat membawa virus ke organ, erutama otak. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh virus lokal atau komlikasi infeksi lain atau autoimun.

Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir meskipun “periode inkubasi” , secara umum lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan fungsi sel B hipergameglobulinemia dengan produksi antibodi nonfungsional lebih unifersal di antara anak-anak yang terinfeksi HIV daripada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan (Bararah & Jauhar, 2013, p. 297)

 

 

HIV berikatan limfosit T, monosit, makrograf
  • Phatway
-kontak dengan darah
-kontak seks tanpa kondom
-kontak ibu bayi
HIV masuk ke dalam tubuh

 

 

 

HIV berdifusi dengan CD4
Neutropenia
Netrofil

                                                                                                             

Intergasi DNA virus+prot pada T4(provirus)
Inti virus masuk ke sitoplasma

 

RNA-DNA
RNA genom dilepas ke sitoplasma
mRNA ditranslasi
Prot. Virus
Tunas virus
Virion HIV baru terbentuk
AIDS
Infeksi sel T lain
Respon imun
Defisiensi pengetahuan
Humoral
seluler
Sel B di hasilkan antibody spesifik
APC aktifkan CD4+

 

Diferensiasi dalam plasma
Penurunan IGM DAN IGG
Terinfeksi virus (sel T dan  helper)
Interveron gamma

 

 

 

 

 

Tidak mengintesifkan system menurun

 

Lawan CD4 yang terinfeksin
Pengaruh ikatan pada tes ELISA
CD4 menurun
Sistem kekebalan tubuh menurun
Mudahnya tranmisi penularan
Sel rentan
Rentan terinfeksi
Mutasi gen
Pembelahan sel berlebih
Picu sel kanker
Isolasi sosial
Gangguan harga diri
Pengeluaran mediator kimia
Aktifkan flora normal
Resiko infeksi oportunistik
Peningkatan sitokinin

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pirogenindogen

 

Suhu tubuh menurun oleh hipotalamus
demam
Ketidakefektifan termoregulasi
Menginfeksi paru-paru
Saluran pencernaan
Eksudat
Gangguan jalan napas
Inhalasi dan ekhalasi terganggu
Suplai o2 turun
Ketidakefektifan jalan napas
Difusi o2 terganggu
Metabolisme sel menurun
Hipoksia
Sesak nafas
Ketidakefetifan pola napas
ATP melemah
Intoleransi aktivitas
Mukosa teriritasi
Pelepasan asam amino
BB kurang dari normal
Ketidak seimbangan nutrisi
Bakteri mudah masuk
Peristaltic menaik
Absorbsi air dan nutrisi menurun
Resiko keseimbangan elektrolit

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber : (Nurarif & Kusuma, 2015)

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Komplikasi Penyakit HIV/AIDS
  2. Oral Lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis HIV(Human Immunodefeciency Virus), luekloplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai dengan bercak-bercak putih seperti krimdalam rongga mulut. Jika tidak terobati, kandidiasis oral akan berlanjut mengenai esofagus dan lambung. Tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit dibalik sternum(nyeri retrosternal).

  • Ensefalopati HIV atau yang disebut sebagai dimensia AIDS (ADC; AIDS dmentia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan konsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. Stadium lanjut menccakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respons verbal, gangguan efektif seperti peradangan yang kosong, hiperfleksi pareparesis spastik, psikosis, halusinasi, tremor, inkontenensia, dan kematian (Bararah & Jauhar, 2013, p. 301)
  • Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. Diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal
  1. Gastrointestianal

Wasting syndrome kini diikut sertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penuruanan BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari  30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini.

  1. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma kaposi. Dengan efek, penurunana berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
  2. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi, obat ilegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis.
  3. Penyakit anorektal karena abses dan dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare
  4. Respirasi

Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak napas(dispnea), batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan  demam yang  akan menyertai berbagai infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Myobacterium Intracelluler (MAI), cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides

  1. Derrmatologik

Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi, dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi opurtunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit. Moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformatis. Dematitis sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan  psoriasis

  1. Sensorik
  2. Pandangan : sarkoma kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis sitomegalovirus berefek kebutaan.
  3. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi otot (Bararah & Jauhar, 2013, pp. 302-303)

 

 

  1. Konsep Asuhan Keperawatan
  2. Pengkajian
  3. Identitas klien

HIV/AIDS bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan diseluruh dunia. Namuan ada beberapa perbedaan penting, hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan jumlah CD4 yang sama, perempuan dengan HIV positif mempunyai jumlah virus yang lebih rendah daripada laki-laki dengan HIV positif, jumlah virus bisa menghilang dengan berlalunya waktu. Hasil penelitian juga menyatakan bahwa perempuan dengan HIV positif bisa meninggal lebih cepat daripada laki-laki (Gallant, 2010, hal. 140).

  1. Riwayat keluarga
  2. Keluhan utama

Keluhan yang paling sering terjadi seperti demam dan penurunan berat >10% tanpa sebab disertai dengan diare (Nurarif & Kusuma, 2015)

  1. Riwayat kesehatan sekarang

Klien merasakan sariawan yang tak kunjung sembuh, diare kronik selama 1 bulan terus-menerus, demam berkepanjangan (Gallant, 2010, hal. 23).

  1. Riwayat kesehatan dulu

Pada pasien HIV/AIDS sering dijumpai riwayat yang bergonta-ganti pasangan maupun menggunakan jarum suntik, transfusi darah yang mengandung HIV (Gallant, 2010, hal. 24).

  1. Riwayat kesehatan sekarang

Umumnya infeksi HIV/AIDS ditularkan kepada bayi ketika dalam kandungan atau masa menyusui (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 10)

 

  1. Pemeriksaan fisik
  • Keadaan umum

Umumnya pasien dengan infeksi HIV/AIDS akan menunjukkan keadaan yang kurang baik karena mengalami penurunan BB (>10%) tanpa sebab, diare kronik tanpa sebab sampai >1 bulan, demam menetap (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 10)

  • Tanda-tanda vital

Tekanan darah normal atau sedikit menurun.

Denyut perifer kuat dan cepat (Kunoli, 2012, hal. 194).

  • Body sistem
  1. Sistem neurologi
  2. Sistem penglihatan

Inspeksi : mata anemia, gangguan refleks pupil, vertigo (Wijayaningsih, 2013, hal. 247).

  1. Sistem pendengaran

Inspeksi : kehilangan pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi otot (Bararah & Jauhar, 2013, p. 303)

  1. Sistem pengecapan

Inspeksi : lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna mucosa mulut (Bararah & Jauhar, 2013, p. 302)

  1. Sistem integumen

Inspeksi : munculnya bercak-bercak gatal diseluruh tubuh yang mengarahkan kepada penularan HIV/AIDS menuju jarum suntik , turgor kulit jelek (Katiandagho, 2015, hal. 30).

  1. Sistem endokrin

Inspeksi : terdapat pembengkakan pada kelenjar getah bening

Palpasi : teraba pembesaran kelenjar getah bening (Gallant, 2010, hal. 21).

 

 

 

  1. Sistem pulmoner

Inspeksi : batuk menetap lebih dari 1 bulan, bentuk dada barrel chest (Muttaqin & Sari, 2011, p. 3)

  1. Sistem kardiovaskuler

Inspeksi : sianosis, hipotensi, edema perifer (Wijayaningsih, 2013, hal. 248)

Palpasi : Takikardi (Wijayaningsih, 2013, hal. 248)

  1. Sistem gastrointestinal

Inspeksi : diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan, berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan (Bararah & Jauhar, 2013, p. 302)

  1. Sistem urologi

Pada kondisi berat didapatkan penurunan urine output respons dari penurunan curah jantung (Mutaqin, 2011, hal. 491).

  1. Sistem muskulokeletal

Respon sistemik akan menyebabkan malaise, kelemahan fisik, dan di dapatkan nyeri otot ekstremitas (Mutaqin, 2011, hal. 492).

  1. Sistem imunitas

Inspeksi : pasien dengan HIV/AIDS cenderung mengalami penurunan imun akibat rusaknya CD4 (Gallant, 2010, hal. 21).

  1. Sistem perkemihan

Inspeksi : tidak mengalami perubahan pada produsi urine

Palapasi : nyeri tekan abdominal (Muttaqin & Sari, 2011, p. 491)

  1. Sistem reproduksi

Inspeksi :  ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan atau saat melahirkan atau melalui air susu ibu (ASI) (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 3)

 

  1. Pemeriksaan penunjang
  2. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
  3. ELISA (positif, hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
  4. Western blot (positif)
  5. P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
  6. Kultur HIV (positif, kalau dua kali uju kadar secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen P24 dengan kadar yang meningkat
  7. Tes untuk deteksi gangguan sistem imun
  8. LED (Normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
  9. CD4 limfosit menurun (jika menurun akan mengalami penurunan kemampuan untuk beraksi terhadap antigen)
  10. Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
  11. Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit)
  12. Kadar immunoglobin menurun(Bararah & Jauhar, 2013, p. 303)

 

  1. Penatalaksanaan
  • Pengobatan suportif
  1. Meningkatkan keadaan umum pasien
  2. Pemberian gizi yang sesuai
  3. Pemberian obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidn(AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkip DNA HIV
  4. Dukungan psikososial (Bararah & Jauhar, 2013, p. 303)
  • Pencegahan

Program pencegahan HIV/AIDS akan lebih efektif bila dilakukan dengan komitmen masyarakat dan komitmen politik yang tinggi untuk mencegah ataupun mengurangi perilaku resiko terhadap penularan HIV , upaya pencegan meliputi :

  1. Memberiakan penyuluhan kesehatan disekolah dan di masyarakat untuk tidak berganti-ganti pasangan
  2. Tidak melakukan hubungan seks bebas atau menggunakan kondom saat berhubungan
  3. Menganjurkan pada pengguna jarum suntik untuk menggunakan metode dekontaminasi dan menghentikan penggunaan jarum bersama
  4. Menyediakan fasilitas konseling HIV dimana identitas penderita bisa dirahasiakan juga menyediakan tempat untuk melakukan pemeriksaan darah
  5. Untuk wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk dilakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin
  6. Semua donor darah harus di uji antibodi HIVnya (Desmon, 2015, hal. 21-23).
  1. Diagnosa Keperawatan
  2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berdasarkan asupan oral

Definisi : Asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik

Penyebab :

  1. Ketidakmampuan menelan makanan
  2. Ketidakmampuan mencerna makanan
  3. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrisi
  4. Peningkatan kebutuhan metabolisme
  5. Faktor ekonomi(mis: finansial tidak mencukupi)
  6. Faktor psikologis (mis.stres, keenganan untuk makan)

Gejala dan tanda mayor :

  1. Subjektif :

(tidak tersedia)

  1. Objektif

Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentan normal

Gejala dan tanda minor :

  1. Subjektif :
    1. Cepat kenyang setelah makan
    2. Kram/nyeri abdomen
    3. Nafsu makan menurun
  2. Objektif :
    1. Bising usus hiperaktif
    2. Otot pengunyah lemah
    3. Otot menelan melemah
    4. Membran mukosa pucat
    5. Sariawan
    6. Serum albumin turun
    7. Rambut rontok berlebih
    8. Diare

Kondisi klinis terkait :

  1. AIDS
  2. Kanker
  3. Kerusakan neuromuskular
  4. Infeksi
  5. Parkinson
  6. Penyakit Crohn’s (PPNI, 2016, hal. 56)

 

  1. Intoleransi Aktifitas berdasarkan keadaan mudah letih, kelemahan, malnutrisi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Definisi : ketidak cukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari

Penyebab :

  1. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
  2. Tirah baring
  3. Kelemahan
  4. Imobilitas
  5. Gaya hidup monoton

Gejala dan tanda mayor :

Subjektif :

  1. Mengeluh lelah

Objektif :

  1. Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat

Gejala dan tanda minor :

Subjektif :

  1. Dispnea sesaat atau setelah aktivitas
  2. Merasa tidak nyaman setelah aktivitas
  3. Merasa lemah

Objektif :

  1. Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat
  2. Gambarakan EKG menunjukkan aritmia setelaha melakukan aktivitas
  3. Gambaran EKG menunjukkan iskemia
  4. Sianosis

Kondis klinis terkait :

  1. Anemia
  2. Gagal jantung kongestif
  3. Penyakit jantung koroner
  4. Penyakit katup jantung
  5. Aritmia
  6. Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK)
  7. Gangguan metabolik
  8. Gangguan muskuloskletal (PPNI, 2016, hal. 128).

 

  1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berdasarkan pneumonia carinii (PCVP) peningkatan sekresi bronkus dan penurunan kemampuan untuk batuk menyertai kelemahan serta keadaan mudah letih

Definisi :   Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi saluran napas untuk mempertahankan agar jalan napas tetap paten

Penyebab :

Fisiologis :

  • Spasme jalan napas
  • Hipersekresi jalan napas
  • Disfungsi neuromuskular
  • Benda asing dalam jalan napas
  • Adanya jalan napas buatan
  • Sekresi yang tertahan
  • Hiperplasia dinding jalan napas
  • Proses infeksi
  • Respon alergi
  • Efek agen farmakologis

 

Situasional :

  • Merokok aktif
  • Merokok pasif
  • Terpajan polutan

Gejala dan tanda mayor :

  • Subjektif

(tidak tersedia)

  • Objektif
    1. Batuk tidak efektif
    2. Tidak mampu batuk
    3. Sputum berlebih
    4. Mengi, wheezing dan ronkhi kering
    5. Mekonium di jalan napas (pada neonatus)

 

Gejala dan tanda minor :

Subjektif :

  1. Dispnea
  2. Sulit bicara
  3. Ortopnea

Objektif :

  1. Gelisah
  2. Sianosis
  3. Bunyi napas menurun
  4. Frekuensi napas berubah
  5. Pola napas berubah

Kondisi klinis terkait :

  1. Gullian barre syndrome
  2. Sklerosis multipel
  3. Myasthenia gravis
  4. Prosedur diagnostik
  5. Depresi sistem saraf pusat
  6. Cedera kepala
  7. Stroke
  8. Kuadriplegia
  9. Sindrom aspirasi mekonium
  10. Infeksi saluran napas (PPNI, 2016, hal. 18).

 

  1. Defisiensi pengetahuan berdasarkan cara-cara mencegah penularan HIV dan perawatan mandiri

Definisi :

Tidak ada atau kurang informasi kognitif tentang topik tertentu

Penyebab :

  1. Gangguan fungsi kognitif
  2. Keterbatasan kognitif
  3. Kekeliruan mengikuti anjuran
  4. Kurang terpapar informasi
  5. Kurang minat dalam belajar
  6. Kurang mampu mengingat
  7. Ketidaktahuan menemukan sumber informasi

Gejala dan tanda mayor :

  • Subjektif

Menanyakan masalah yang dihadapi

  • Objektif
  1. Menunjukkan perilaku tidak sesuai anjura
  2. Menunjukkan persepsi yang keliru terhadap masalah

Gejala dan tanda minor :

  • Subjektif

(tidak tersedia)

  • Objektif
  1. Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat
  2. Menunjukkan perilaku berlebihan (mis: apatis, bermusuhan, agitasi, histeria)

Kondisi klinis terkait

  • Kondisi klinis yang baru dihadapi klien
  • Penyakit akut
  • Penyakit kronis (PPNI, 2016, hal. 246)
  1. Ketidakefektifan termoregulasi

Definisi : kegagalan memepertahankan suhu tubuh dalam rentan yang normal

Penyebab :

  1. Stimulasi pusat termoregulasi hipotalamus
  2. Fluktuasi suhu lingkungan
  3. Proses penyakit
  4. Proses penuaan
  5. Dehidrasi
  6. Ketidaksesuaian pakaian untuk suhu lingkungan
  7. Peningkatan kebutuhan oksigen
  8. Perubahan laju metabolisme
  9. Suhu lingkungan ekstrem
  10. Ketidakadekuatan suplai lemak subkutan
  11. Berat badan ekstrem
  12. Efek agen farmakologis

Gejala dan tanda mayor :

  • Subjektif

(tidak tersedia)

  • Objektif
  1. Kulit dingin/hangat
  2. Menggigil
  3. Suhu tubuh fluktuatif

Gejala dan tanda minor :

  • Subjektif :

(tidak tersedia)

  • Objektif
  1. Piloereksi
  2. Pengisian kapiler >3 detik
  3. Tekanan darah meningkat
  4. Pucat
  5. Frekuensi napas meningkat
  6. Takikardia
  7. Kejang
  8. Kulit kemerahan
  9. Dasar kuku sianotik

Kondisi klinis terkait :

  1. Cedera medula spinalis
  2. Infeksi/sepsis
  3. Pembedahan
  4. Cedera otak akut
  5. Trauma (PPNI, 2016, hal. 317).
  1. Intervensi
  2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berdasarkan asupan oral

Tujuan/Kriteria Hasil :

  1. Memperlihatkan status : Asupan makanan dan cairan, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut ( sebutkan 1-5 : tidak adekuat, sedikit adekuat, cukup adekuat, adekuat, sangat adekuat) : makanan oral. Pemberian makanan lewat selang, atau nutrisi parental total. Asupan cairan oral atau IV , cara meberiakan lewat IV :

Contoh lain :

  1. Mempertahankan berat badan
  2. Menjelaskan komponen diet bergizi adekuat
  3. Mungungkapkan tekad untuk mematuhi diet
  4. Menoleransi diet yang dianjurkan
  5. Memepertahankan massa tubuh dan berat badan dalam massa normal
  6. Memiliki nilai labolatorium (misalnya, tranferin, albunimin, dan elektrolit) dalam massa normal
  7. Melaporkan tingkat energi yang adekuat

Aktivitas Keperawatan

  1. Pengkajian
  2. Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan
  3. Pantau nilai labolatorium, khususnya transferin, albumin, dan elektrolit.
  4. Manajemen nutrisi (NIC)

a). Ketahui makanan kesukaan pasien

b). Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

c). pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan

d). Timbang pasien pada interval yang tepat

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Ajarkan metode untuk perencanaan makan
  2. Ajarkan pasien/keluaraga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal
  3. Manajemen nutrisi (NIC). Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaiman memenuhinya

Aktivitas kolaboratif

  1. Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein pasien yang mengalami ketidakadekuatan asupan protein atau kehilangan protein (misal, pasien anoreksia nervosa atau pasien penyakit glomerular/dialisis peritoneal)
  2. Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan, makanan pelengkap, pemberian makanan melalui selang, atau nutrisi parental total agar asupan kaloriyang adekuat dapat dipertahankan
  3. Rujuk ke dokter untuk menentukan penyebab gangguan nutrisi
  4. Rujuk ke program gizi di komunitas yang tepat, jika pasien tidak dapat membeli atau menyiapkan makanan yang adekuat
  5. Manajemen nutrisi (NIC). Tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukan, jumlah kalori dari jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (khususnya untuk pasien dengan kebutuhan energi tinggi, seperti pasien pascabedah dan luka bakar, trauma, demam, dan luka)

Aktivitas lain

  1. Buat perencanaan makan dengan pasien yang masuk dalam jadwal makan, lingkungan makan, kesukaan dan ketidaksukaan pasien, serta suhu makanan
  2. Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari rumah
  3. Bantu pasien menulis tujuan mingguan yang realistis untuk latihan fisik dan asupan makanan
  4. Anjurkan pasien untuk menampilkan tujuan makan dan latihan fisik di lokasi yang terlihat jelas dan kaji ulang setiap hari
  5. Tawarkan makanan porsi besar di siang hari ketika nafsu makan tinggi
  6. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan (misalnya, pindahkan barang-barang dan cairan yang tidak sedap dipandang)
  7. Hindari prosedur invasif sebelum makan
  8. Suapi pasien jika perlu
  9. Manajemen Nutrisi (NIC)
  • Berikan pasien minuman kudapan bergizi, tinggi protein tinggi kalori yang siap dikonsumsi, bila memungkinkan
  • Ajarkan pasien tentamg cara membuat catatan harian makanan jika perlu (Wilkinson & Wilkinson, 2011).

