MATERI PEMBELAJARAN TRANSKULTURAL NURSING 2017

Berikut ini adalah bahan perkuliahan mata kuliah transkultural nursing. Silahkan download pada link berikut

  1. Pertemuan 1 Paradigma dan konsep keperawatan transkultural dan Konsep Keperawatan transkultural dalam keperawatan 1-konsep-dan-para-digma-transkultural-nursing 1-konsep-teori-keperawatan-transkultural
  2. Pertemuan 2 Dilema IPTEK dalam  Perspektif transkultural Nursing dan Konsep Budaya dan Antropologi Kesehatan 2-antropologi-kesehatan-2 2-antropologi-kesehatan 2-dilema-iptek
  3. Pertemuan 3 Tradisi Keagamaan dan Kepercayaan yang berhubungan dengan 3-nutrisi-dalam-konteks-transkultural-nursingpeningkatan kesehatan dan Nutrisi dalam Perspektif transkultural Nursing
  4. Pertemuan 4 Konsep Keperawatan Transkultural Leinenger’s Teory 4-keperawatan-transkultural-leininger 4-leiningers-teory
  5. Pertemuan 5 Proses keperawatan transkultural 5-proses-keperawatan-transkultural-nursing 5-proses-keperawatan
Posted in Transkultural Nursing | Leave a comment

MATERI KULIAH KEPERAWATAN JIWA

Silahkan download materi kuliah Keperawatan Jiwa Pada Link Berikut

  1. Pertemuan 1 hubungan-perawat-klien, komunikasi-terapeutik, konsep-jiwa-1, konsep-jiwa-2
Posted in Keperawatan Jiwa | Leave a comment

TUGAS KEPERAWATAN TRANSKULTURAL

Berikut ini adalah tugas mata kuliah Keperawatan Transkultural dikumpulkan terakhir tanggal 16 maret 2017 dengan acc pembimbing

KASUS KELOMPOK 1

 An. A 8 tahun, suku Padang, Beragama islam diantarkan orangtuanya ke Rumah Sakit Harapan Kita dengan keluhan nyeri pada tulang keringnya. Bp. A mengatakan nyerinya timbul akibat An. A memanjat pohon yang dikeramatkan di desanya, kemudian menurut kepercayaan orang sekitar An. A terjatuh akibat didorong oleh penunggu pohon keramat tersebut. Menurut cerita yang dikatakan Bp.A saat anaknya Jatuh langsung dibawa kedukun, lalu An. A dipijit menggunakan batang sereh yang dibakar dengan bacaan doa-doa. Bp. A mengatakan An. A dilarang mengkonsumsi makanan seperti ikan, daging, dan telur. An. A juga tampak lemah dan lesu ,pada saat diberikan Penkes Bp. A masih terlihat kebingungan.

KASUS KELOMPOK 2

 Keluarga Tn. X (30 Tahun) mempunyai istri Ny. H (26 th) Anak Y (4 tahun) dan Anak K (1 tahun) serta Ny. C (50 th) . Tn. X berasal dari suku Sunda, sedangkan Ny. H berasal dari suku Jawa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Hasil wawancara dengan keluarga, anaknya sudah diimunisasi lengkap sambil menunjukkan kartu sehat. Selama ini anaknya hanya sakit batuk pilek biasa, cukup dibelikan obat umum dan sembuh. Tetapi akhir-akhir ini keluarga sedikit pusing memikirkan ibunya , karena 3 bulan yang lalu ibunya dinyatakan positif kencing manis (DM), ibu hanya dibawa ke alternatif, tidak kontrol teratur ke puskesmas dan dibelikan obat ke toko terdekat untuk mengurangi gejala, misalnya nyeri di kakinya. Hasil observasi jari kaki ibu C sebelah kiri terdapat luka kecil sudah 3 minggu, belum sembuh. Pemeriksaan glukotest 200 mg/dl