 

  1. Intoleransi Aktivitas berdasarkan keadaan mudah letih, kelemahan mlnutrisi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Tujuan/ Kriteria hasil

Contoh menggunakan bahasa NOC

  1. Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, yang dibuktikan oleh toleransi aktivitas, ketahanan, pengematan energi, kebugaean fisik, energi psikomotorik, dan perawatan-diri : aktivitas kehidupan sehari-hari (dan AKSI)
  2. Menunjukkan intoleransi aktivitas, yang dibutuhkan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, tidak ada gangguan) :

Saturasi oksigen saat beraktivitas

Frekuensi pernapasan saat beraktivitas

Kemampuan untuk berbicara saat beraktivitas fisik

  1. Mendemonstarsikan penghematan energi, yang dibutuhkan oleh indikator sebagai berikut ( sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, tidak ada gangguan) :

Menyadari kebutuhan energi

Menyeimbangkan aktivitas dan istirahat

Mengatur jadwal aktivitas untuk penghematan energi.

Contoh lain :

  • Mengidentifikasikan atau situasi yang menimulkan kecemasan yang dapat mengakibatkan intoleransi aktivitas
  • Berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang dibutuhkan dengan peningkatan normal denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan tekanan darah serta memantau pola dalam batasan normal
  • Pada (tanggal target) akan mencapai tingkat aktivitas
  • Menampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dengan beberapa bantuan
  • Menampilkan manajemen rumah dengan beberapa bantuan

Aktivitas Keperawatan

  1. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur berdiri, ambulasi, dan melakukan AKS dan AKSI
  2. Kaji respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas
  3. Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas
  4. Manajeman energi (NIC)
  • Tentukan penyebab keletihan (misalnya, perawatan, nyeri pengobatan)
  • Pantau respon kardiorespiration terhadap aktivitas (misalnya takikardia, distremia, dispnea, diaforesis, tekanan hemodinamik, dan frekuensi pernapasan)
  • Pantau respon oksigen pasien (misalnya, denyut nadi, irama jantung dan frekuensi pernapasan) terhadap aktivitas perawatan diri atau aktivitas keperawatan
  • Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi yang adekuat
  • Pantau dan dokumentasikan pola tidur pasien dan lamanya waktu tidur dalam jam

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Penggunaan teknik napas terkontrol selama aktivitas, jika perlu
  2. Mengenalai tanda dan gejala intoleran aktivita, termasuk kondisi yang perlu dilaporkan kepada dokter
  3. Pentingnya nutrisi yang baik
  4. Penggunaan peralatan, seperti oksigen, selama aktivitas
  5. Penggunaan teknik relaksasi (misalnya distraksi, visualisasi) selama aktivitas
  6. Dampak inteloren aktivitas terhadap tanggung jawab peran dalam keluarga dan temapt
  7. Tindakan untuk menghemat energi, sebagai contoh : menyimpan alat atau benda yang sering digunakan ditempat yang mudah dijangkau
  8. Manajemen Energi (NIC)
  • Ajarkan kepada pasien dan orang terdekst tentang teknik perawata-diri yang akan meminimalkan konsumsi oksigen(misalnya, pemantauan mandiri dan teknik langkah untuk melakukan AKS
  • Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik manajemen waktu untuk mencegah kelelahan

Aktivitas kolaboratif

  1. Berikan pengobatan nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri merupakan salah satu faktor penyebab
  2. Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik (misalnya, untuk latihan ketahanan) atau rekreasi untuk merencankan dan memantau program aktivitas, jika perlu
  3. Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet guna meningkatkan asupan makanan yang kaya energi

Aktivitas lain

  1. Pantau tanda-tanda vital sebelum, dan setelah beraktivitas hentikan aktivitas atau tanda-tanda bahwa aktivitas dapat ditoleransi (misalnya nyeri dad, pucat, vertigo, dispnea)
  2. Rencanakan aktivitas bersama pasien dan keluarga yang meningkatkan kemandirian dan ketahuan sebagai contoh : anjurkan periode untuk istirahat dan aktivitas secara bergantian, buat tujuan yang sederhana, realistis, dan dapat dicapai oleh pasien yang dapat meningkatkan kemandirian dan harga diri
  3. Manajemen Energi ( NIC )
  4. Bantu pasien untuk mengidentifikasi pilihan aktivitas
  5. Rencanakan aktivitas pada periode saat pasien memiliki energi yang banyak
  6. Bantu dengan aktivitas fisik teratur (misalnya, ambulasi, berpindah, mengubah posisi, dan perawatan personal) , jika perlu (Wilkinson & Wilkinson, 2011)

 

  1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berdasarkan pneumonia carinii (PCVP) peningkatan sekresi bronkus dan penurunan kemampuan untuk batuk menyertai kelemahan serta keadaan mudah letih

Tujuan/ kriteria hasil

Contoh menggunakan bahasa NOC

  • Menunjukkan pola pernapasan efektif, yang dibuktikan oleh status pernapasan : status ventilasi dan pernapasan yang tidak terganggu ; kepatenan jalan napas ; dan tidak ada penyimpangan tanda vital dari rentang normal
  • Menunjukkan status pernapasan : ventilasi tidak terganggu, yang dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut ( sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, tidak ada gangguan :
  • kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas
  • ekspansi dada simetris
  • menunjukkan tidak adanya gangguan status pernapasan : ventilasi, yang dibuktikan oleh indikator berikut ( sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, tidak ada gangguan)
  • Penggunaan otot aksesoris
  • Suara napas tambahan
  • Pendek napas

Contoh lain

  • Pasien akan : menunjukkan pernapasan optimal pada saat terpasang ventilator mekanis
  • Mempunyai kecepatan dan irama pernapasan dalam batas normal
  • Mempunyai fungsi paru dalam bats normal untuk pasien
  • Meminta bantuan pernapasan saat dibutuhkan
  • Mampu menggambarkan rencana untuk perawatan dirumah
  • Mengidentifikasi faktor (misalnya alergen) yang memicu ketidakefektifan pola napas, dan tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya

 

Aktivitas keperawatan

  • Pengkajian
  1. Pantau adanya pucat dan sianosis
  2. Pantau efek obat pada status pernapasan
  3. Tentukan lokasi dan luasnya krepitasi di sangkar iga
  4. Kaji kebutuhan insersi jalan napas
  5. Observasi dan dokumentasikan ekspansi dada bilateral pada pasien yang terpasang ventilator.
  6. Pemantauan pernapasan (NIC)
    • (a) Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan
    • (b) Perhatikan pergerakan dada, amati kesimentrisan, penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot supraklavikular dan interkosta
    • (c) Pantau pola pernapasan : bradipnea; takipnea; hiperventilasi; pernapasan kussmaul; pernapasan cheyne-stokes; dan pernapasan apneastik, pernapasan biot dan pola ataksik
    • (d) Perhatikan lokasi trakea
    • (e) Auskultasi suara napas, perhatikan area penurunan/ tidak adanya ventilasi dan adanaya suara napas tambahan
    • (f) Pantau peningkatan kegelisahan, ansietas, dan lapar udara
    • (g) Catat perubahan pada SaO2, CO2 akhir-tidal, dan nilai gas darah arteri (GDA), jika perlu.

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Informasikan kepada pasien atau keluarga tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki pola pernapasan
  2. Ajarkan teknik batuk efektif
  3. Instruksikan kepada pasien dan keluarga bahwa mereka harus memberitahu perawat pada saat terjadi ketidakefektifan pola pernapasan

Aktivitas kolaboratif

  1. Konsultasi dengan ahli terapi pernapasan untuk memastikan keadekuatan fungsi ventilator mekanis
  2. Laporkan perubahan sensori, bunyi napas, pola pernapasa, nilai GDA, sputum, dan sebagainya, jika perlu atau sesuai protokol
  3. Berikan obat (misalnya bronkodilator) sesuai dengan program atau protokol
  4. Berikan terapi nebululizer ultrasonik dan udara atau oksigen yang dilembabkan sesuai progaram atau protokol institusi
  5. Berikan obat nyeri untuk mengoptimalkan pola pernapasan

Aktivitas lain

  1. Hubungkan dan dokumentasikan semua data hasil pengkajian (misalnya sensori, suara napas, pola pernapasan, nilai GDA, sputum, dan efek obat pada pasien)
  2. Bantu pasien untuk menggunakan spirometer insentif, jika perlu
  3. Tenangkan pasien selama periode gawat napas
  4. Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode gawat napas
  5. Untuk memperlambat frekuensi pernapaan, bimbing pasien menggunakan teknik pernapasan bibir mncucu dan pernapasan terkontrol
  6. Lakukan pengisapan sesuai denagn kenutuhan untuk membersihkan sekret
  7. Minta pasien untuk mengubah posisi, batuk dan napas dalam
  8. Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur, untuk menurunkan ansietas dan meningkatakan perasaan kendali
  9. Pertahankan oksigen aliran rendah denagn kanula nasal, masker atau sungkup.
  10. Atur posisi pasien untuk mengoptimalkan pernapasan
  11. Sinkronisasikan antara pola pernapasan klien dan kecepatan ventilasi.

 

  1. Defisiensi pengetahuan berdasarkan cara-cara mencegah penularan HIV dan perawatan mandiri

Tujuan/kriteria evaluasi

Contoh lain

  1. Mengidentifikasi kebutuhan terhadap informasi tamabahan tentang program terapi
  2. Memperlihatkan kemampuan (sebutkan ketrampilan atau perilaku)

Aktivitas keperawatan

  1. Periksa keakuratan umpan-balik untuk memastikan bahwa pasien memahami program terapi dan informasi lainya yang relevan
  2. Penyuluhan individual (NIC)
  • Tentukan kebutuhan belajar pasien
  • Lakukan penilaian terhadap tingkat pengetahuan pasien saat ini dan pemahaman terhadap materi (misalnya, pengetahuan tentang prosedur atau penanganan yang diprogramkan)
  • Tentukan kemampuan pasien untuk mempelajari informasi khusus (misalnya, tingkat perkembangan, satatus psikologis, orientasi, nyeri, keletihan, kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, keadaan emosional, dan adaptasi terhadap penyakit)
  • Tentukan motivasi pasien untuk mempelajari informasi tertentu (yaitu kepercayaan kesehatan, riwayat ketidakpatuhan, pengalaman buruk dengan perawatan kesehatan dan pelajaran kesehatan serta tujuan yang bersebrangan)
  • Kaji gaya belajar pasien.

Penyuluhan untuk pasien/ keluarga

  1. Beri penyuluhan sesuai dengan tingkat pemahaman pasien, ulangi informasi bila diperlukan
  2. Gunakan berbagai pendekatan penyuluhan, redomonstrasi, dan berikan umpan-balik secara verbal dan tertulis
  3. Penyuluhan : individu (NIC)
  • Tetapkan tujuan pembelajaran bersama yang realistis dengan klien
  • Bina hubungan saling percaya
  • Pilih metode dan strategi penyuluhan yang sesuai
  • Pilih materi pengajaran yang sesuai
  • Beri waktu kepada pasien untuk mengajukan beberapa pertanyaan dan mendiskusikan permasalahanya
  • Ikutsertakan keluarga atau orang terdekat, bila perlu.

Aktivitas kolaboratif

  1. Beri informasi tentang sumber-sumber komunitas yang dapat menolong pasien dalam mempertahankan program terapi
  2. Buat rencana pengajaran multidisipline yang terkoordinasi, sebutkan perencanaaya
  3. Rencanakan penyesuain dalam terapi bersama pasien dan dokter untuk memfasilitasi kemampuan pasien mengikuti program terapi

Aktivitas lain

Berinteraksi dengan pasien dengan cara yang tidak menghakimi untuk memfasilitasi pembelajaran

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bararah, T., & Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat profesional. Jakarta: Media Pustaka.

Desmon. (2015). Epidemiologi HIV/AIDS. Bogor: IN MEDIA- Anggota IKAPI.

Gallant, J. (2010). HIV dan AIDS. Jakarta: PT indeks.

Katiandagho, D. (2015). Epidemiologi HIV/AIDS. BOGOR: IN MEDIA-Anggota IKAPI.

Kunoli, F. (2012). Asuhan Keperawatan Penyakit tropis . Jakarta: CV.TRANS MEDIA.

Muttaqin. (2011). Gangguan Gastrointestinal:Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperwatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Nanda NIC- NOC Jilid 1. jogjakarta: Mediafiction Jogja.

PPNI, T. p. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat.

Wijayaningsih, K. S. (2013). Asuhan Keperawatan Anak . Jakarta Timur : Trans Info Media .

Wilkinson, & Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi-9. Jakarta: EGC.

Posted in Keperawatan Medikal Bedah | Leave a comment

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN SEVERE ACUTE RESPIRATORY SYNDROME (SARS)

BAB 1

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Penyakit SARS dicurigai ada dua virus sebagai penyebab, yaitu paramyxovirus dan coronavirus. Dan terakhir hanya coronavirus yang diduga sebagai penyebab SARS. Penyakit SASR bisa melalui fecal-oral juga mungkin terjadi melalui diare, SARS juga menyebar jika seseorang menyentuh sekret dan atau permukaan/ obyek yang terinfeksius dan kemudian secara langsung menyentuh mata, hidung atau mulut, juga melalui batuk dan bersin pada pasien SARS (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 226).

Penyakit ini pertama kali ditemukan pada bulan November sampai bulan Februari 2003 di Provinsi Guan dong. Cina SARS dengan cepat menyebar ke Hongkong, Vietnam, Singapura sejak Februari 2003. Bulan Maret 2003 WHO menyatakan ancaman global SARS dan mengeluarkan “Travel Advisory” pada bulan tersebut SARS sudah menyakiti 15 negara termasuk kepada pada bulan April 2003 penyakit ini sudah menyerang 20 negara (Firdaus, 2012, p. 172)

Penyebaran penyakit SARS sangat cepat dan luas. Salah satu cara untuk memutus rantai penularannya adalah dengan melakukan pencegahan yang yang baik, yaitu hindari kontak erat dengan penderita atau yang dicurigai terjangkit. Jika penderita yang di curigai SARS harus menggunakan masker sampai di nyatakan bukan SARS. Mengupayakan perawatan penderita yang telah terinfeksi SARS sebaiknya dilakukan terapi antibiotic (anti bakteri) secara rutin diresepkan karena menyajikan fitur nin-spesifik dan cepat tes laboratorium yang dapat diandalkan untuk mendiagnosis SARS-CoV virus dalam beberapa hari pertama infeksi belum tersedia (Firdaus, 2012, p. 174).

  1. Batasan Masalah

Untuk memperkecil angka kematian, membatasi penularan, serta penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas.

  1. Rumusan Masalah
  2. Apa definisi dari Severe Acute Respiratory Syndrome ?
  3. Bagaimana etiologi dari Severe Acute Respiratory Syndrome ?
  4. Bagaimana tanda dan gejala dari Severe Acute Respiratory Syndrome ?
  5. Bagaimana patofisiologi dari Severe Acute Respiratory Syndrome ?
  6. Bagaimana klasifikasi dari Severe Acute Respiratory Syndrome ?
  7. Bagaimana komplikasi pada Severe Acute Respiratory Syndrome ?
  8. Bagaimana asuhan keperawatan dari Severe Acute Respiratory Syndrome ?
  9. Tujuan
  10. Tujuan Umum

Setelah proses pembelajaran mata Kuliah Medikal Bedah diharapkan mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome dan mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada klien yang mengalami SARS dengan sekumpulan gejala klinis yang berat.

  1. Tujuan Khusus
    1. Untuk mengetahui definisi Severe Acute Respitory Syndrome
    2. Untuk mengetahui etiologi Severe Acute Respitory Syndrome
    3. Untuk mengetahui tanda dan gejala Severe Acute Respitory Syndrome
    4. Untuk mengetahui patofisiologi pada Severe Acute Respitory Syndrome
    5. Untuk mengetahui klasifikasi Severe Acute Respitory Syndrome
    6. Untuk mengetahui komplikasi pada Severe Acute Respitory Syndrome
    7. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada Severe Acute Respitory Syndrome

 

 

 

BAB 2

TINJAUAN  PUSTAKA

 

  1. KONSEP PENYAKIT
  2. Definisi

Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi saluran napas yang disebabkan oleh virus Corona dengan sekumpulan gejala klinis yang berat. SARS berpotensi untuk menyebar dengan sangat cepat sehingga menimbulkan implikasi yang besar bagi para tenaga kesehatan. Selanjutnya, dengan meningkatnya jumlah penerbangan internasional selama beberapa dekade terakhir, memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi SARS yang luas hingga lintas benua dan menjadi suatu ancaman internasional (Chen, 2014, p. 728).

Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) atau sindrom pernafasan akut berat adalah sindrom akibat infeksi virus pada paru yang bersifat mendadak dan menunjukkan gejala gangguan pernafasan pada pasien yang mempunyai riwayat kontak dengan SARS (Firdaus, 2012, p. 171).

Severe acute respiratory syndrome-coronavirus (SARS) merupakan suatu penyakit yang serius dan disebabkan oleh infeksi virus pada paru yang bersifat mendadak dan menunjukkan gejala gangguan pernapasan pada pasien yang mempunyai riwayat kontak dengan pasien SARS (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 226).