KASUS KELOMPOK 3

 Klien bernama Ny.M, berusia 25 tahun, beragama Islam, pendidikan terakhir SMA. Klien adalah seorang ibu rumah tangga. Suami klien Tn. W berumur 29 tahun, pendidikan terakhir SMK, bekerja di pabrik. Suku jawa, dan keluarga klien terutama mertua klien sangat kentaldengan adat dan budaya jawa, Tn. W adalah satu-satunya tulang punggung keluarga. Selain tinggal dengan Tn. W klien juga tinggal dengan mertuanya. Seminggu yang lalu klien telah melahirkan anak pertamanya berjenis kelamin perempuan dengan berat 2500 gram, panjang 50 cm secara Sectio caesarea atas indikasi panggul sempit, sehingga di perut klien terdapat luka jahitan Klien melahirkan di rumah Sakit Suka Sehat. Klien merasa melahirkan adalah suatu anugerah, namun klien merasa belum menjadi seorang wanita yang sempurna, karena tidak dapat melahirkan secara normal. Setelah pulang dari rumah sakit, atas perintah mertuanya setiap pagi klien jalan-jalan dan membawa bayinya untuk berjemur mulai pukul 05.00-08.00 WIB dengan tujuan agar bayi hangat. Serta setelah melahirkan ibu diharuskan memakai stagen, penggunaan stagen ini dipercaya akan membuat perut tidak  bergelambir dan perut kembali langsing. Hal tersebut sudah di lakukan secara turun-temurun. Klien datang ke poli KIA RS. Suka Sehat untuk kontrol. Dari hasil kontrol di poli KIA RS.Suka Sehat, luka klien dinyatakan mengalami penyembuhan yang lambat. Luka bekas section caesaria masih terlihat basah. Setelah mendengar pernyataan dari dokter, klien terlihat Cemas. Kemudian dilakukan pengka!ian oleh perawat untuk mengetahui penyebab luka yang tidak kunjung mengering. Dari hasil pengkajian ternyata didapatkan hasil bahwa klien mempunyai pantangan makan ikan dan telur karena ditakutkan akan menimbulkan rasa gatal pada luka bekas jahitan, klien tidak boleh minum air terlalu banyak karna akan membuat luka tetap basah / luka tidak cepat kering serta klien menggunakan stagen yang terlalu kencang. Perawat memberikan penjelasan bahwa makanan yang menjadi pantangan klien adalahmakanan yang mengandung tinggi protein yang baik untuk proses penyembuhan luka. Makanan pantangan tersebut dapat digantikan dengan sumber protein lain seperti tahu, tempe, sari kedelai, kadang-kadangan, dll dan air merupakan bagian penting dari struktur sel dan jaringan sehingga dapat mempercepat pembentukan jaringan baru dalam proses penyembuhan luka. Sementara dokter memberikan rawat luka dan terapi oral antibiotik. Klien menganggap anjuran perawat bertentangan dengan keyakinannya.

KASUS KELOMPOK 4

Klien nama Ny.W, 30 tahun, Islam, SMP, petani, suku jawa, diagnosis medis abortus. Klien hamil 12 minggu, klien sangat mengharapkan memiliki anak. Klien mengeluh mengalami pendarahan dan perut mulas-mulas selama 3 hari. Klien dianjurkan untuk kuratase. Klien memeriksakan kehamilannya di dukun dan berencana akan melahirkan si sana. Klien mendapati informasi tentang kehamilan dari mertua. Klien masih percaya pada sihir dan hal-hal gaib, mereka percaya banyak anak banyak rejeki dan percaya bahwa abortus merupakan perbuatan dosa. Setelah di diagnosis abortus, klien tidak menerima dan merencanakan akan berobat kedukun. Mereka menganggap hal itu akibat ibunya melanggar pantangan dalam menyediakan sesaji. Hubungan kekerabatan yang lebih dominan adalah pihak laki-laki, pola pengambilan keputusan di pihak laki-laki. Pantangan makanan jantung pisang, gurita, dan air kelapa sedangkan suaminya pantang memanjat pohon kelapa atau pohon yang tinggi. Aturan dan kebijakan di atur oleh pemuka agama dan para santri. Ada tabungan yang sudah di persiapkan oleh keluarga untuk persalinan ini.

KASUS KELOMPOK 5

Seorang pasien laki-laki berusia 54 tahun dibawa kesebuah rumah sakit karena pingsan pada saat rapat di kantornya. Setelah diperiksa dilaboratorium, ditemukan kadar gula darahnya mencapai 450mg/DL. Pasien telah tiga tahun didiagnosis menderita diabetes melitus tipe II. Dalam tiga tahun,pasien telah beberapa kali dirawat karena kondisi badannya sering lemah. Pasien yang mengalami kegemukan telah dianjurkan untuk melakukan diet dan olahraga namun pasien mengatakan kesulitan mengatur makanannya karena kebiasaan budaya jawanya makan makanan yang manis.