Jadi dapat disimpulkan SARS adalah suatu penyakit sindrom pernapasan akut yang ditandai dengan gejala klinis yang berat. Sars tersebut akibat dari infeksi virus pada yang berisifat mendadak.

 

  1. Etiologi

Saat ini penyebab SARS sudah berhasil diketahui, yaitu berupa infeksi virus yang tergolong ke dalam Genus Coronavirus (CoV). CoV  SARS biasanya bersifat tidak stabil bila berada di lingkungan. Namun virus ini mampu bertahan selama berhari-hari pada suhu kamar. Virus ini juga mampu mempertahankan viabilitasnya dengan baik bila masih berada di dalam feses (Chen, 2014, p. 728).

Genus Coronavirus berasal dari ordo Nidovirales, yaitu golongan virus yang memiliki selubung kapsul dan genom RNA rantai tunggal. Namun pada analisa sequences genom, CoV SARS memiliki struktur genom yang berbeda dengan genom CoV SARS memiliki struktur genom yang berbeda dengan genom CoV yang ada. Sehingga disimpulkan, bahwa CoV yang muncul baru- baru ini dan menyebabkan outbreak SARS pada tahun 2003 adalah jenis baru yang sama sekali belum pernah muncul sebelumnya (Chen, 2014, p. 728).

Pada 7 April 2003, WHO mengumumkan kesepakatan bahwa corona virus yang baru teridentifikasi adalah mayoritas agen penyebab SARS. Coronavirus (Virus Corona Family) berasal dari kata “Corona” yang berasal dari bahasa latin yang artinya “crown” atau mahkota. Ini sesuai dengan bentuk Coronavirus itu sendiri yang kalau di lihat dengan mikroskop Nampak seperti mahkota (Firdaus, 2012, p. 172).

 

 

  1. Tanda dan gejala
  2. Gejala prodormal

SARS memiliki masa inkubasi antara 1 sampai 14 hari dengan rata-rata waktu sekitar 4 hari. Gejala prodormal SARS dimulai dari gejala infeksi sistemik yang tidak spesifik seperti demam, mialgia, menggigil dan rasa kaku-kaku di tubuh, batuk non-produktif, nyeri kepala dan pusing. Demam dengan suhu tubuh > 38 ºC termasuk dalam definisi kasus awal (initial case definition). Meskipun demikian, tidak semua pasien SARS menunjukkan gejala demam. Misalnya pada pasien-pasien usia lanjut, demam mungkin menjadi gejala yang tidak menonjol

Demam tinggi yang naik turun seringkali berhubungan dengan rasa menggigil dan kaku-kaku di tubuh. Selain itu pasien juga sering merasa lelah disertai dengan nyeri otot yang dirasakan di sekujur tubuh. Demam akan menghilang dengan sendirinya pada hari ke-4 hingga ke-7, tetapi tidak mengindikasikan adanya perbaikan dari gejala-gejala yang ada. Gejala penyakit yang tidak spesifik lainnya seperti pusing, nyeri kepala dan malaise juga umum ditemukan pada pasien-pasien SARS. Banyak pasien mengalami batuk-batuk kering saat fase awal penyakit.  Pada fase ini, suara napas biasanya akan terdengar jernih saat auskultasi

 

 

  1. Gejala pernapasan

Penyakit paru adalah manifestasi klinis yang utama dari SARS. Gejala berupa batuk-batuk kering, 60-85% biasanya  pasien akan merasa sesak ketika batuk. Pada auskultasi sering didapatkan ronki di basal paru. Mengi biasanya tidak ditemukan. Pasien akan mengalami sesak napas yang semakin lama semakin berat, dan pada akhirnya dapat membatasi kemampuan aktivitas fisik mereka. Saturasi oksigen darah didapatkan semakin berkurang seiring dengan perjalanan penyakit. Pada pencitraan, terdapat konsolidasi ruang udara yang fokal dan unilateral pada tahap awal penyakit, yang kemudian segera berlanjut menjadi multifocal dan semakin meluas pada minggu kedua. Dugaan kerusakan paru yang lebih cenderung disebabkan oleh imunitas tubuh dibandingkan efek sitolis virus secara langsung

Sekitar 20-25% pasien mengalami progresi yang buruk ke arah gagal napas berat dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) sehingga mengharuskan perawatan ICU. Ventilasi mekanik dibutuhkan ketika suplementasi oksigen dengan aliran tinggi tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan saturasi oksigen tubuh. Pasien- pasien yang memerlukan bantuan ventilasi mekanik memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak menggunakan

 

  1. Gejala pencernaan

Selain keluhan pernapasan, diare adalah gejala yang penting dan paling sering dikeluhkan. Sebanyak 20% dari pasien-pasien SARS mengalami diare pada saat kedatangan pertama dan 70% menunjukkan gejala ini selama masa perjalanan penyakitnya. Biasanya diare yang terjadi ialah cair dengan volume yang banyak tanpa disertai lendir maupun darah. Pada kasus yang berat banyaknya cairan yang keluar mengakibatkan ketidakseimbangan elektrolit dan deplesi cairan tubuh yang berlebih. Pada beberapa kasus yang tidak disertai pneumonia, diare dan demam adalah satu-satunya gejala yang tampak. Sementara, pada kasus- kasus yang lain, diare mulai terjadi pada minggu kedua sakit, bersamaan dengan gejala demam yang rekurens dan perburukan di paru

 

  1. Gejala hematologis

Manifestasi limfopenia ini menjadi sangat penting, bahkan tanpa diseratai limfopenia yang progresif, maka diagnosis SARS dipertanyakan. Peningkatan kadar limfosit umumnya terjadi pada minggu ketiga dan hal ini dapat mencerminkan perbaikan keadaan klinis pasien. Namun demikian 30% pasien SARS tetap mengalami keadaan limfopenik sampai dengan minggu kelima sakit

Leukositosis, yang terutama disebabkan oleh neutrofilia. Neutrofilia kemungkinan berhubungan dengan terapi kortikosteroid, namun pada pemeriksaan darah perifer beberapa pasien lainnya, neutrofilia sudah didapatkan saat kedatangan pertama. Kerusakan jaringan paru yang luas juga diduga sebagai penyebab lain dari neutrofilia

 

  1. Gejala hati

Sebanyak 25% dari pasien-pasien SARS mengalami peningkatan SGPT pada saat kedatangan pertama dan 70% mengalami peningkatan tersebut selama perjalanan penyakit. Pada kebanyakan pasien, peningkatan SGPT  mulai terjadi hingga akhir minggu pertama sakit dan mencapai puncak pada akhir minggu kedua. Mayoritas pasien mengalami peningkatan SGPT secara bertahap dan kembali secara spontan ke kadar yang normal sering dengan pemulihan dari penyakit.  Penyebab dari peningkatan kadar SGPT ini tidak diketahui pasti

  1. Gejala kardiovaskular

Gejala-gejala yang terkait dengan sistem kardiovaskular jarang ditemukan. Kurang lebih 50% dari pasien SARS mengalami hipotensi (sistolik < 100 mmHg dengan atau tanpa distolik < 50 mmHg) selama masa perawatan di rumah sakit. Rendahnya tekanan darah ini berakibat timbulnya rasa pusing pada banyak pasien. Manifestasi kardiovaskular yang terjadi pada pasien SARS umumnya tidak memerlukan pengobatan dan bersifat asimtomatik. Hanya sebagian kecil pasien SARS yang mengalami peningkatan kadar CK, dan  kenaikan kadar enzim ternyata tidak berhubungann dengan organ jantung

 

  1. Gejala neurologis

Keluhan pada sistem saraf juga jarang ditemukan pada SARS. Defisit neurologis fokal tidak pernah ditemukan, sementara dari CT-Scan dan MRI juga tidak didapatkan gambaran abnormalitas struktur. Namun tenaga medis tetap harus waspada terhadap kemungkinan dari gejala SARS pada sistem saraf

 

  1. Gejala atipik

SARS dapat memberikan gejala-gejala yang atipik terutama pada pasien-pasien usia lanjut dan pasien-pasien imunokompromais ( suatu keadaan imun atau sistem kekebalan tubuh menurun). Pasien usia lanjut memiliki masa inkubasi yang lebih lama sekitar 14-21 hari. Lebih lamanya rentang waktu inkubasi, disebabkan oleh kesulitan dalam mendeteksi gejala sewaktu onset karena muncul gejala yang tidak khas (Chen, 2014, pp. 729-731).

 

  1. Patofisiologi

SARS secara klinis lebih banyak melibatkan saluran napas bagian bawah, dibandingkan dengan saluran napas bagian atas. Pada saluran napas bawah, sel-sel asinus adalah sasaran yang lebih banyak terkena daripada trakea ataupun bronkus. Menurut hasil pemeriksaan post mortem yang dilakukan, diketahui bahwa SARS memiliki 2 fase didalam patogenesisnya .Fase awal terjadi selama 10 hari pertama penyakit, pada fase ini terjadi proses akut yang mengakibatkan diffuse alveolar damage (DAD) yang eksudatif .  Fase ini dicirikan dengan adanya infiltrasi dari campuran sel-sel inflamasi serta edema dan pembentukan membrane hialin (Chen, 2014, p. 729).

Membran hialin dari endapan protein plasma serta debris nucleus dan sitoplasma sel-sel epitel paru (pneumosit) yang rusak. Dengan adanya nekrosis sel-sel epitel paru maka barrier antara sirkulasi darah dan jalan udara menjadi hilang sehingga cairan yang berasal dari pembuluh darah kapiler paru menjadi bebas untuk masuk ke dalam ruang alveolus. Fase selanjutnya dimulai tepat setelah 10 hari perjalanan penyakit dan ditandai dengan perubahan pada DAD yang terorganisir. Pada periode ini, terdapat metaplasia sel epitel skuamosa bronkial, bertambahnya ragam sel dan fibrosis pada dinding dan lumen alveolus. Pada fase ini tampak dominasi pneumosit tipe 2 dengan pembesaran nukleus, serta nucleoli yang eosinofilik. Selanjutnya, seringkali ditemukan sel raksasa dengan banyak nukleus (multi – nucleated giant cells) di dalam rongga alveoli. Maka disimpulkan, bahwa pada fase ini berbagai proses patologis yang terjadi tidak diakibatkan langsung oleh karena replikasi virus yang terus menerus, melainkan karena beratnya kerusakan sel epitel paru (Chen, 2014, p. 729).

Kerusakan sel epitel paru yang terjadi karena infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah sehingga mengakibatkan kerusakan epitel dan gerakan silia berkurang jika diteruskan akan mengakibatkan infeksi bertambah berat (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 226).

 

 

Pathway Sars : (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 231)

 

 

 

 

 

  1. Klasifikasi
  2. Kasus suspek SARS
  • Suspek SARS dengan riwayat kontak erat (+)
  • Suspek SARS dengan gejala klinis berat yaitu:
  1. Sesak napas dengan frekuensi napas 30 kali/menit.
  2. Nada lebih dari 100 kali/menit
  3. Ada gangguan kesadaran
  4. Kondisi umum lemah
  5. Demam tinggi (38ºC) (Chen, 2014, p. 733).
  6. Kasus probable SARS

Kasus probable SARS adalah kasus suspek ditambah dengan gambaran foto toraks yang menunjukkan tanda-tanda pneumonia atau repiratory distress syndrome, atau seseorang yang meninggal karena penyakit pernapasan yang tidak jelas penyebabnya, dan pada pemeriksaan autopsi ditemukan tanda patologis berupa respiratory distress syndrome yang juga tidak jelas penyebabnya (Chen, 2014, p. 732).

Probable SARS. Perlu diperhatikan dalam perawatan di rumah sakit terhadap SARS adalah: Ruang perawatan penderita suspect SARS harus dibedakan dengan ruang penderita probable SARS. Saat memeriksa dan merawat penederita SARS, petugas medis harus memakai penggunaan alat proteksi perorangan (PAPP) (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 228).

Dalam kasus ini penderita yang hasil rontgen parunya menunjukkan tanda-tanda pneumonia tau menderita Respiratory Distress Syndrome. Atau penderita meninggal karena penyakit saluran napas yang tidak jelas penyebabnya dan pada pemeriksaan autopsy ditemukan tanda-tanda Respiratory Distress Syndrome (Chen, 2014, p. 733).

 

 

 

 

 

 

  1. Komplikasi

Dapat terjadi komplikasi lain Bronkitis Akut yang disebabkan infeksi virus, virus yang sering dihubungkan dengan gangguan bronkitis akut adalah rhinovirus, coronavirus, virus influenza A, virus parainfluenza, adenovirus dan respiratory syncytial viru (RSV). Bronkitis akut yang menyerang anak-anak biasanya juga disertai trakeitis, merupakan penyakit saluran nafas akut yang sering dijumpai. Etiologi utama penyakit bronchitis akut adalah virus. Bronkitis akut selalu terjadi pada anak yang menderita morbilli, pertusis dan infeksi mycoplasma pneumonia (Masriadi, 2016, pp. 201-202).

Sekitar 20-25% pasien mengalami progresi yang buruk ke arah gagal napas berat dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Yaitu cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat kerusakan  pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru (Chen, 2014, p. 730).

Sistem pernapasan akut yang berbahaya (acute respiratory distress syndrome [ARDS]) merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh kerusakan kapiler dan epitel alveolus difus. Perjalanan penyakit umumnya ditandai oleh infusiensi pernapasan mendadak yang mengancam jiwa, sianosis, dan hipoksemia arteri yang berat dan tidak responsif terhadap terapi oksigen, dan dapat berlanjut menjadi gagal organ multisystem. Sekitar 85% pasien menunjukkan sindrom klinis jejas paru akut atau ARDS dalam waktu 72 jam setelah serangan. Predikator prognosis buruk mencakup usia tua, bakterimia (sepsis), dan terjadinya kegagalan multisystem (terutama jantung, ginjal, hati). Karakteristik  gambaran histologist adalah edema alveolus, nekrosis epitel, akumulasi neutrofil, dan adaanya membran hialin yang melapisi duktus alveolus (Cornain, 2015, p. 455).

 

 

 

  1. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
  2. Pengkajian
  3. Identitas

SARS dapat terjadi pada seseorang yang sebelumnya mempunyai paru-paru yang normal. Walaupun sering disebut sindroma gawat pernapasan akut dewasa, keadaan ini dapat juga terjadi pada anak-anak (Frdaus J. Kunoli, 2012, p. 171).

  1. Status kesehatan saat ini
  • Keluhan Utama

Biasanya pasien dengan keluhan demam dengan suhu tubuh >38ºC dengan rasa menggigil dan kaku-kaku di tubuh (Chen, 2014, p. 729).

  • Alasan Masuk Rumah Sakit

Pasien mengalami sesak napas secara mendadak dengan frekuensi napas 30 kali / menit. Kenaikan suhu tubuhnya setiap 8 jam sekali. Bila dalam dua kali pengukuran terjadi kenaikan kenaikan suhu tubuh mencapai 38ºC (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 229).

  • Riwayat penyakit sekarang

Kronologis dari penyakit SARS diawali dengan gejala panas, menggigil atau panas dingin, sakit kepala, nyeri otot, dan lemah. Virus Corona stabil pada tinja dan urin pada suhu kamar selama 1-2 hari dan dapat bertahan lebih dari 4 hari pada penderita diare. Masa penularan berlangsung kurang dari 21 hari. Petugas kesehatan yang kontak langsung dengan penderita mempunyai risiko paling tinggi tertular, lebih-lebih pada petugas yang melakukan tindakan pada sistem pernafasan seperti melakukan intubasi atau nebulasi (Firdaus, 2012, p. 172).

  1. Riwayat kesehatan terdahulu
  2. Riwayat Penyakit Sebelumnya

Riwayat penyakit sebelumnya pada SARS yaitu flu, adanya batuk ringan sampai berat (batuk yang diasosiasikan dengan SARS cenderung batuk kering), satu atau lebih gejala saluran pernapasan bagian bawah yaitu napas pendek, kesulitan bernapass , sakit kepala, kaku otot, anoreksia, lemah, bercak merah pada kulit, bingung dan diare (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 228).

  1. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit keluarga dilihat dari salah satu anggota keluarga yang sudah diketahui menderita penyakit SARS dan anggota keluarga lainnya kemungkinan tertular jika melakukan kontak langsung dengan penderita secara langsung dan alat makan dan minumnya dipisahkan dari alat makan dan minum anggota keluarga yang lain (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 229).

  1. Riwayat pengobatan

Riwayat pengobatan pada penyakit SARS khususnya yang membantu sistem kekebalan tubuh dalam nenjinakkan virus corona berupa antibiotik atau anti bakteri. Dan dapat dilakukan terapi supportif umum yang bertujuan meningkatkan daya tahan tubuh berupa nutrisi yang adekuat, pemberian multivitamin seperti terapi oksigen, humidifikasi dengan nebulizer, fisioterapi dada, pengaturan cairan, pemberian korkosteroid pada fase sepsis berat, obat inotropik, ventilasi mekanis, drainase empiema (Firdaus, 2012, p. 174).

 

  1. Pemeriksaan Fisik
  • Keadaan umum
  1. Kesadaran

Kesadaran umum lemah, terpasang ventilator untuk mengurangi gejala sesak napas yang secara mendadak (Chen, 2014, pp. 729-733)

  1. Tanda-tanda vital

Tekanan darah            :  90/40 mmHg

Nadi                            : 100 kali/menit

RR                               : 30 kali /menit

Suhu                            : 38ºC (Chen, 2014, p. 733)

  • Body System
  1. Sistem Pernapasan

Batuk akut yang disebabkan oleh virus dianggap sebagai penyebab terjadinya perubahan sistem pernapasan, seperti pneumonia . Pneumonia menyebabkan batuk kering nonproduktif, batuk akut biasanya ❤ minggu dan batuk terkait adalah sesak napas, demam dan penurunan berat badan (Douglas dkk, 2014, pp. 139-140) .

Suara napas tambahan seperti ronkhi yaitu bunyi nonmusical terputus-putus yang disebabkan kolapsnya saluran napas perifer saat ekspirasi. Dan ditandai dengan konsolidasi paru (Douglas dkk, 2014, pp. 155-156).

  1. Sistem Kardiovaskular

50% dari pasien SARS mengalami hipotensi (sistolik <100 mmHg dan diastolik <50 mmHg, rendahnya tekanan darah tersebut akan timbul rasa pusing, 40% pasien SARS mengalami takikardia (Chen, 2014, p. 731).

  1. Sistem Persyarafan

Klien dengan SARS yang mengalami pusing akibat batuk dan hipotensi sehingga sistem saraf pusat terjadi penekanan (Douglas dkk, 2014, p. 241).

  1. Sistem Perkemihan

Terjadi peningkatan kreatinin kinase , penurunan dalam pengeluaran  urine (Chen, 2014, p. 730).

  1. Sistem Pencernaan

Terjadi perubahan pola defekasi yaitu diare yang berupa feses cair. Frekuensi normal defekasi bervariasi antara tiga kali sehari hingga setiap 3 hari (Douglas dkk, 2014, p. 173).

  1. Sistem Integument

Dari hasil pemeriksaan ditemukan kulit, bibir serta kuku penderita tampak kebiruan (sianosis) karena kekurangan oksigen (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 227).

  1. Sistem Muskuloskeletal : Pasien SARS mengalami kaku otot (mialgia) dan rasa kaku- kaku ditubuh, pasien juga sering merasa sangat lelah disertai nyeri otot di sekujur tubuh (Chen, 2014, p. 729).
  2. Sistem Endokrin : tidak ada perubahan pada sistem endokrin pasien SARS, karena pada pasien SARS pmeriksaan hanya timbul kelainan pada paru-paru dan tidak ditimbulkan tanda abnormal pada endokrin (Chen, 2014, p. 732).
  3. Sistem Reproduksi : tidak ada perubahan pada sistem reproduksi pasien SARS, karena pada manifestasi klinis hanya ditemukan infiltrate yang sesua dengan pneumonia atau sindrom distress pernapasan akut (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 226).
  4. Sistem Penginderaaan : Pada pasien SARS tidak mengalami perubahan pada sitem penginderaan karena sasaran penyakit SARS hnaya menuju pada saluran napas bawah dan asinus (Chen, 2014, p. 729).
  5. Sistem Imun : Virus corona dapat menimbulkan infeksi saluran pernapasan atas dan bawah sehingga mengakibatkan imunitas pernafasan menjadi turun dan berakibat batuk yang lama dan akan mengakibatkan kerusakan epitel dan gerakan silia berkurang (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 226)

 

  1. Pemeriksaan penunjang

Secara garis besar pemeriksaan penunjang tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu, pemeriksaan non spesifik dan pemeriksaan spesifik SARS. Pemeriksaan penunjang yang non spesifik adalah pemeriksaan yang ditujukan untuk menilai kondisi tubuh pasien pada saat itu. Hasil pemeriksaan ini dapat di gunakan uintuk memperkuat kecurigaan kea rah SARS, namun tidak dapat di gunakan untuk diagnosis pasti. Sedangkan pemeriksaan penunjang yang sepesivik adalah pemeriksaan yang devinitif dan dapat di gunakan untuk mendeteksi langsung penyebab penyakit. Selanjutnya, pemeriksaan darah perifer lengkap untuk menilai komposisi sel darah dan pemeriksaan SGOT/SGPT sebagai cerminan dari fungsi hati, dapat berguna dalam menunjang tegaknya diagnosis (Chen, 2014, pp. 731-732).

Rontgen dada (menunjukkan adanya penimbunan cairan di tempat yang seharusnya terisi udara), CT-scan toraks menunjukkan gambaran Bronkiolitis Obieterans Organizing Pneumonia (BOOP) (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 227).

Untuk pemeriksaan sepesifik CoV SARS, yang dapat di gunakan ialah pemeriksaan RT-PCR pada sepesimen dahak, feses dan darah perifer pasien. Selain RT-PCR untuk mendeteksi CoV SARS dapat di lakukan pemeriksaan deteksi antigen dan serum dan kulturs virus. Deteksi anti bodi terhadap CoVSARS adalah pemeriksaan diagnostic yang pertama kali tersedia dan tetap menjadi gold standard untuk konfirmasi diagnosis SARS (Chen, 2014, p. 732).

 

  1. Penatalaksanaan:
  2. Penatalaksaan kasus suspek SARS
  3. Petugas memakai masker N95
  4. Berikan masker bedah pada penderita
  5. Petugas yang masuk ke ruang pemeriksaan sudah memakai penggunaan alat proteksi perorangan (PAPP)
  6. Catat dan dapatkan keterangan rinci mengenai tanda klinis, riwayat perjalanan, riwayat kontak termasuk riwayat munculnya gangguan pernapasan pada kontak 10 hari sebelumnya.
  7. Pemeriksaan fisik
  8. Lakukan pemeriksaan foto toraks dan darah perifer
  9. Bila foto toraks normal lihat indikasi rawat atau tetap dirumah, anjurkan untuk melakukan kebersihan diri, tidak masuk kantor atau sekolah dan hindari menggunakan angkutan umum selama belum sembuh.
  10. Pengobatan dirumah : simtomatik, antibiotik bila ada indikasi, vitamin dan makanan bergizi
  11. Apabila keadaan memburuk segera hubungi dokter
  12. Bila foto toraks menunjukkan gambaran infiltrat 1 sisi atau 2 sisi paru dengan atau tanpa infiltrat lnterstial liat penatalaksanaan kasus probable (Chen, 2014, p. 732).
  13. Penatalaksanaan kasus probable
  14. Rawat di Rumah Sakit dalam ruang isolasi dengan kasus sejenis
  15. Pengambilan darah untuk : darah tepi lengkap, fungsi hati, kreatinin fosfokinase, urea, elektrolit, C reaktif protein.
  16. Pengampil sampel untuk membedakan dari kasus pneumonia tipikal atau atipikal lainnya :
  17. Pemeriksaan usap hidung dan tenggorokan.
  18. Biakan darah, serologi
  19. Urine
  20. Pemantauan darah 2 hari sekali
  21. Foto toraks diulang sesuai indikasi klinis
  22. Pemberian pengobatan
  23. Ringan atau sedang

Antibiotic golongan beta laktan + anti beta laktamase (intravena) ditambah makrolit generasi baru oral atau sefaloskorin G2, sefalosporin G3 (intravena), ditambah makrolit generasi baru oral atau fluorokuinolon respirasi (intravena) : muxifloxacin, levofloxacin, Gatifloxacin

  1. Berat
  2. Pasien yang tidak ada faktor resiko infeksi seudomonas, diberikan sefalosporin G3 non seudomonas (intravena) ditambah makrolit generasi baru oral atau fluorokuinolon respirasi (intravena). Antibiotic untuk pasien dengan faktor resiko infeksi seudomonas, diberikan sefalosporin anti seudomonas (siprofloksasin, levofloksasin) intravena/ aminoglikosida intravena ditambah, makrolid generasi baru oral.
  3. Kortikosteroid; hidrokortison (intravena) 4 mg/kg BB tiap 8 jam, tapering atau metilprednisolon (intravena) 240 ± 320 mg tiap hari
  4. Ribavirin 1,2 gr oral tiap 8 jam atau 8 mg/kg BB intravena tiap 8 jam (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 229).

 

  1. Diagnosa Keperawatan

Menurut (PPNI, 2016) diagnosa keperawatan severe acute respiratory syndrome yang muncul antara lain :

  1. Bersihan jalan napas tidak efektif

Definisi : ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.

Penyebab :

Fisiologis

  1. Spasme jalan napas
  2. Hipersekresi jalan napas
  3. Disfungsi neuromuskuler
  4. Benda asing dalam jalan napas
  5. Adanya jalan napas buatan
  6. Sekresi yang tertahan
  7. Hiperplasia dinding jalan napas
  8. Proses infeksi
  9. Respon alergi
  10. Efek agen farmakologis (mis. anastesi)

Situasional

  1. Merokok aktif
  2. Merokok pasif
  3. Terpajan polutan

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

Tidak tersedia

Objektif

  1. Batuk tidak efektif
  2. Tidak mampu batuk
  3. Sputum berlebih
  4. Mengi, Wheezing dan/atau ronkhi kering
  5. Mekonium di jalan napas (pada neonatus)

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  1. Dispnea
  2. Sulit bicara
  3. Ortopnea

Objektif

  1. Gelisah
  2. Sianosis
  3. Bunyi napas menurun
  4. Frekuensi napas berubah
  5. Pola napas berubah

Kondisi klinis terkait

  1. Gullian barre syndrome
  2. Sklerosis multipel
  3. Myasthenia grafis
  4. Prosedur diagnostic (mis. bronkoskopi, transesophageal echocardiography [TEE])
  5. Depresi sistem saraf pusat
  6. Cedera kepala
  7. Stroke
  8. Kuadriplegia
  9. Sindrom aspirasi mekonium
  10. Infeksi saluran napas (PPNI, 2016, pp. 18-19).
  11. Hipovolemia

Definisi : penurunan volume cairan intra vascular, interstisial, dan/ atau intraselular.

Penyebab

  1. Kehilangan cairan aktif
  2. Kegagalan mekanisme regulasi
  3. Peningkatan permeabilitas kapiler
  4. Kekurangan intake cairan
  5. Evaporasi

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

Tidak tersedia

Objektif

  1. Frekuensi nadi meningkat
  2. Nadi teraba lemah
  3. Tekanan darah menurun
  4. Tekanan nadi menyempit
  5. Turgor kulit menurun
  6. Membrane mukosa kering
  7. Volume urin menurun
  8. Hematokrit meningkat

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  1. Merasa lemah
  2. Mengeluh halus

Objektif

  1. Pengisian vena munurun
  2. Status mental berubah
  3. Suhu tubuh meningkat
  4. Konsentrasi urin meningkat
  5. Berat badan turun tiba-tiba

Kondisi klinis terkait

  1. Penyakit Addison
  2. Trauma / perdarahan
  3. Luka bakar
  4. AIDS
  5. Penyakit crohn
  6. Muntah
  7. Diare
  8. Kolitis ulseratif
  9. Hipoalbuminemia (PPNI, 2016, p. 64).
  10. Pola napas tidak efektif

Definisi :  inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat.

Penyebab

  1. Depresi pusat pernapasan
  2. Hambatan upaya napas (misalnya nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan)
  3. Deformitas dinding dada
  4. Deformitas tulang dada
  5. Gangguan neuromuscular
  6. Gangguan neurologis (misalnya elektroensefalogram [EEG] positif, cedera kepala, gangguan kejang)
  7. Imaturitas neurologis
  8. Penurunan energy
  9. Obesitas
  10. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
  11. Sindrom hipoventilasi
  12. Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan syaraf C5 keatas)
  13. Cedera pada medulla spinalis
  14. Efek agen farmakologis
  15. Kecemasan

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

  1. Dispnea

Objektif

  1. Penggunaan otot bantu pernapasan
  2. Fase ekspirasi memanjang
  3. Pola napas abnormal (misalnya takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes)

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  1. Ortopnea

Objektif

  1. Pernapasan pursed-lip
  2. Pernapasan cuping hidung
  3. Diameter thoraks anterior- posterior meningkat
  4. Ventilasi semenit menurun
  5. Kapasitas vital menurun
  6. Tekanan ekspresi menurun
  7. Tekanan inspirasi menurun
  8. Ekskursi dada berubah

Kondisi klinis terkait

  1. Depresi sistem saraf pusat
  2. Cedera kepala
  3. Trauma thoraks
  4. Gullian barre syndrome
  5. Mutiple sclerosis
  6. Myasthenia gravis
  7. Stroke
  8. Kuadriplegia
  9. Intoksikasi alkohol (PPNI, 2016, pp. 26-27).
  10. Intoleransi aktivitas

Definisi : ketidakcukupan  energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Penyebab

  1. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
  2. Tirah baring
  3. Kelemahan
  4. Imobilitas
  5. Gaya hidup monoton

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

  1. Mengeluh lelah

Objektif

  1. Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  1. Dispnea saat/ setelah aktivitas
  2. Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
  3. Merasa lemah

Objektif

  1. Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat
  2. Gambaran EKG menunjukkan aritmia saat/ setelah aktivitas
  3. Gambaran EKG menunjukkan iskemia
  4. Sianosis

Kondisi klinis terkait

  1. Anemia
  2. Gagal jantung kongestif
  3. Penyakit jantung koroner
  4. Penyakit katup jantung
  5. Aritmia
  6. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
  7. Gangguan metabolik
  8. Gangguan musculoskeletal (PPNI, 2016, p. 128).
  9. Intervensi
  10. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan inflamasi dan obstruksi jalan napas.

Tujuan atau kriteria hasil

Pasien akan :

  • Batuk efektif
  • Mengeluarkan cekret secara efektif
  • Mempunyai jalan napas yang paten pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih
  • Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal
  • Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
  • Mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan dirumah (Wilkinson, 2016, p. 26).

Aktivitas Keperawatan

  1. Pengkajian
  2. Kaji dan dokumentasikan hal – hal berikut ini

Keefektifan pemberian oksigen dan terapi lain

Keefektifan obat yang diprogramkan

Hasil oksimetri nadi

Kecenderungan pada gas darah arteri, jika tersedia

Frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan

Faktor yang berhubungan, seperti nyeri, batuk tidak efektif, mukus kental, dan keletihan (Wilkinson, 2016, p. 26)

  1. Auskultasi bagian dada anterior posterior untuk mengetahui penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan (Wilkinson, 2016, p. 26)
  2. Pengisapan Jalan Napas (NIC) :

Tentukan kebutuhan pengisapan oral atau trakea

Pantau status oksigen pasien (tingkat SaO2 dan SvO2) dan status hemodinamik (tingkat MAP [mean arterial pressure] dan irama jantung) segera sebelum , selama, dan setelah pengisapan.

Catat jenis dan jumlah sekret yang dikumpulkan (Wilkinson, 2016, p. 26).

  1. Penyuluhan untuk pasien dan keluarga
  2. Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung ( mis, oksigen, mesin penghisapan, spirometer, inhaler, dan intermittent positive pressure breathing [IPPB])
  3. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan merokok didalam ruang perawatan, beri penyuluhan tentang pentingnya berhenti merokok.
  4. Intruksikan kepada pasien dan keluarga tentang batuk dan teknik napas dalam untuk memudahkan pengeluaran sekret.
  5. Ajarkan pasien untuk membebat atau mengganjal luka insisi pada saat batuk.
  6. Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum, seperti warna, karakter, jumlah, dan bau.
  7. Penghisapan jalan napas ( NIC) : instruksikan kepada pasien dan atau keluarnya tentang cara pengisapan jalan napas, jika perlu (Wilkinson, 2016, p. 26).
  8. Aktivitas Kolaboratif
  9. Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu
  10. Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau peralatan pendukung
  11. Berikan udara atau oksigen yang telah dihumudifikasi (dilembapkan) sesuai dengan kebijakan institusi
  12. Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizer, ultrasonic, dan perawatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan dan protokol institusi
  13. Beritahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal (Wilkinson, 2016, p. 26).

 

  1. Aktivitas lain
  2. Anjurkan aktivitas fisik untuk memfasilitasi pengeluaran sekret
  3. Anjurkan penggunaan spirometer intensif .
  4. Jika pasien tidak mampu ambulasi, pindahkan pasien dari satu sisi tempat tidur ke sisi tempat tidur yang lain sekurangnya setiap dua jam sekali
  5. Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur, untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kontrol diri
  6. Berikan pasien dukungan emosi (mis., meyakinkan pasien bahwa batuk tidak akan menyebabkan robekan atau “kerusakan” jahitan)
  7. Atur posisi pasien yang memungkinkan untuk pengembangan maksimal rongga dada (mis., bagian kepala tempat tidur ditinggikan 45º kecuali ada kontraindikasi
  8. Pengisapan nasofaring atau orofaring untuk mengeluarkan sekret setiap _________ (sebutkan frekuensinya)
  9. Lakukan pengisapan endotrakea atau nasotrakea, jika perlu. ( Hiperoksigenasi dengan Ambu bag sebelum dan setelah pengisapan slang endotrakea atau trakeostomi )
  10. Pertahankan keadekuatan hidrasi untuk mengencerkan sekret
  11. Singkirkan atau tangani faktor penyebab, seperti nyeri, keletihan, dan sekret yang kental (Wilkinson, 2016, p. 27).

 

  1. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake oral tidak adekuat, takipnea, demam.

Tujuan atau kriteria hasil

Pasien akan :

  • Memiliki konsentrasi urine yang normal. Sebutkan nilai dasar berat jenis urine
  • Memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam batas normal untuk pasien
  • Memiliki tekanan vena sentral dan pulmonal dalam rentang yang diharapkan
  • Tidak mengalami haus yang tidak normal
  • Memiliki keseimbangan asupan dan haluaran yang seimbang dalam 24 jam
  • Menampilkan hidrasi yang baik (membrane mukosa lembap, mampu berkeringat)
  • Memiliki asupan cairan oral dan intravena yang adekuat (Wilkinson, 2016, p. 178).

Aktivitas keperawatan

  1. Pengkajian
  2. Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
  3. Observasi khusunya terhadap kehilangan cairan yang tinggi eliktrolit (misalnya, diare, drainase luka, pengisapan nasogrenik, diaphoresis, dan drainase ileostomi)
  4. Pantau pendarahan (misalnya, obat-obatan, demam, stress, dan program pengobatan)
  5. Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan pada pasien sakit terminal tepat dilakukan
  6. Menejemen cairan (NIC)
  7. Pantau status hidrasi (misalnya, kelembapan membrane mukosa, ke adekuatan dan tekanan darah ortostatik)
  8. Timbang berat badan setiap hari dan pantau kecenderungannya
  9. Pertahankan keakuratan catatan asupan dan haluaran (Wilkinson, 2016, p. 179).

 

 

  1. Penyuluhan untuk pasien dan keluarga

Anjurkan pasien untuk menginformasikan perawat bisa haus (Wilkinson, 2016, p. 179).

  1. Aktivitas kolaboratif
  2. Laporkan dan catat haluaran kurang dari ____ ml
  3. Laporkan dan catat haluaran lebih dari _____ ml
  4. Laporkan abnormalitas elektrolit
  5. Menejemen cairan (NIC)
  • Atur ketersediaan produk darah untuk tranfusi, bila perlu
  • Berikan ketentua penggantian nasogastrik berdasarkan haluaran, sesuai dengan kebutuhan
  • Berikan terapi IV, sesuai program (Wilkinson, 2016, p. 179).
  1. Aktivitas lain
  2. Lakukan hygiene oral secara sering
  3. Tentukan jumlah cairan yang masuk dalam 24 jam, hitung asupan yang diinginkan sepanjang shift siang, sore, dan malam
  4. Pastikan bahwa pasien terhidrasi dengan baik sebelum pembedahan
  5. Ubah posisi pasien Trendelenburg atau tinggikan tungkai pasien bila hipotensi, kecuali diskontraindikasikan
  6. Menejemen cairan (NIC)
  • Tingkatkan asupan oral (misalnya, sediakan sedotan, beri cairan di antara waktu makan, ganti air es secara rutin, buat es dari jus kesukaan anak, cetak agar-agar dalam bentuk yang lucu-lucu, gunakan cangkir obat kecil), jika perlu
  • Pasang kateter urine, bila perlu
  • Berikan cairan, sesuai dengan kebutuhan (Wilkinson, 2016, pp. 179-180).
  1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak mampuan pemasukan berhubungan dengan faktor biologis.