 KASUS KELOMPOK 6

Yanto, seorang perawat di bangsal bedah VIP sebuah Rumah Sakit Islam dikotanya. Hari ini dia shift pagi dan merawat kamar A sampai dengan kamar E. Tuan Burhan (50 tahun), seorang pasien post operasi ileus hari ke-3 yang dirawat di kamar C. Tuan Burhan sudah  diperkenankan makan makanan lunak ( bubur ) dengan lauk-pauk dan sayur yang  juga lunak.

Siang ini, Yanto mengantar makan siang kekamar C, kamar Tuan Burhan. Sesampainya disana, Tuan Burhan mengatakan bahwa beliau ingin sekali makan bubur yang disiram kuah kaldu babi. Beliau mengatakan bahwa itu makanan favoritnya.

Yanto terkejut mendengar pernyataan Tuan Burhan. Dia mengatakan bahwa dia tidak bisa memenuhi permintaan Tuan Burhan karena instansi tempat dia bekerja adalah sebuah Rumah Sakit Islam. Tetapi Tuan Burhan tetap memaksa dan meminta ijin untuk membawa sendiri makanan tersebut dari rumah. Tetapi Yanto tetap tidak mengizinkan. Bahkan tanpa menjelaskan apapun, dia meninggakan Tuan Burhan sendiri. Keesokan harinya, Tuan Burhan minta pulang paksa dengan alasan perlakuan perawat yang kurang menyenangkan.

Untuk format tugas silahkan download link berikut

  1. format-tugas-asuhan-keperawatan-transkultural
  2. proses-keperawatan-transkultural-nursing
Posted in Transkultural Nursing | Leave a comment

CONTOH PROPOSAL TAK SOSIALISASI

Silahkan download pada link berikut untuk contoh proposal TAKS proposal-tak-sosialisasi

Posted in Keperawatan Jiwa | Leave a comment

Perkuliahan Keperawatan Transkultural Nursing

Berikut adalah jadual perkuliahan transkultural Nursing jadual-pembelajaran-tk-2017

Posted in Ilmu Keperawatan Gerontik, Transkultural Nursing | Leave a comment

MATERI TAK

Berikut adalah beberapa materi tentang TAK. Silahkan Download Link Berikut

  1. TAK Sosialisasi tak-sosialisasi
  2. TAK Halusinasi tak-halusinasi
  3. TAK Orientasi realita tak-orientasi-realita
  4. TAK Peningkatan Harga Diri tak-peningkatan-harga-diri
  5. TAK Penyaluran Energi tak-penyaliran-energi
  6. TAK Stimulasi Sensori tak-stimulasi-sensori
Posted in Keperawatan Jiwa | Leave a comment

Kuliah Keperawatan Jiwa

Proses pembelajaran Keperawatan Jiwa di Jadualkan tanggal 20 Pebruari-10 Maret 2017. dilanjutkan dengan Ujian Akhir Semester pada hari senin tanggal 13 Maret 2017 dan remidial tanggal 15 maret 2o16. (Untuk download jadual dan format tugas klik link berikut jadual-keperawatan-jiwa-2017)

Dalam proses pembelajaran mahasiswa terbagi menjadi

Kelompok tugas asuhan keperawatan:

 

  • Kelompok 1 Asuhan keperawatan pasien dengan masalah kecemasan
  • Kelompok 2 Asuhan keperawatan pasien dengan masalah kehilangan dan berduka
  • Kelompok 3 Asuhan keperawatan pasien dengan masalah gangguan konsep diri
  • Kelompok 4 Asuhan keperawatan pasien dengan masalah HDR (Harga diri rendah)
  • Kelompok 5 Asuhan keperawatan pasien dengan masalah isolasi sosial
  • Kelompok 6 Asuhan keperawatan pasien dengan masalah halusinasi
  • Kelompok 7 Asuhan keperawatan pasien dengan masalah resiko perilaku kekerasan
  • Kelompok 8 Asuhan keperawatan pasien dengan masalah defisit perawatan diri
  • Kelompok 9 Asuhan keperawatan pasien dengan masalah regimen terapetik