Tujuan atau karakteristik evaluasi

Pasien akan :

  • Mempertahankan berat badan ___ Kg atau bertambah ___Kg pada _____ (sebutkan tanggalnya)
  • Menjelaskan komponen bergizi yang adekuat
  • Mengungkapkan tekad untuk diet
  • Mentoleransi diet yang dianjurkan (Wilkinson, 2016, p. 284).

Aktivitas keperawatan

  1. Pengkajian
  2. Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan
  3. Pantau nilai laboratorium, khususnya transferin, albumin, dan elektrolit
  4. Menejemen nutrisi
  5. Ketahui makanan kesukaan pasien
  6. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
  7. Timbang pasien pada interval yang tepat (Wilkinson, 2016, p. 284).
  8. Penyuluhan untuk pasien dan keluarga
  9. Ajarkan metode untuk perencanaan makan
  10. Ajarkan pasien dan keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal
  11. Menejemen nutrisi (NIC)
  • Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memahaminya (Wilkinson, 2016, p. 284).
  1. Aktivitas kolaboratif
  2. Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein pasien yang mengalami ketidak adekuatan asupan protein atau kehilangan protein (misalnya, pasien anoreksia nrvosa atau pasien penyakit glomerular/dialysis peritoneal)
  3. Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan, makanan pelengkap, pemberian makanan melalui selang, atau nutrisi parenteral total agar asupan kalori yang adekuat dapat dipertahankan
  4. Rujuk ke dokter untuk menentukan penyebab gangguan nutrisi
  5. Rujuk ke program gizi di komunitas yang tepat, jika pasien tidakdapat membeli atau menyiapakan makanan yang adekuat
  6. Menejemen nutrisi (NIC)
  • Tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukan, jumlah kalori dan jenis zat yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (khususnya untuk pasien dengan kebutuhan energy tinggi, seperti pasien pasca bedah dan luka bakar, trauma, demam dan luka (Wilkinson, 2016, p. 285).
  1. Aktivitas lain
  2. Buat perencanaan makan dengan pasien yang masuk dalam jadwal makan, kesukaan dan ketidak sukaan pasien, serta suhu makanan
  3. Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari rumah
  4. Bantu pasien menulis tujuan mingguan yang realistis untuk latihan fisik dan asupan makanan.
  5. Anjurkan pasien untuk menampilkan tujuan makan dan latihan fisik di lokasi yang terlihat jelas dan kaji ulang setiap hari
  6. Tawarkan makanan porsi besar di siang hari ketika nafsu makan tinggi
  7. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan (misalnya, pindahkan barang-barang dan cairan yang tidak sedap dipandang)
  8. Hindari prosedur invasi sebelum makan
  9. Suapi pasien, jika perlu
  10. Menejemen nutrisi (NIC)
  • Biarkan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi protein, tinggi kslori yang siap dikonsumsi, bila memungkinkan
  • Ajarkan pasien tentang cara membuat catatan harian makanan (Wilkinson, 2016, p. 285).
  1. Intoleransi aktifitas
  • Tujuan

Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, yang dibuktikan oleh toleransi aktifitas, ketahana, penghematan energy, tingkat kelelahan, energy psikomotorik, istirahat dan perawatan diri : AKS (dan AKSI)

  • Kriteria Hasil
  1. Mengidentifikasi aktifitas atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang dapat mengakibatkan intoleran aktivitas
  2. Berpartisipasi dalam aktifitas fisik yang dibutuhkan dengan peningkatan denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan tekanan darah serta memantau pola dalam batas normal
  3. Pada (tanggal target) akan mencapai tingkat aktifitas (uraikan tingkat yang diharapkan dari daftar pada saran penggunaan)
  4. Mengungkapkan secara verbal pengalaman tentang kebutuhan oksigen, obat dan peralatan yang dapat meningkatkan toleransi pada aktifitas
  5. Menampilkan aktifitas kehidupan sehari-hari (AKS) dengan beberapa bantuan (mis. Eliminasi dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar mandi)
  • Intervensi

Aktifitas keperawatan

  1. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi dan melakukan AKS dan AKSI
  2. Kaji respon emosi, social, dan spiritual terhadap aktifitas
  3. Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas
  4. Manajemen Energi (NIC) :

Tentukan penyebab keletihan (mis., perawatan, nyeri dan pengobatan)

Pantau respon kardiorespiratori terhadap aktifitas (mis., takikardia, distribmia lain, dispenia, diaphoresis, pucat, tekanan hemodinamik dan frekuensi pernapasan)

Penyuluhan untuk pasien

  1. Penggunaan teknik napas terkontrol selama aktifitas jika perlu
  2. Mengenali tanda dan gejala intoleran aktifitas, termasuk kondisi yang perlu dilaporkan pada dokter
  3. Pentingnya nutrisi yang baik
  4. Penggunaan peralatan, seperti oksigen selama aktifitas
  5. Penggunaan teknik relaksasi (mis., distraksi, visualisasi) selama aktifitas
  6. Dampak intoleransi aktifitas terhadap tanggung jawab peran dalam keluarga dan tempat kerja
  7. Tindakan untuk menghemat energy sebagai contoh : menyimpan alat atau benda yang sering digunakan di tempat yang mudah terjangkau

Aktifitas kolaboratif

  1. Berikan pengobatan nyeri sebelum aktifitas apabila nyeri merupakan salah satu factor penyebab
  2. Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik (mis., untuk latihan ketahanan), atau rekreasi untuk metencanakan dan memantau program aktifitas jika perlu
  3. Rujuk pasien ke pelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan bantuan perawatan rumah jika perlu
  4. Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet, guna meningkatkan asupan makanan yang kaya energy

Aktivitas lain

  1. Hindari menjadwalkan aktifitas perawatan selama periode istirahat
  2. Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bersanndar, duduk, berdiri, dan ambulasi sesuai toleransi
  3. Pantau TTV sebelum, selama, sesudah aktifitas; hentikan jika TTV tidak dalam rentang normal bagi pasien atau jika ada tanda-tanda bahwa aktifitas tidak dapat ditoleransi (mis.,nyeri dada, pucat, vertigo, dyspnea)
  4. Rencanakan aktivitas bersaama pasien dan keluarga yang meningkatkan kemandirian dan ketahanan (Wilkinson, 2016, pp. 15-18).

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Chen, K. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna.

Cornain, N. d. (2015). Buku Ajar Patologi Robbins. Singapura: Elsevier.

Douglas dkk. (2014). Macleod Pemeriksaan Fisik. Singapura: Elsevier.

Firdaus, J. (2012). Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis. Jakarta: CV.TRANS INFO MEDIA.

Frdaus J. Kunoli, S. M. (2012). Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis. Jakarta: CV. TRANS INFO MEDIA.

Masriadi. (2016). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: CV. TRANS INFO MEDIKA.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperwatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA JILID 1. Yogyakarta: Medi Action.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Jogjakarta: Mediaction.

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Wilkinson, J. (2016). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.

Wilkinson, J. (2016). Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Posted in Keperawatan Medikal Bedah | Leave a comment

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FILARIASIS

BAB 1

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Penyakit ini dapat disebabkan oleh infeksi satu atau dua cacing jenis falaria yaitu Wucheria bancrofti atau Brugiamalayi. Cacing filaria ini termasuk family Filaridae, yang bentuknya langsing dan ditemukan didalam system peredaran darah limfe, otot, jaringan ikat atau rongga serosa pada vertebrata (Sudoyo dkk, 2010, p. 2931).

Didaerah endemik 80 % penduduk biasa mengalami infeksi tetapi hanya sekitar 10 – 20 % populasi yang menunjukkan gejala klinis infeksi parasit ini tersebar didaerah tropis dan subtropis seperti afrika, Asia, Pasifik selatan (Kunoli, 2012, p. 199).

Penyakit filariasis ini terjadi melalui gigitan nyamuk mengandung larva infektif. Larva akan terdeposit dikulit, terpindah ke pembulu limfa berkembang menjadi cacing dewasa selama 6 sampai 12 bulan, dan menyebabkan kerusakan dan pembesaran pembulu limfe (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 144).

Perlu adanya pendidikan dan pencegahan serta pengenalan penyakit kaki gajah diwilayah masing – masing sangatlah penting untuk memutus mata rantai penularan penyakit ini. Membersihkan lingkungan sekitar adalah hal penting untuk mencegahan terjadinya perkembangan nyamuk diwilayah tersebut (Padila, 2013, hal. 418).

 

  1. Batasan Masalah

Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan klien yang mengalami filariasis.

 

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah bagaimana asuhan keperawatan pada pasien filariasis.

 

  1. Tujuan
  2. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memahami konsep dan melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan penyakit filariasis.

  1. Tujuan khusus
  2. Mahasiswa diharapkan dapat memahami tentang definisi penyakit filariasis
  3. Mahasiswa diharapkan dapat memahami tentang Etiologi penyakit filariasis
  4. Mahasiswa diharapkan dapat memahami tentang Tanda dan Gejala penyakit filariasis
  5. Mahasiswa diharapkan dapat memahami tentang Patofisiologi penyakit filariasis
  6. Mahasiswa diharapkan dapat memahami tentang Klasifikasi penyakit filariasis
  7. Mahasiswa diharapkan dapat memahami tentang Komplikasi penyakit filariasis
  8. Mahasiswa diharapkan dapat memahami tentang Konsep Asuhan Keperawatan penyakit filariasis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

  1. KONSEP PENYAKIT
  2. Definisi

Filariasis atau lebih dikenal elephantiasis (kaki gajah) adalah penyakit akibat nematode yang seperti cacing yaitu wuchereria bancrofti. Brugia malayi dan brugia timon yang dikenal sebagai filaria. Infeksi ini biasanya terjadi pada saat kanak-kanak dan manifestasi yang dapat terlihat mucul belakangan, menetap dan menimbulkan ketidak mampuan menetap (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 144).

Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit nematode yang tersebar dindonesia. Walaupun penyakit ini jarang menyebabkan kematian, tetapi dapat menurunkan produktifitas penderitanya karena timbulnya gangguan fisik penyakit ini jarang terjadi pada anak karena manifestasi klinisnya timbul bertahun-tahun kemudian setelah infeksi gejala pembengkakan kaki muncul karena sumbatan mikrofilaria pada pembulu limfe yang biasanya terjadi pada usia diatas 30 tahun setelah terpapar parasit selama bertahun-tahun. Oleh karena itu filariasis sering juga disebut kaki gajah. Akibat paling vatal bagi penderita adalah kecacatan permanen yang sangat mengganggu produktifitas (Kunoli, 2012, p. 199).

 

  1. Etiologi

Wuchereria bancrofti merupakan cacing dewasa berwarna putih, kecil seperti benang. Cacing jantan berukuran 40 mm x 0,1 mm, sedangkan cacing betina berukuran dua kali cacing jantan yaitu 80-100 mm x 0,2-0,3 mm. Manusia merupakan satu-satunya hospes yang diketahui. Penularan nyamelalui proboscis (labela) sewaktu gigitan nyamuk yang mengandung larva inefektif. Larva akan terdeposit di kulit, berpindah kepembuluh limfa berkembang menjadi cacing dewasa selama 6-12 bulan, dan menyebabkan kerusakan dan pembesaran pembuluh limfe. Filariasis dewasa hidup beberapa tahun di tubuh manusia. Selama periode tersebut filarial berkembang menghasilkan jutaan microfilaria (umur 3-36 bulan) yang belum masak, beredar di daerah perifer dan dapat dihisap oleh nyamuk yang kemudian menularkan kemanusia lain (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 144).

Cacing panjang halus seperti benang yaitu: filariasis yang disebabkan oleh Wuchereria Bancrofti, (filariasis Bancrofti), filariasis yang disebabkan oleh brugia malayi (filariasis malayi, filariasis brugia), filariasis yang disebabkan oleh brugia timori (Kunoli, 2012, p. 200).

 

  1. Tanda dan Gejala
  2. Gejala tampak setelah 3 bulan infeksi
  3. Umumnya masa tunas 8-12 bulan
  4. Fase akut menimbulkan peradangan seperti limfangitis, limfadenitis, funikulitis, epididymitis dan orkitis
  5. Gejala dari limfa denitis nyeri local, keras didaerah limfe, demam, sakit kepala
  6. Fase akut dapat sembuh spontan setelah beberapa hari dan beberapa kasus mengalami dan badan, mual, lesu dan tidak nafsu makan kekambuhan tidak teratur selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan sebelum sembuh
  7. Fase kronik terjadi dengan gejala hidrocel, kiluria, limfedema, dan elephantiasis (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 144).

ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan limfadenitis), serta edema local yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat retrograde, menyebar secara periferdari KGB menuju arah sentral. Sepanjang perjalanan ini, KGB regional akan ikut membesar atau sekedar memerah dan meradang (Padila, 2013, hal. 412).

 

  1. Patofisiologi

Perubahan patologi utama disebabkan oleh kerusakan pembulu getah bening akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa, bukan oleh mikrofilaria. Cacing dewasa hidup dipembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah bening dan menyebabkan pelebaran pembulu getah bening dan penebalan dinding pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan magrofag didalam dan sekitar pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama dengan proliferasi sel endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan berliku-likunya sistem limfatik dan kerusakan atau inkompetensi katup pembuluh getah bening.

Limfedema dan perubahan kronik akibat statis bersama edema keras terjadi pada kulit yang mendasari. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat filasriasis ini disebabkan oleh efek langsung dari cacicng ini dan oleh respon imun yang menyebabkan pejamu terhadap parasit. Respon imun ini dipercaya menyebabkan proses granulomatosa dan proliferasi yang menyebabkan obstruksi total getah bening (Sudoyo dkk, 2010, p. 2932).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pathway (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 148).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gangguian citra tubuh
Gangguan aktivitas
Perubahan pada status kesehatan

 

 

 

 

 

 

  1. Klasifikasi
  2. Filariasis malayi

Filariasi malayi disebakan oleh disebabkan oleh brugiamalayi. Periodisitas mikrofilaria B. Malayi adalah periodik nokturna, sub perodik nokturna, atau non periodik. Periodisitas mikrofilaria yang bersarung dan berbentuk kasini, tidak senyata periodisitas W.Bansofti. Sebagai hospes sementara adalah nyamuk mansomia, anopeles, amigeres. Dalam tubuh nyamuk mikrofilaria tumbuh menjadi larva impektif dalam waktu 6-12 hari. Ada peneliti yang menyebutkan bahwa masa pertumbuhanya di dalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Didalam tubuh manusia dan nyamuk perkembangan parasit ini juga sama dengan perkembangan W. Bansoft (Sudoyo dkk, 2010, hal. 2936).

  1. Filariasis timori

Filariasis timori disebabkan oleh pilariatipetimori.filaria tipe ini terdapat di timor, pulau rote, flores, dan beberapa pulau disekitarnya. Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan dikelenjar limfe. Pagetornya adalah anopeles barberostis. Mikro filarianya menyerupai mikro filaria brugiamalayi, yaitu lekuk badanya patah-patah dan susunan intinya tidak teratur, perbedaanya terletak dalam: 1. Panjang kepala = 3 x lebar kepala; 2. Ekornya mempunyai 2 inti tambahan, yang ukuranya lebih kecil daripada inti-inti lainya dan letaknya lebih berjauhan bila dibandingkan dengan letak inti tambahan B. Malayi; 3. Sarungnya tidak mengambil warna pulasan gamesa; ukuranya lebih panjang daripada mikrofilaria berugiamalayi. Mikrofilaria bersifat periodik nokturna (Sudoyo dkk, 2010, p. 2936).

 

  1. Komplikasi

Jika tidak ditangan dengan serius penyakit ini dapat menimbulkan Hidrokel membesar, adapun dapat menimbulkan penyakit berupa infeksi.

  1. Hidrokel yang besar sehingga menekan pembuluh darah
  2. Indikasi kosmetik
  3. Hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan sehari – hari.
  4. Chyluria (terdapat lemak pada urine)
  5. TPE (topical pulmonary eosinifilia)
  6. Hematuria
  7. Kelumpuhan saraf (Sudoyo dkk, 2010, p. 2934).

 

  1. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
  2. Pengkajian
  3. Identitas

Penyakit filariasis biasanya sering menyerang pada pria dan wanita yang berumur diatas 30 tahun (Kunoli, 2012, p. 199).

  1. Status kesehatan saat ini
  • Keluhan utama

Pasien mengalami keluhan mudah lelah, intoleransi aktivitas, perubahan pola tidur (Kunoli, 2012, p. 203).

Alasan MRS

Pasien mengalami kelemahan otot, menurunnya masa otot, respon fisiologi aktivitas (perubahan TD, frekuensi jantung) (Kunoli, 2012, hal. 203).

Riwayat penyakit sekarang

Klien mengeluh nyeri disertai bengkak pada kaki yang terkena, nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk, nyeri timbul setiap saat dan skala nyeri sedang sampai berat. Bengkak awalnya muncul dari telapak kaki sampai ke tungkai kaki bawah. Pasien sulit berjalan yang disebabkan oleh pembengkakan tungkai kaki. Demam naik turun dan buang air kecil berwarna putih susu (Kunoli, 2012, hal. 203).

  1. Riwayat Kesehatan Terdahulu
  • Riwayat penyakit sebelumnya

Pasien biasanya belum pernah mengalami penyakit filariasis sebelumnya (Padila, 2013, hal. 412).

  • Riwayat penyakit keluarga

Pada keluarga tidak ada yang mengalami penyakit filariasis (Padila, 2013, hal. 412).

  • Riwayat pengobatan

Pada pengobatan masal (program pengendalian filariasis) pemberian DEC dosis standar tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya. Untuk itu, DEC diberikan dengan dosis lebih rendah (6 mg/kgBB), dengan jangka waktu pemberian yang lebih lamam mencapai dosis total yang sama misalnya dalam bentuk garam DEC 0,2 – 0,4% selama 9-12 bulan. Atau pemberian obat dilakukan seminggu sekali, atau dosis tunggal setiap 6 bulan atau setiap tahun (Sudoyo dkk, 2010, hal. 2935).

  1. Pemeriksaan Fisik
  2. Keadaan umum
  3. Kesadaran

Kesadaran Pada manifestasi akut dapat ditemukan adanya limfangitis dan limfadenitis yang berlangsung 3 – 15 hari, dan dapat terjadi beberapa kali dalam setahun (Zainuddin, 2014, hal. 39).