 

Kelompok tugas Terapi Aktifitas Kelompok

  1. Kelompok 1 TAK sosialisasi
  2. Kelompok 2 TAK stimulasi sensori
  3. Kelompok 3 TAK orientasi realita
  4. Kelompok 4 TAK stimulasi persepsi : halusinasi
  5. Kelompok 5 TAK peningkatan harga diri
  6. Kelompok 6 TAK penyaluran energi

Semua tugas dikonsulkan kepada pembimbing sesuai dengan pengampu pada jadual dan dikumpulkan terakhir pada tanggal 23 Pembruari 2017 dengan disertai tanda tangan ACC dosen pengampu.

Krikilan 17 Pebruari 2017

PJMK Jiwa

 

Eko Prabowo

Posted in Keperawatan Jiwa | Leave a comment

ASUHAN KEPERAWATAN INFARK MYOCARD AKUT

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN INFARK MIOKARD AKUT (IMA)

KONSEP MEDIS
A.    Definisi Infark Miokard Akut (IMA)
Infark miokard akut adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh karena sumbatan pada arteri koroner. Sumbatan akut terjadi oleh karena adanya aterosklerotik pada dinding arteri koroner sehingga menyumbat aliran darah ke jaringan otot jantung. (M. Black, Joyce, 2014 : 343)
Infark Miokard Akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu. (M. Black, Joyce, 2014: 343)
B.    Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab IMA paling sering adalah oklusi lengkap atau hampir lengkap dari arteri coroner, biasanya dipicu oleh ruptur plak arterosklerosis yang rentan dan diikuti pleh pembentukan trombus. Ruptur plak dapat dipicu oleh faktor-faktor internal maupun eksternal. (M.Black, Joyce, 2014 : 343)
Factor internal antara lain karakteristik plak, seperti ukuran dan konsistensi dari inti lipid dan ketebalan lapisan fibrosa , serta kondisi bagaimana plak tersebut terpapar, seperti status koagulasi dan derajat vasokontriksi arteri. Plak yang rentan paling sering terjadi pada area dengan stenosis kurang dari 70 % dan ditandai dengan bentuk yang eksentrik dengan batas tidak teratur; inti lipid yang besar dan tipis ;dan pelapis fibrosa yang tipis. (M. Black, Joyce, 2014: 343)
Factor eksternal berasal dari aktivitas klien atau kondisi eksternal yang memengaruhi klien. Aktivitas fisik berat dan stress emosional berat, seperti kemarahan, serta peningkatan respon system saraf simpatis dapat menyebabkan rupture plak. Pada waktu yang sama, respon system saraf simpatis akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Peneliti telah melaporkan bahwa factor eksternal, seperti paparan dingin dan waktu tertentu dalam satu hari, juga dapat memengaruhi rupture plak. Kejadian coroner akut terjadi lebih sering dengan paparan terhadap dingin dan pada waktu –waktu pagi hari. Peneliti memperkirakan bahwa peningkatan respon system saraf simpatis yang tiba-tiba dan berhubungan dengan faktor-faktor ini dapat berperan terhadap ruptur plak. Peran inflamasi dalam memicu ruptur plak masih dalam penelitian. (M. Black, Joyce, 2014 : 343)
Apapun penyebabnya, ruptur plak aterosklerosis akan menyebabkan (1) paparan aliran darah terhadap inti plak yang kaya lipid, (2) masuknya darah ke dalam plak, menyebabkan plak membesar, (3) memicu pembentukan trombus, dan (4) oklusi parsial atau komplet dari arteri coroner.(M.Black, Joyce, 2014 :344)
Angina tak stabil berhubungan dengan oklusi parsial jangka pendek dari arteri coroner, sementara IMA berasal dari oklusi lengkap atau signifikan dari arteri coroner yang berlangsung lebih dari 1 jam. Ketika aliran darah berhenti mendadak, jaringan miokardium yang disuplai oleh arteri tersebut akan mati. Spasme arteri coroner juga dapat menyebabkan oklusi akut. Faktor risiko yang memicu serangan jantung pada klien sama untuk semua tipe PJK. (M.Black, Joyce, 2014 : 344)