  1. Tanda – tanda vital

Pasien dengan penyakit filariasis perubahan tekanan darah, menurunnya volume nadi perifer, perpanjangan pengisian kapiler (Kunoli, 2012, hal. 203).

  1. Body system
  2. Sistem pernafasan

Penyakit filariasis terjadi pernapasan pendek : dispnea nokturnal paroksismal ; batuk dengan / tanpa sputum kental dan banyak (Aziz dkk, 2013, hal. 116).

  1. Sistem kardiovaskular

ictus cordis tidak terlihat dan tidak  kuat angkat, Perubahan TD, menurunnya volume  nadi perifer, perpanjangan pengisian kapiler (Kunoli, 2012, hal. 203).

  1. Sistem pensyarafan

Kaki bengkak dan reflek tidak normal (Sudoyo dkk, 2010, hal. 2932).

  1. Sistem perkemihan

Pembengkakan pada daerah skrotalis (Kunoli, 2012, hal. 203).

  1. Sistem percernaan

Pasien mengalami anoreksia dan permeabilitas cairan (Kunoli, 2012, hal. 203).

  1. Sistem integument

Warna kulit normal dan mengalami gangguan pada ekstemitas yang terkena kaki gajah, tekstur kulit mengalami bengkak, gatal, lesi, bernanah pada kaki yang terkena (Kunoli, 2012, hal. 203).

 

 

  1. Sistem muskuloskeletal

Terdapat edema pada kaki yang terkena dan kelemahan otot (Kunoli, 2012, hal. 203).

  1. Sistem endokrin

Ditemukan adanya limfangitis dan limfadenitis yang berlangsung 3 – 15 hari, dan dapat terjadi beberapa kali dalam setahun (Zainuddin, 2014, hal. 36).

  1. Sistem reproduksi

Menurunnya libido (Kunoli, 2012, hal. 203).

  1. Sistem pengindraan

Kerusakan status indra praba (Kunoli, 2012, hal. 203)

  1. Sistem imun

Mengalami demam pada filariasis karena adanya inflamasi yang berawal dari kelenjar getah (Sudoyo dkk, 2010, hal. 2932).

  1. Pemeriksaan Penunjang
  2. Penyakit kaki gajah ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan mikroskopis darah , sampai saaat ini hal tersebut masih dirasakan sulit dilakukan karena microfilaria hanya muncul dan menampilkan diri dalam darah pada waktu malam hari selama beberapa jam saja (nocturnal periodicity)(Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 144).
  3. Selain itu, berbagai methode pemeriksaan juga dilakukan untuk mendiagnosa penyakit kaki gajah. Diantaranya ialah dengan system yang dikenal sebagai penjaringan membran, metode konsentrasikan dan teknik pengendapan (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 144).
  4. Metode pemeriksaan yang mendekati kearah diagnose dan diakui oleh WHO dengan pemeriksaan system “teskartu”, hal ini sangatlah sederhana dan peka untuk mendeteksi penyebaran parasit (larva). Yaitu dengan mengambil sample darah system tusukan jari droplests diwaktu kapan pun, tidak harus dimalam har (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 144).
  5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan filariasis bergantung kepada keadaan klinis dan beratnya penyakit.

 

 

Terapi medikamentosa

  1. Diethycarbamazine citrate (DEC)

WHO merekomendasikan pemberian DEC dengan dosis 6 mg/kgBB untuk 12 hari berturut-turut. Di Indonesia, dosis 6 mg/kgBB memberikan efek samping yang berat, sehingga pemberian DEC dilakukan bedasarkan usia dan dikombinasi dengan albendazol (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 145).

  1. Ivermectin

Obat ini merupakan antibiotik semisintetik golongan makrolid yang berfungsi sebagai agent mikrofilarisidal poten. Dosis tunggal 200-400µg/kg dapat menurunkan microfilaria dalam darah tepi untuk waktu 6-24 bulan. Obat belum digunakan di Indonesia (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 145).

  1. Albendazol

Obat ini digunakan untuk pengobatan cacing intestine selam bertahun-tahun dan baru-baru ini di coba digunakan sebagai anti-filaria. Albendazole hanya mempunyai sedikit efek untuk mikrofilaremia dan antigenaemia jika digunakan sendiri. Dosis tunggal 400 mg dikombinasi dengan DEC atau intermectin efektif menghancurkan microfilaria (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 145).

  1. Pemberian benzopyrenes, termasuk flavonoids dan coumarin dapat Menjadi terapi tambahan (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 145).
  2. Pembedahan

Tindakan bedah pada limfadema bersifat paliatif, indikasi tindakan bedah adalah jika tidak terdapat perbaikan dengan terapi konservatif, limfadema sangat besar sehingga mengganggu aktivitas dan pekerjaan dan menyebabkan tidak berhasilnya terapi konsevatif (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 145).

 

  1. Diagnosa keperawatan

Menurut SDKI (2017) diagnosa keperawatan filariasis  yang muncul antara lain :

  1. Nyeri kronis(Tim Pokja SDKI PPNI, 2017, hal. 174)

Definisi : pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hinghga berat dan konstan, yang berlangsung lebih dari 3 bulan.

Penyebab :

  1. Kondisi muskulus skeletal kronis
  1. Kerusakan sistem saraf
  2. Penekanan saraf
  3. Inflitrasi tumor
  4. Ketidak seimbangan neurotransmiter, neuromedulator, dan reseptor
  5. Gangguan imunitas (mis. Neuropati terkait HIV, virus varicella joster)
  6. Gangguan fungsi metabolic
  7. Riwayat posisi kerja statis
  8. Peningkatan Indeks Masa Tubuh
  9. Kondisi pasca trauma
  10. Tekan emosional
  11. Riwayat penganiayaan (mis. Fisik, psikologis, seksual)
  12. Riwayat penyalahgunaan obat/zat

Gejala dan tanda mayor :

  1. Subjektif :
  2. Mengeluh nyeri
  3. Merasa depresi (tertekan)
  4. Objektif :
  5. Tampak meringis
  6. Gelisah
  7. Tidak mampu menuntaskan aktivitas

Gejala dan tanda minor :

  1. Subjektif :
  2. Merasa takut mengalami cedera berulang
  3. Objektif :
  4. Bersikap protektif
  5. Waspada
  6. Pola tidur berubah
  7. Anoreksia
  8. Fokus menyempit
  9. Berfokus pada diri sendiri

Kondisi klinis terkait : kondisi kronis, infeksi, cedera medula spinalis, kondisi pasca trauma, dan tumor.

  1. Hipertermia (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017, hal. 284).

Definisi : suhu tubuh meningkatkan diatas rentang normal tubuh.

Penyebab:

  1. Dehidrasi
  2. Terpapar lingkungan panas
  3. Preoses penyakit (mis. Infeksi, kanker)
  4. Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan
  5. Peningkatan laju metabolisme
  6. Respon trauma
  7. Aktivitas berlebihan
  8. Pengunaan inkubator

Gejala dan Tanda Mayor :

  1. Subjektif

(tidak tersedia)

  1. Objektif
  2. Suhu tubuh diatas nilai normal

Gejala dan Tanda Minor :

  1. Subjektif

(tidak tersedia)

  1. Objektif
  2. Kulit merah
  3. Kejang
  4. Takikardi
  5. Takipnea
  6. Kulit terasa hangat

Kondisi klinis terkait

  1. Proses infeksi
  2. Hipertiroid
  3. Stroke
  4. Dehidrasi
  5. Trauma
  6. Prematuritas
  7. Gangguan eliminasi urine(Tim Pokja SDKI PPNI, 2017, hal. 96)

Definisi : disfungsi eliminasi urine

Penyebab :

  1. Penurunan kapasitas kandung kemih
  2. Iritasi kandung kemih
  3. Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih
  4. Efek tindakan medis dan diagnostik (mis.operasi ginjal,operasi saluran kemih, anestesi,dan obat-obatan)
  5. Kelemahan otot pelvis
  6. Ketidakmampuan mengakses toilet(mis.imobilisasi)
  7. Hambatan lingkungan
  8. Ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi
  9. Outlet kandung kemih tidak lengkap (mis.anomali saluran kemih kongenital)
  10. Imaturitas (pada anak usia < 3 tahun)

Gejala dan tanda mayor :

  1. Subyektif
  2. Desakan berkemih (Urgensi)
  3. Urine menetes (Dribbling)
  4. Sering buang air kecil
  5. Nokturia
  6. Mengompol
  7. Enuresis
  8. Objektif
  9. Distensi kandung kemih
  10. Berkemih tidak tuntas (hesitancy)
  11. Volume residu urine meningkat

Gejala dan Tanda Minor :

  1. Subyektif

(tidak tersedia)

  1. Objektif

(tidak tersedia)

Kondisi klinis terkait :

  1. Infeksi ginjal dan saluran kemih
  2. Hiperglikemi
  3. Trauma
  4. Kanker
  5. Cedera/tumor/infeksi medula spinalis
  6. Neuropati diabetikum
  7. Neuropati alkoholik
  8. Stroke
  9. Parkinson
  10. Skeloris multipel
  11. Obat apha adrenergik
  12. Gangguan citra tubuh (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017, hal. 186).

Definisi : perubahan persepsi tentang penampilan, struktur  dan fungsi fisik individu.

Penyebab :

  1. Perubahan struktur / bentuk (mis. amputasi, trauma, luka bakar, obesitas, jerawat)
  2. Perubahan fungsi tubuh (mis. Proses penyakit, kehamilan, kelumpuhan)
  3. Perubahan fungsi kognitif
  4. Ketidaksesuaian budaya, keyakinan atau sistem nilai
  5. Transisi perkembangan
  6. Gangguan psikososial
  7. Efek tindakan / pengobatan (mis . pembedahan, kemoterapi, terapi radiasi)

Gejala dan Tanda Mayar :

  1. Subjektif
  2. Mengungkapkan kecacatan/kehilangan bagian tubuh
  3. Objektif
  4. Kehilangan bagian tubuh
  5. Fungsi / struktur tubuh berubah / hilang

Gejala dan Tanda Minor :

  1. Subjektif
  2. Tidak mau mengungkapkan kecacatan / kehilangan bagian tubuh
  3. Mengungkapkan perasaan negatif tentang perubahan tubuh
  4. Mengungkapkan kekhawatiran pada penolakan / reaksi orang lain
  5. Mengungkapkan perubahan gaya hidup
  6. Objektif
  7. Menyembunyikan / menunjukkan bagian tubuh secara berlebihan
  8. Menghindari melihat dan / atau menyentuh bagian tubuh
  9. Fokus berlebihan pada perubahan tubuh
  10. Respon nonverbal pada perubahan dan persepsi tubuh
  11. Fokus pada penampilan dan kekuatan masa lalu
  12. Hubungan sosial berubah

Kondisi klinis terkait :

  1. Mastektomi
  2. Amputasi
  3. Jerawat
  4. Parut atau luka bakar yang terlihat
  5. Obesitas
  6. Hiperpigmentasi pada kehamilan
  7. Gangguan psikiatrik
  8. Program terapi neoplasma
  9. Alopecia chemically induced.
  10. Hambatan Mobilitas Fisik (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017, hal. 124).

Definisi : keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri.

Penyebab :

  1. Kerusakan integritas struktur tulang
  2. Perubahan metabolisme
  3. Ketidakbugaran fisik
  4. Penurunan kendali otot
  5. Penurunan massa otot
  6. Penurunan kekuatan otot
  7. Keterlambatan perkembangan
  8. Kekakuan sendi
  9. Kontraktur
  10. Malnutrisi
  11. Gangguan muskuloskeletal
  12. Gangguan neuromuskular
  13. Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia
  14. Efek agen farmakologis
  15. Program pembatasan gerak
  16. Nyeri
  17. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
  18. Kecemasan
  19. Gangguan kognitif
  20. Keengganan melakukan pergerakan
  21. Gangguan sensoripersepsi

Gejala dan Tanda Mayor

  1. Subjektif
  2. Mengeluh sulit menggerakan ekstremitas
  3. Objektif
  4. Kekuatan otot menurun
  5. Rentang gerak (ROM) menurun

Gejala dan Tanda Minor

  1. Subjektif
  2. Nyeri saat bergerak
  3. Enggan melakukan pergerakan
  4. Merasa cemas saat bergerak
  5. Objektif
    1. Sendi kaku
    2. Gerakan tidak terkoordinasi
    3. Gerakan terbatas
    4. Fisik lemah

Kondisi Klinis Terkait :

  1. Stroke
  2. Cedera medula spinalis
  3. Trauma
  4. Fraktur
  5. Osteoarthritis
  6. Oestemalasia
  7. Keganasan
  8. Resiko Ketidakberdayaan (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017, hal. 224).

Definisi : persepsi bahwa tindakan seseorang tidak akan mempengaruhi hasil secara signifikan; persepsi kurang kontrol pada situasi saat ini atau yang akan datang.

Faktor Resiko :

  1. Perjalanan penyakit yang berlangsung lama atau tidak dapat diprediksi
  2. Harga diri rendah yang berlangsung lama
  3. Status ekonomi rendah
  4. Ketidakmampuan mengatasi masalah
  5. Kurang dukungan sosial
  6. Penyakit yang melemahkan secara progresif
  7. Marginalisasi sosial
  8. Kondisi terstigma
  9. Penyakit terstigma
  10. Kurang terpapar informasi
  11. Kecemasan

Kondisi Klinis Terkait :

  1. Diagnosis yang tidak terduga atau baru
  2. Peristiwa traumatis
  3. Diagnosis penyakit kronis
  4. Diagnosis penyakit terminal
  5. Rawat inap.

 

  1. Intervensi

Pada asuhan keperawatan Filariasis intervensi yang muncul antara lain :

  1. Nyeri kronis

Definisi : pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial.

Tujuan : menunjukkan nyeri: efek merusak, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada):

  1. Gangguan performa peran
  2. Gangguan konsentrasi
  3. Gangguan perawatan diri
  4. Gangguan pola tidur
  5. Kehilangan selera makan

Kriteria evaluasi :

  1. Pasien akan menyatakan secara verbal pengetahuan tentang cara alternatif untuk redakan nyeri
  2. Pasien akan melaporkan bahwa tingkat nyeri pasien dipertahankan pada skala nyeri 0-10
  3. Pasien akan tetap produktif ditempat kerja atau sekolah
  4. Pasien akan melaporkan menikmati aktivitas senggang
  5. Pasien akan melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
  6. Pasien akan mengenali faktir-faktor yang meningkatkan nyeri dan melakukan tindakan pencegahan nyeri
  7. Menggunakan pereda nyeri analgesik dan nonanalgesik secara tepat

Pengkajian

  1. Kaji dan dokumentasi efek jangka penjang penggunaan obat
  2. Penatalaksanaan nyeri (NIC)

Pantau tingkat kepuasan pasien terhadap manajemen nyeri pada interfal tertentu.

Tentukan dampak pengaman nyeri pada kualitas hidup (misalnya tidur, selera makan, aktivitas, kognisi, alam perasaan, hubungan, kinerja, dan tanggung jawab peran)

Penyuluhan untuk pasien /keluarga

  1. Beri tahu pasien bahwa peredaan nyeri secara total tidak akan dapat dicapai

Aktivitas kolaboratif

  1. Adakah pertemuan multidisipliner untuk merencanakan asuhan keperawatan pasien
  2. Manajemen nyeri (NIC)

Pertimbangkan rujukan untuk pasien, keluarga, dan orang terdekat pasien ke kelompok pendukung atau sumber-sumber lain, bila perlu (Wilkinson & Ahern, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, 2013, hal. 537).

  1. Hipertermia

Definisi : peningkatan suhu tubuh diatas rentang normal.

Tujuan: Pasien akan menunjukkan Termoregulasi, yang dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut (sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan atau tidak ada gangguan) :

  1. Peningkatan suhu kulit
  2. Hipertemia
  3. Dehidrasi
  4. Mengantuk

Pasien akan menunjukkan Termoregulasi, yang dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut (sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem, berat,   sedang, ringan atau tidak ada gangguan) :

  1. Berkeringat saat panas
  2. Denyut nadi radialis
  3. Frekuensi pernapasan

Kriteria hasil :

Pasien dan Keluarga akan :

Menunjukkan metode yang tepat untuk mengukur suhu

Menjelaskan tindakan untuk mencegah atau meminimalkan peningkatan suhu tubuh

Melaporkan tanda dan gejala dini Hipertermia

Bayi akan :

Tidak mengalami gawat napas, gelisah, atau letargi

Menggunakan sikap tubuh yang dapat mengurangi panas

Pengkajian Keperawatan :

  1. Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan suhu lingkungan
  2. Pantau hidrasi (misalnya, turgor kulit, kelembapan membran mukosa)

Penyuluhan untuk Pasien / Keluarga

  1. Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali secara dini hipertermia (misalnya,sengatan panas,dan keletihan akibat panas)
  2. Ajarkan indekasi keletihan akibat panas dan tindakan kedaruratan yang diperlukan, jika perlu.

Aktifitas Kolaboratif

  1. Berikan obat antipiretik, jika perlu
  2. Gunakan matras dingin dan mandi air hangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh, jika perlu (Wilkinson & Ahern, 2013, hal. 390).

 

 

  1. Gangguan eliminasi urine

Definisi : pola fungsi perkemihan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan eliminasi dan dapat ditingkatkan.

Tujuan: menunjukkan eliminasi urine, yang membuktikan oleh indikator berikut (sebutkan 1-5 : gangguan ekstern , berat, sedang, ringan, atau tidak ada gangguan):

  1. Identifikasi dorongan berkemih
  2. Mengosongkan kandung kemih secara tuntas
  3. pola eliminasi
  4. Asuhan cairan adekuat

Kriteria Evaluasi :

Pasien akan:

Mendeskripsikan rencana untuk meningkatkan fungsi perkemihan

Memiliki urine residu pasca-berkemih >100-200 ml

Tetap terbebas dari infeksi saluran kemih

Memiliki asupan haluaran urine 24 jam yang seimbang

Melaporkan jumlah dan karakteristik urine yang normal

Menunjukkan pengetahuan yang adekuat tentang obat yang memengaruhi

fungsi perkemihan

Mengalami eliminasi urine normal

Pengkajian :

  1. Identifikasi dan dokumentasikan pola pengosongan kandung kemih
  2. Kumpulkan data tentang penggunaan obat resep dan obat nonresep

Penyuluhan untuk Pasien / Keluarga :

  1. Beri informasi tentang fungsi perkemihan normal
  2. Beri informasi tentang kebutuhan cairan, berkemih, teratur, ddl (Wilkinson & Ahern, 2013, hal. 841).
  3. Gangguan Citra Tubuh

Definisi : konfusi pada gambaran mental fisik diri seseorang.

Tujuan :

  1. Gangguan citra tubuh berkurang yang dibuktikan oleh selalu menunjukkan adaptasi dengan ketunadayaan Fisik, penyesuaian Psikososial: Perubahan Hidup, Citra Tubuh positif, tidak mengalami keterlambatan dalam perkembangan Anak, dan Harga diri positif
  2. Menunjukkan Citra Tubuh, yang dibuktikan oleh indikator

Kriteria hasil :

  1. Mengidentifikasi kekuatan personal
  2. Mengenali dampak situasi pada hubungan personal dan gaya hidup
  3. Mengenali perubahan aktual pada penampilan tubuh
  4. Menunjukkan penerimaan penampilan
  5. Menggambarkan perubahan aktual pada fungsi tubuh

Pengkajian :

  1. Kajian dan dokumentasikan respons verbal dan non verbal pasien terhadap tubuh pasien
  2. Identifikasi mekanisme koping yang biasa digunakan pasien

Penyuluhan untuk Pasien / Keluarga :

  1. Ajarkan tentang cara merawat dan perawat diri, termasuk komplikasi kondisi medis.

Aktivitas Kolaboratif :

  1. Rujukan kelayanan sosial untuk merencanakan perawatan dengan pasien dan keluarga
  2. Rujukan pasien untuk mendapat terapi fisik untuk latihan kekuatan dan fleksibilitas, membantu dalam perpindahan tempat dan ambulasi, atau pengguanaan prostesis
  3. Tawarkan untuk menghubungi sumber-sumber komunikasi yang tersedia untuk pasien/keluarga
  4. Rujuk ke tim interdisipliner untuk klien yang memiliki kebutuhan kompleks (misalnya, komplikasi pembedahan) (Wilkinson & Ahern, 2013, hal. 69).
  5. Hambatan mobilitas Fisik

Definisi : keterbatasan dalam, penggerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih .

Tujuan : memperhatikan mobilitas, yang dibuktikan oleh indikator berikut (sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami gangguan) :

  1. Keseimbangan
  2. Koordinasi
  3. Performa posisi tubuh
  4. Pergerakan sendi dan otot
  5. Berjalan
  6. Bergerak dengan mudah.

Kriteria Evaluasi :

  1. Memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar dengan pengawasan
  2. Meminta bantuan untuk aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri dengan alat bantu
  3. Menyangga berat badan
  4. Berjalan dengan menggunakan langkah-langkah yg benar
  5. Berpindah ke kursi atau kursi roda
  6. Menggunakan kursi roda secara efektif.

Pengkajian :

  1. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan dirumah dan kebutuhan terhadap peralatan pengobatan yang tahan lama
  2. Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas
  3. Ajarkan dan bantu pasien dalam proses berpindah
  4. Rujuk keahli terapi fisik untuk program latihan
  5. Berikan penguatan positif selama aktivitas
  6. Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan (Wilkinson & Ahern, 2013, hal. 472).
  7. Resiko Ketidakberdayaan

Definisi : persepsi bahwa tindakan individu tidak akan memengaruhi hasil secara bermakna : persepsi kurang dapat mengendalikan situasi saat ini atau yang akan terjadi.

Tujuan : menunjukkan partisipasi dalam pengambilan keputusan tentang perawatan kesehatan, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan mengidentifikasi proritas hasil kesehatan.

Menggunakan teknik penyelesaian masalah untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Kriteria Evaluasi :

  1. Mengungkapkan secara verbal tentang segala perasaan ketidakberdayaan
  2. Mengidentifikasi tindakan yang berada dalam kendalinya
  3. Menghubungkan ketiadaan kendala dengan tindakan
  4. Mengungkapkan secara verbal kemampuan untuk melakukan tindakan yang diperlukan
  5. Melaporkan dukungan yang adekuat dari orang terdekat, taman-teman dan tetangga
  6. Melaporkan waktu, keuangan pribadi, dan asuransi kesehatan yang memadai
  7. Melaporkan ketersediaan alat, bahan, pelayanan, dan alat transportasi.

Pengkajian :

  1. Peningkatan harga diri (NIC) :

Tentukan lokus kontrol pasien

Tentukan kepercayaan diri pasien terhadap keputusannya sendiri

Pantau tingkat harga diri sepanjang waktu, apabila perlu

  1. Fasilitasi Tanggung Jawab Diri (NIC) :

Pantau tingkat tanggung jawab yang diemban pasien

Tentukan apakah pasien memiliki pengetahuan yang adekuat tentang kondisi perawatan kesehatan

Aktivitas Kolaboratif :

  1. Adakan suatu konferensi multidisiplin untuk mendiskusikan dan mengembangkan rutinitas perawatan pasien (Wilkinson & Ahern, 2013, hal. 581).

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aziz, M. (2013). Panduan Pelayanan Medik. jakarta: EGC.

Kunoli, F. J. (2012). Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis. Jakarta: Trans Info Media.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction.

Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Jakarta: Medical.

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia . Jakarta: DPP PPNI.

Sudoyo dkk. (2010). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing.

Wilkinson, J. M. (2013). BUKU SAKU Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Wilkinson, J. M. (2013). BUKU SAKU Diagnosis Keperawatan EDISI 9. Jakarta: EGC.

Zainuddin. (2014). Panduan Praktik Klinis . jakarta.

Posted in Keperawatan Medikal Bedah | Leave a comment

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN TYPOID

BAB 1
PENDAHULUAN

 

 

  1. Latar Belakang

Types abdominalis adalah infeksi akut pada saluran pencernaan  yang disebabkan oleh salmonella typihi. Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang disebabkan oleh salmonella parathipy A, B, dan C, tanda dan gejala penyakit tersebut hampir sama tetapi manifestasi klinis paratipoid lebih ringan (Firdaus, 2012, hal. 67).

Penelitian yang dilakukan oleh khan, dkk 2013 menyatakan bahwa demam typoid endemik di india, asia tenggara, afrika, timur tengah, amerika selatan, dan amerika tengah disebabkan oleh pasokan air bersih yang adekuat. Pakistan merupakan negara endemik demam typoid dan penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor 4, sebanyak 573,2 per 100.000 penduduk terserang demam typoid, yang sebagian besar menyerang anak usia pra sekolah (1-5 tahun), sedangakan di india di laporkan sebanyak 340,1 per 100.000 penduduk menderita demam typoid. CDC melaporkan kejadian demam typoid pada warga amerika serikat terjadi karena warganya mengunjungi negara india. Di indonesia, kejadian demam typoid mencapai 148,7 per 100.000 penduduk (Marni, 2016, hal. 14).

Penyakit demam typoid dikenal dengan nama lain tifus abdominalis, typoid fever, atau enterik fever. Penularan penyakit ini biasanya terjadi karena kontaminasi makanan dan minuman denagn rute fekal-oral. Penyakit ini banyak terjadi dimasyarakat yang kumuh, lingkungan padat, penyediaan air bersih yang tidak adekuat, dan sanitasi yang buruk, serta hygine masing-masing penduduknya kurang memadai dan tidak memenuhu syarat kesehatan (Marni, 2016, hal. 14).

Penyakit typhus abdominallis sangat cepat penularanya yaitu melalui fekal-oral. Oleh karena itu kita harus memperhatikan pentingya mencuci tangan setelang buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman. Hal ini terutama penting bagi orang yang pekerjaannya sebagai penjamah makanan. Bukan dari segi harga, tapi dari susunan menu, kehigienisan dan sanitasi makanan (Firdaus, 2012, hal. 71).

 

 

 

 

  1. Batasan Masalah

Pada pembahasan ini hanya membatasi konsep teori penyakit dan konsep asuhan keperawatan pada klien Typoid.

  1. Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan demam typoid?

 

  1. Tujuan
  1. Tujuan Umum

Mahasiswa dapat mengetahui dan mencegah terjadinya demam tifoid serta mengimplementasikan asuhan keperawatan demam thypoid di lapangan.

  1. Tujuan Khusus
  2. Untuk mengetahui pengertian demam typoid.
  3. Untuk mengetahui dan memahami etiologi demam typoid.
  4. Memahami manisfestasi klinis demam typoid.
  5. Memhami dan mengetahui patofisiologi dan pathway demam typoid.
  6. Untuk mengetahui komplikasi demam typoid.
  7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari demam typoid.
  8. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari demam typoid.
  9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan demam typoid.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

  1. KONSEP PENYAKIT
  2. Definisi

Penyakit tipes atau typoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri bernama Salmonella Typhii.  Salmonella Typhii hidup didalam badan manusia, dimana kuman ini dtemukan didalam pembuluh darah dan saluran pencernaan penderita tersebut (Khrisna, 2015, hal. 47).

Menurut (Muttaqin & Sari, 2011, hal. 488) demam tifoid atau sering disebut dengan tifus abdominalis adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi.

Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Typoid merupakan penyakit infeksi akut pada pembuluh darah dan saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan hanya terdapat pada badan manusia.

  1. Etiologi

Penyebab penyakit typoid adalah Salmonella Typhosa, yang mempunyai ciri basil negatif yang bergerak dengan bulu getar tidak bersepora, mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu antigen O (somatik, terdiri zat kompleks lipoposakarida), antigen H (flgella), dan antigen Vi. Dalam serum pasien, terdapat zat anti (aglutinin) terhadp ketiga macam antigen tersebut (Susilaningrum dkk, 2013, p. 152)

  1. Tanda dan gejala

Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 178) beberapa gejala yang muncul pada penderita tifoid diantaranya:

  1. Gejala pada anak : inkubasi 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari.
  2. Demam meninggi pada akhir minggu pertama.
  3. Demam turun pada minggu keempat, kecuali demam tidak tertangani demam akan menyebabkan syok, stupor dan koma.
  4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
  5. Nyeri kepala, nyeri perut.
  6. Kembung, mual, muntah, diare, konstipasi.
  7. Pusing, bradikardi, nyeri otot.
  8. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merang serta tremor).
  9. Hepatomegali, slenomegali.
  10. Gangguan mental berupa samnolen.
  11. Delirium atau psikosis.

 

  1. Patofisiologi

Kuman salmonella typhi yang masuk ke saluran gastrointertinal akan di telan oleh sel-sel fagosit ketika masuk melewati mukosa dan oleh makrofag yang ada di dalam lamina propia. Sebagian dari Salmonella typhi ada yang masuk ke usus halus mengadakan invaginasi ke jaringan limfoid usus halus (plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Kemudian Salmonella typhi masuk melalui folikel  limpa ke saluran limpatik dan sirkulasi darah sistemik sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia pertama-tama menyerang sistem retikulo endotelial (RES) yaitu:hati, limpa, dan tulang, kemudian selanjutnya mengenai seluruh organ di dalam tubuh antara lain sistem saraf pusat, ginjal dan jaringan limpa. Usus yang terserang tifus umunya ileum distal, tetapi kadang bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dihinggapi. Pada mulanya plakat peyer penuh dengan fagosit, membesar, menonjol dan tampak seperti infiltrat atau hiperplasia di mukosa usus. Pada ahir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini lebih besar di ileum dari pada di kolon sesuai dengan ukuran plak peyer yang ada di sana. Kebanyakan tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa. Setelah penderita sembuh, biasanya ulkus membaik tanpa tanpa meninggalkan jaringan parut dan fibrosis (Muttaqin & Sari, 2011, hal. 489)

.

 

 

 

 

 

 

Pathway

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 181).

  1. Komplikasi

Menurut (Sudoyo dkk, 2010, hal. 2801-2802) typoid suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat tejadi beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam typoid yaitu:

  1. Komplikasi intestinal: perdarrahan ussu, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.
  2. Komplikasi ekstra intestinal.
  3. Komplikasi kardiovaskuler: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.
  4. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trobositopenia, KID, trombosis.
  5. Komplikasi paru: pneumunia, empiema, pleuritis.
  6. Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
  7. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefrietis.
  8. Komplikasi tulang: osteomielitis, priastitis, spondilitis, artritis.
  9. Kompliksi neuropsikiatrik/typoid toksik.

 

  1. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
  2. Pengkajian
  3. Identitas

Sering ditemukan pada anak diatas satu tahun. Pada laki-laki dan perempuan (Susilaningrum dkk, 2013, p. 153)

  1. Status kesehatan saat ini
  2. Keluhan utama pasien

Pasien  mengeluh  lemas, tidak nafsu makan, juga tidak brgairah untuk beraktivitas, dan  pasien juga mengeluh demam tinggi pada malam hari sedangkan pada siang harinya demam turun kurang lebih 3 minggu (Marni, 2016, hal. 19).

  1. Alasan masuk rumah saikit

Pasien  mengatakan lemas, tidak nafsu makan, juga tidak brgairah untuk beraktivitas, dan  pasien juga mengeluh demam tinggi pada malam hari sedangkan pada siang harinya demam turun (Marni, 2016, hal. 19).

  1. Riwayat penyakit sekarang

Pasien mulai demam kurang lebih 3 minggu, tidak berselera makan, mual, muntah, lemas, pasien tidak mengalami pembesaran hati dan limpa, terdapat gangguan kesadaran, tidak terdapat komplikasi misalnya perdarahan, perforasi, peritonitis (Marni, 2016, hal. 19).

  1. Riwayat kesehatan terdahulu
  2. Riwayat penyakit sebelumnya

Pasien mengatakan sbelumnya tidak pernah menglami penyakit yang sama, pasien juga mengatakan sebelumnya tidak pernah masuk rumah sakit dan sampai di rawat (Susilaningrum dkk, 2013, hal. 153).

  1. Riwayat penyakit keluarga

Pasien mengatakan anggotanya keluarganya tidak ada yang pernah atau mengalami sakit yang sama (Susilaningrum dkk, 2013, hal. 153).

  1. Pemeriksaan fisik
  2. Keadaan umum
  3. Kesadaran

Pada fase awal penyakit biasanya tidak didapatkan adanya perubhan. Pada fase lanjut, secara umum pasien terlihat sakit berat dan sering didapatkan penurunan tingkat kesadaran (apatis,delirium) (Muttaqin & Sari, 2011, hal. 491).

  1. Tanda – tanda vital :

Pada fase 7-14 harididapatkan suhu tubuh meningkat 39-41ºC pada malam hari dan biasanya turun pada pagi hari. Pada pemeriksaan nadi didapat penurunan frekuensi nadi (bradikardi relatif) (Muttaqin & Sari, 2011, hal. 491).

 

  1. Body system
  2. Sistem pernapasan

Sistem pernapasan biasanya tidak didapatkan adanya kelainan, tetapi akan mengalami perubahan apabila terjadi respons akut dangan gejala bentuk kering. Pada beberapa kasus berat bisa didapatkan adanya komplikasi tanda dan gejala pneumonia (Muttaqin & Sari, 2011, hal. 491).

  1. Sistem kardiovaskuler

Sistem kardiovaskuler biasanya tidak didapatkan adanya kelainan. Akan tetapi, pada beberapa kasus yang berat bisa didapatkan tanda dan gejala miokarditis dan tromboflebitis. (Sudoyo dkk, 2010, hal. 2802)

 

  1. Sistem persyarafan

Pada  pasien dehidrasi berat akan menyebabkan penurunan perfusi serebral dengan manisfestasi sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran (Muttaqin & Sari, 2011, hal. 491).

  1. Sistem perkemihan :

Pada kondisi berat didapatkan penurunan urine output respons dari penurunan curah jantung (Muttaqin & Sari, 2011, hal. 491).

  1. Sistem pencernaan

Didapatkan perut kembung (meteorismus), bisa terjadi konstipasi dapat juga diare atau normal, hati dan limpa membesar disetai nyeri pada perabaan (Nursalam, 2013, hal. 153).

  1. Sistem integumen

Didapatkan kulit kering, turgor kulit menurun, pucat, roseola (bintik merah pada leher, punggung dan paha) (Muttaqin & Sari, 2011, hal. 492).

  1. Sistem muskuluskeletal

Respon sistemik akan menyebabkan malaise, kelemahan fisik, dan di dapatkan nyeri otot ekstremitas (Muttaqin & Sari, 2011, hal. 492).

  1. Sistem endokrin

Pada pasien dengan typoid biasanya mengalami demam atau hipertermi karena kuman masuk kealiran darah,  mengeluarkan endotoksin sehingga terjadi kerusakan sel yang akhirnya merangsang pelepasan zat efirogen dan  mempengaruhi pusat termugulator di hipitamus (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 181)

  1. Sistem Reproduksi

Pada sistem reproduksi dengan pasien typoid terjadi penurunan gairah seksual. Karena hal ini disebabkan pasien typoid tubuhnya lemas, tidak brgairah untuk beraktivitas, dan  pasien juga demam tinggi (Marni, 2016, hal. 19).

  1. Sistem pengindraan

Didatkannya ikterus pada sklera pada kondisi berat (Muttaqin & Sari, 2011, hal. 491).

 

 

 

  1. Sistem imunitas

Pada pasien typoid biasanya didapatkanya splenomegali karena kuman masuk melalui pembuluh limfe dan menginvansi jaringan limpoid (Marni, 2016, hal. 15).

 

  1. Pemeriksaan penunjang

Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 179) pemerikasaan penujang demam typoid sebagai berikut:

  1. Pemeriksaan darah perifer lengkap

Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukosit dapat terjadi walaupun tanda disertai infeksi skunder.

  1. Pemeriksan SGOT dan SGPT.

SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus.

  1. Pemeriksaan Uji Widal.

Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri salmonella typhii. Uji Widal dimaksudkan untuk menetukan adanya aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh salmonella typhi maka penderita membuat antiodi (aglutinin).

  1. Kultur

Kultur darah : bisa positif pada minggu pertama

Kultur urine : bisa psitif pada mingu kedua

Kultur feses : bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga.

  1. Anti Salmonella typhi IgM

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendekteksi secara dini infeksi akut salmonella typhi, karean antibodi IgM  muncul pada hari ke-3 dan 4 terjadinya demam.

  1. Penatalaksanaan
  2. Istirahat dan perawatan.

Tirah baring dan perawatan prfesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya ditempat seperti makan, minum mandi, buang air kecil, buang air besar akan membantu dan mempercapat masa penyembuhan. (Sudoyo dkk, 2010, hal. 2800).

  1. Diet dan terapi penunjang

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam typoid, kerena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Dimasa lampau demam typoid diberikan diet bubur saring. Bubur saring tersebut ditunjukkan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Dan ada beberapa penelitian lagi menunjukkan bahwa penderita demam typoid diberikan diet makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam typoid (Sudoyo dkk, 2010, hal. 2800).

  1. Pemberian antimikroba

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam typoid adalah sebagai berikut:

  1. Kloramfenikol
  2. Tiamfenikol
  3. Efektifitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol.
  4. Ampisilin dan amoksilin
  5. Sepalosporin generasi ketiga.
  6. Golongan fluorokuinolon seperti:
  • Norfloksasin
  • Siprofloksasin
  • Ofloksasin
  • Perfloksasin
  • Fleroksasim
  1. Azitromizin(Sudoyo dkk, 2010, hal. 2081).

 

 

 

 

  1. Diagnosa keperawatan
  2. Hipertermi (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017, p. 284).

Definisi : suhu tubuh meningkat diatas rentan normal tubuh.

Penyebab

  1. Dehidrasi
  2. Terpapar lingkungan panas
  3. Proses penyakit(mis. Infeksi, kanker)
  4. Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan
  5. Peningkatan laju metabolisme
  6. Respon trauma
  7. Aktivitas berlebih
  8. Penggunaan inkubator

Gejala tanda mayor

Subjektif
Tidak tersedia

Objektif

  1. Suhu tubuh diatas nilai normal

Gejala tanda minor

Subjektif
Tidak tersedia

Objektif

  1. Kulit merah
  2. Kejang
  3. Takikardi
  4. Takipnea
  5. Kulit terasa hangat

Kondisi klinis yang terkait

  1. Proses infeksi
  2. Hipertiroid
  3. Stroke
  4. Dehidrasi
  5. Trauma
  6. Prematuritas

 

  1. Defisit nutrisi (PPNI, 2017, hal. 56).

Definisi: asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme

Penyebab

  1. Ketidakmampuan menelan makanan
  2. Ketidakmampuan mencerna makanan
  3. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien
  4. Peningkatan kebutuhan metabolisme
  5. Faktor ekonomi (mis. Finansial tidak mencukupi)
  6. Faktor psikologis (mis. Stres, keengganan untuk makan)

Gejala dan faktor mayor

Subjektif

Tidak tersedia

Objektif

  1. Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  1. Cepat kenyang setelah makan
  2. Kram/nyeri abdomen
  3. Nafsu makan menurun

Objektif

  1. Bising usus hiperaktif
  2. Otot pengunyah lemah
  3. Otot menelan lemah
  4. Membran mukosa pucat
  5. Sariawan
  6. Serum albumin turun
  7. Rambut rontok berlebihan
  8. Diare

Kondisi klinis terkait

  1. Stroke
  2. Parkinson
  3. Mobius syndrome
  4. Cerebral palsy
  5. Cleft lip
  6. Celft palate
  7. Amvotropic lateral sclerosis
  8. Luka bakar
  9. Kanker
  10. Infeksi
  11. AIDS
  12. Penyakit Crohn’s

 

  1. Hipovolemia (PPNI, 2017, hal. 64).

Definisi: penurunan volume cairan intravaskular, interstisial, dan atau intraselular.

Penyebab

  1. Kehilangan cairan aktif
  2. Kegagalan mekanisme regulasi
  3. Peningkatan permeabilitas kapiler
  4. Kekurangan intake cairan
  5. Evaporasi

Gejala dan tanda mayor

Subjektif

Tidak tersedia

Objektif

  1. Frekuensi nadi meningkat
  2. Nadi teraba lemah
  3. Tekanan darah menurun
  4. Tekanan nadi menyempit
  5. Turgor kulit menurun
  6. Membran mukosa kering
  7. Volume urin menurun
  8. Hematokrit meningkat

 

 

Gejala dan tanda minor

Subjektif

  1. Merasa lemah
  2. Mengeluh haus

Objektif

  1. Pengisian vena menurun
  2. Status mental berubah
  3. Suhu tubuh meningkat
  4. Konsentrasi urin meningkat
  5. Berat badan turun tiba-tiba

Kondisi klinis terkait

  1. Penyakit Addison
  2. Trauma/perdarahan
  3. Luka bakar
  4. AIDS
  5. Penyakit crohn
  6. Muntah
  7. Diare
  8. Kolitis ulseratif
  9. Hipoalbuminemia

 

  1. Nyeri akut (PPNI, 2017, hal. 172).

Definisi : pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan

Penyebab

  1. Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma)
  2. Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan)
  3. Agen pencedera fisisk (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, latihan fisik berlebihan)

Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

Tidak tersedia

 

Objektif

  1. Tampak meringis
  2. Bersikap protektif (mis. Waspada posisimenghindari nyeri)
  3. Gelisah
  4. Frekuensi nadi meningkat
  5. Sulit tidur

Gejal dan Tnada Minor

Subjektif

Tidak tersedia

Objektif

  1. Teraknan darah meningkat
  2. Pola nafas berubah
  3. Nafsu makan berubah
  4. Proses berfikir terganggu
  5. Menarik diri
  6. Berfokus pada diri sendiri
  7. Diaforesis

Kondisi Klinis Terkait

  1. Kondisi pembedahan
  2. Cidera traumatis
  3. Infeksi
  4. Sindrom koroner akut
  5. Glaukoma

 

  1. Konstipasi (PPNI, 2017, hal. 113).

Definisi : penurunan defekasi yang disertai pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas serta feses kering dan banyak

Penyebab

Fisiologis

  1. Penurunan mortilitas gastrointestinal
  2. Ketidakadekuatan pertumbuhan gigi
  3. Ketidakcukupan diet
  4. Kitakcukupan asupan serat
  5. Ketidakcukup asupan cairan
  6. Aganglionik (mis. Penyakit Hircsprung)
  7. Kelemahan otot abdomen

Psiologis

  1. Konfusi
  2. Depresi
  3. Gangguan emosional

Situasional

  1. Perubahan kebiasaan makan (mis. Jenis makanan, jadwal makan)
  2. Ketidak adekuatan toileting
  3. Aktivitas fisik harian kurang dari yang dianjurkan
  4. Penyalahgunaan laktasif
  5. Efek agen farmakologis
  6. Ketidakteraturan kebiasaan defekasi
  7. Kebiasaan menahan dorongan defekasi
  8. Perubahan lingkungan

Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

  1. Defekasi kurang dari 2 kali seminggu
  2. Pengeluaran feses lama dan sulit

Objektif

  1. Feses keras
  2. Peristaltik usus menurun

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

  1. Mengejan saat defekasi

Objektif

  1. Distensi abdomen
  2. Kelemahan umum
  3. Teraba massa pada rektal

Kondisi Klinis Terkait

  1. Lesi/cidera pada medula spinalis
  2. Spina bifida
  3. Stroke
  4. Sklerosis multipel
  5. Penyakit parkinson
  6. Demensia
  7. Hiperparatiroidisme
  8. Hipoparatiroidisme
  9. Ketidakseimbangan elektrolit
  10. Hemoroid
  11. Obesitas
  12. Pasca operasi obstruksi bowel
  13. Kehamilan
  14. Pembesaran prostat
  15. Abses rektal
  16. Fisura anorektal
  17. Striktura anorektal
  18. Prolaps rektal
  19. Ulkus rektal
  20. Rektokel
  21. Tumor
  22. Penyakit hircsprung
  23. Impaksi feses

 

  1. Intervensi
  2. Hipertermi
  3. Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam terjadi penurunan suhu tubuh.
  4. Kriteria Hasil :
  5. Termogulasi : keseimbangan antara produksi panas, penigkatan panas, dan kehilangan panas.
  6. Termogulasi: Neonatus: keseimbangan antara produksi panas, penigkatan panas, dan kehilangan panas selama 28 hari pertama kehidupan.
  7. Tanda – tanda vital : nilai suhu denyut nadi, frekuensi pernapasan, dan tekenan darah dalam normal.
  8. Intervensi (NIC)

Aktivitas keperawatan

  1. Pantau aktivitas kejang
  2. Pantau dehidrasi (misalnya, turgor kulit, kelembapan membran mukosa)
  3. Pantau tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi pernafasan
  4. Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan suhu lingkungan.

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Ajarkan psien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali secara dini hipertermia (misalnya, sengatan panas, dan keletihan akibat panas
  2. Regulasi suhu (NIC) : ajarkan indikasi keletihan akibat panas dan tindakan kedaruratan yang diperlukan.

Regulasi suhu (NIC)

  1. Pantau dan laporkan tanda atau gejala hipotermia serta hipertermia

Aktivitas kolaboratif

  1. Regulasi suhu (NIC)
  2. Berikan obat antipiretik , jika perlu
  3. Gunakan matras dingin dan mandi air hangan untuk mengatasi suhu tubuh (Wilkinson & Ahern, 2013, hal. 390-393)

 

  1. Ketidakseimbangan Nutrisi
  2. Tujuan : dalam 3×24 jam pasien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat
  3. Kriteria hasil:
  4. Membuat pilihan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi individu
  5. Menunjukkan peningkatan BB

 

  1. Intervensi (NIC)

Aktivitas keperawatan

  1. Teneukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan.
  2. Pantau nilai laboratorium, khusunya transferin, albumin, dan elektrolit.
  3. Menejemen nutrisi (NIC) :
  • Ketahui makanan kesukaan pasien
  • Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
  • Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
  • Timbang pasien pada interval yang tepat.

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Ajrakan metode untuk perencanaan makan.
  2. Ajarkan pesien atau keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal.
  3. Menejeman nutri (NIC) : beriakn informasi yang tepat tentang keseimbangan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.

Aktivitas kolaboratif

  1. Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein pasien yang menglami ketidakadekuatan asupan protein atau kehilangan protein (misal, pasien anoreksia nervosa atau pasien penyakit glomerular/dialisis peritoneal)
  2. Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan, makanan pelengkap, pemberian makanan melaui selang, atau nutrisi perenteral total agar asupan kalori yang adekuat dapat dipertahankan.
  3. Rujuk ke dokter untuk menentukan penyebab gangguan nutrisi.
  4. Rujuk ke program gizi di komunitas yang tepat, jika pasie tidak dapat membeli atau menyiapkan mkanan yang adekuat.
  5. Manajemen nutrisi (NIC): tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukan, jumlah kalori dan jenis zat gizi yang dibutuhkan unntuk memenuhi kebutuhan nutrisi (khususnya untuk pasien dengan kebutuhan energi tinggi, seperti pasien pasca bedah dan luka bakar trauma demam, dan luka) (Wilkinson & Ahern, 2013, hal. 503-508)

 

  1. Risiko kekurangan volume cairan
  2. Tujuan: kekurangan volume ciran akan teratasi, dibuktikan oleh keseimbangan ciran, keseimbangan elektrolit dan asam-basa, hidrasi yang adekuat, dan status nutrisi: asupan makanan dan cairan adekuat
  3. Kriteria hasil:

Pasien akan:

  1. Memiliki konsentrasi urine yang normal. Senutkan nilai dasar dan berat jenis urine
  2. Memiliki hemoglonin dan hematocrit dalam batas normal untuk pasien
  3. Memiliki tekanan vena sentral dan pulmonal dalam rentang yang diharapkan
  4. Tidak mengalami haus yang tidak normal
  5. Memiliki keseimbangan asupan dan haluaran yang seimbang dalam waktu 24 jam
  6. Menampilkan hidrasi yang baik (membrane mukosa lembap, mampu berkeringat)
  7. Memiliki asupan cairan oral dan atau intravena yang adekuat
  8. Intervensi NIC

Aktivitas keperawatan

  1. Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
  2. Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan yang tinggi elektrolit (misalnya, diare, drainase luka, pengisapan nasogastric, diaphoresis, dan drainase ileostomi)
  3. Pantau perdarahan (misalnya, periksa semua secret dari adanya darah nyata atau darah samar)
  4. Idektifikasi faktor pengaruh terhadap bertambah buruknya dehidrasi (misalnya, obat-obatan, demam, stress, dan program pengobatan)
  5. Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan (misalnya, kadar hematocrit, BUN, albumin, protein total, osmolalitas serum, dan berat jenis urine)
  6. Kaji adanya vertigo atau hippotensi postural
  7. Kaji orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu
  8. Cek arahan lanjut klien untuk menentukan apakah penggantian cairan pada pasien sakit terminal tepat dilakukan
  9. Manajemen cairan NIC

Pantau status hidrasi (misalnya, kelembapan, membrane mukosa, keadadekuatan nadi, dan tekanan darah ortostatik)

Timbang berat badan setiap hari dan pantau kecenderunagnnya

Pertahankan kekauratan catatan asupan dan haluaran

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. Anjurkan pasien untuk menginformasikan perawat bila haus

aktivitas kolaboratif

  1. Laporkan dan catat haluaran kurang dari…..ml
  2. Laporkan haluaran lebih dari…..ml
  3. Laporkan abnormalitas elektrolit
  4. Manajemen cairan NIC:

Atur ketersediaan produk darah untuk transfuse, bila perlu

Berikan ketentuan penggantian nasogastric berdasarkan haluaran, sesuai dengan kebutuhan

Berikan terapi IV, sesuai program (Wilkinson & Ahern, 2013, hal. 309-314)

 

  1. Nyeri akut
  2. Tujuan : memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut (sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu): Mengenali awitan nyeri, menggunakan tindakan pencegahan,m elaporkan nyeri yang dapat dikendalikan.
  3. Kriteria Hasil :
  4. Mampu mengenali serangan nyeri.
  5. Mampu mendeskripsikan penyebab nyeri.
  6. Menggunakan teknik pencegahan nyeri, khususnya teknik non farmakologis.
  7. Melaporkan perubahan gejala nyeri secara periodic kepada tenaga kesehatan.
  8. Menunjukkan gejala terhadap nyeri (keluhan, menangis, gerakan lokalisir,ekspresi wajah, gangguan istirahat tidur, agitasi, iritabilitas meningkat, diaphoresis, penurunan konsentrasi, kehilangan nafsu makan, dan nausea).
  9. Tanda-tanda vital dalam rentang normal (respiratory rate, apical heart rate, radial heart rate, tekanan darah).
  10. Menunjukkan perubahan dampak dari nyeri (disruptive effects), antara lain penurunan konsentrasi, penurunan motivasi, gangguan tidur, kerusakan mobilitas fisik, gangguan pemenuhan ADL, dan kerusakan eliminasi urine dan alvi.
  11. Nursing Interventions Classification (NIC) :

Aktifitas Keperawatan

  1. Kaji nyeri (lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, dan faktor presipitasi dari nyeri).
  2. Kaji pengetahuan klien tentang nyeri serta pengalaman sebelumnya.
  3. Kaji dampak dari nyeri (gangguan tidur, penurunan nafsu makan, gangguan aktifitas, penurunan konsentrasi).
  4. Beri lingkungan yang nyaman kepada klien.
  5. Ajari klien pola manajemen nyeri.
  6. Ajari klien penggunaan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri.
  7. Lakukan teknik PCA (Patient Controlled Analgesia) sesuai kebutuhan.
  8. Anjurkan klien untuk istirahat yang cukup untuk mengurangi intensitas nyeri.
  9. Monitoring kepuasan pasien atas pelaksanaan manajemen nyeri.

 

Penyuluhan pasien/keluarga

  1. Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obatt khusus yang harus di minum, frequensi pemberian, kemungkinan efek samping, kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus saat mengonsumsi obat tersebut (misalnya pembatasan aktivitas fisik, pembatasan diet) dan nama orang yang harus dihubungi bila mengalami nyeri membandel.
  2. Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai.
  3. Informasikan kepada asien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dn tawarkan strategi koping yang disarankan.
  4. Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesic narkotik atau opioid (misalnya, risiko ketergantungan atau overdosis)
  5. Managemen Nyeri (NIC) : berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur.
  6. Managemen Nyeri (NIC) : ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya, umpan-balik biologis, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), hypnosis, relaksasi, imajinasi terbimbing, terapi musik, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat atau dingin, dan masase) sebelum, setelah, dan jika memungkinkan, selama aktivitas yang menimbulkan nyeri, sebelum nyeri terjadi atau meningkat dan bersama penggunaan tindakan peredaran nyeri yang lain.

 

Aktifitas kolaboratif

  1. Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien di masa lalu (Wilkinson & Ahern, 2013, hal. 530-535)

 

  1. Konstipasi

Tujuan: konstipasi menurun

Kriteria hasil: mampu mengeluarkan feses tanpa bantuan, feses lunak dan berbentuk.

Aktivitas keperawatan

  1. Dapatkan data dasar mengenai progran defekasi,aktivitas, pengobatan, dan pola kebiasaan pasien.
  2. Kaji dan dokumentasikan:
  • Warna dan konsistensi feses peratma pascaoprasi
  • Frekuensi, warna dan konsistensi feses
  • Keluarnya flatus
  • Adanya impaksi
  • Ada atau tidak ada bising usus dan distensi abdomen keempat kuadran abdomen
  1. Manajemen konstipasi (NIC):
  • pantau tandan dan gejala ruptur usus atau peritonitis
  • identifikasi faktor(misalnya, pengobatan, tirah baring, dan diet) yang dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap konstipasi

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

  1. informasikan kepada pasien pasien kemungkinan konstipasi akibat obat
  2. instrusikan pasien mengenai bantuan eleminasi defekasi yang dapat meningkatkan pola defekasi yang optimal di rumah.
  3. Ajrkan kepada pasien tentang efek diet (misalnnya, cairan dan sera) pada eliminasi
  4. Instrusikan pasien tentang konstipasi penggunaan laktasif jangka panjang
  5. Tekankan pentingnya menghindari mengejan selama defekasi untuk mencegah perubahan pada tanda vital, lambung atau perdarahan
  6. Manajemen konstipasi/impaksi (NIC) :jelaskan etiologi masalah dan rasional tindakan kepada klien

Aktivitas kolaboratif

  1. Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkakatkan seratdan cairan dalam diet.
  2. Minta program dari dokter untuk memberikan bantuan eliminasi, seperti diet tinggi serat,pelunak feses, enema, dan laktasif.
  3. Pelaksanaan konstipasi/impaksi (NIC) :
  • Konsultasi dengan dokter tentang penurunan atau peningkatan frekuensi bising usus
  • Sarankan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter jika konstipasi atau impaksi terjadi (Wilkinson & Ahern, 2013, hal. 152-157)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Firdaus, K. J. (2012). Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis. Jakarta: CV. TRANS INFO MEDIA.

Khrisna, A. (2015). Mengenali keluhan Anda. Jakarta: Informasi Media.

Marni. (2016). Asuhan Keperwatan Anak Pada Penyakit Tropis. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal:Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Nuratif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplkasi Asuhan kepeperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Yogyakarta: Mediaction.

Nursalam. (2013). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta : Salemba Medika.

Widodo, D. (2010). Ilmu Penyakit Dalam jilid 3 eds 5. Jakarta: Internal Publishing.

Wilkinson, J. M. (2011). Diagnosis Keperawatan edisi 9. Jakarta: EGC.

Posted in Keperawatan Medikal Bedah | Leave a comment