C.     Patofisiologi
IMA dapat dianggap sebagai titik akhir dari PJK. Tidak seperti iskemia sementara yang terjadi dengan angina, iskemia jangka panjang yang tidak berkurang akan menyebabkan kerusakan ireversibel terhadap miokardium. Sel-sel jantung dapat bertahan dari iskemia selama 15 menit sebelum akhirnya mati. Manifestasi iskemia dapat dilihat dalam 8 hingga 10 detik setelah aliran darah turun karena miokardium aktif secara metabolic. Ketika jantung tidak mendapatkan darah dan oksigen, sel jantung akan menggunakan metabolisme anaerobic, menciptakan lebih sedikit adenosine trifosfat (ATP) dan lebih banyak asam laktat sebagai hasil sampingannya. Sel miokardium sangat sensitif terhadap perubahan pH dan fungsinya akan menurun. Asidosis akan menyebabkan miokarium menjadi lebih rentan terhadap efek dari enzim lisosom dalam sel. Asidosis menyebabkan gangguan sistem konduksi dan terjadi disritmia. Kontraktilitas juga akan berkurang, sehingga menurunkan kemampuan jantung sebagai suatu pompa. Saat sel miokardium mengalami nekrosis, enzim intraselular akan dilepaskan ke dalam aliran darah, yang kemudian dapat dideteksi dengan pengujian laboratorium. (M.Black, Joyce, 2014 :345)
Dalam beberapa jam IMA, area nekrotik akan meregang dalam suatu proses yang disebut ekspansi infark. Ekspansi ini didorong juga oleh aktivasi neurohormonal yang terjadi pada IMA. Peningkatan denyut jantung, dilatasi ventrikel, dan aktivasi dari system renin-angiotensin akan meningkatkan preload selama IMA untuk menjaga curah jantung. Infark transmural akan sembuh dengan menyisakan pembentukan jaringan parut di ventrikel kiri, yamg disebut remodeling. Ekspansi dapat terus berlanjut hingga enam minggu setelah IMA dan disertai oleh penipisan progresif serta perluasan dari area infark dan non infark. Ekspresi gen dari sel-sel jantung yang mengalami perombakan akan berubah, yang menyebabkan perubahan structural permanen ke jantung. Jaringan yang mengalami remodelisasi tidak berfungsi dengan normal dan dapat berakibat pada gagal jantung akut atau kronis dengan disfungsi ventrikel kiri, serta peningkatan volume serta tekanan ventrikel. Remodeling dapat berlangsung bertahun-tahun setelah IMA. (M.Black, Joyce,2014 : 345)
Lokasi IMA paling sering adalah dinding anterior ventrikel kiri di dekat apeks, yang terjadi akibat trombosis dari cabang desenden arteri coroner kiri. Lokasi umum lainnya adalah (1) dinding posterior dari ventrikel kiri di dekat dasar dan di belakang daun katup/ kuspis posterior dari katup mitral dan (2) permukaan inferior (diafragmantik) jantung. Infark pada ventrikel kiri posterior terjadi akibat oklusi arteri coroner kanan atau cabang sirkumfleksi arteri coroner kiri. Infark inferior terjadi saat arteri coroner kanan mengalami oklusi. Pada sekitar 25 % dari IMA dinding inferior, ventrikel kanan merupakan lokasi infark. Infark atrium terjadi pada kurang dari 5 %. Peta konsep menjelaskan efek selular yang terjadi selama infark miokard. (M.Black, Joyce, 2014 : 345)

Pathway

Sumber : Huda Nurarif, Kusuma, 2013 : 23)
D.    Manifestasi Klinis Infark Miokard Akut (IMA)
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan IMA berasal dari iskemia otot jantung dan penurunan fungsi serta asidosis yang terjadi. Manifestasi klinis utama dari IMA adalah nyeri dada yang serupa dengan angina pectoris tetapi lebih parah dan tidak berkurang dengan nitrogliserin. Nyeri dapat menjalar ke leher, rahang, bahu, punggung atau lengan kiri. Nyeri juga dapat ditemukan di dekat epigastrium, menyerupai nyeri pencernaan. IMA juga dapat berhubungan dengan manifestasi klinis yang jarang terjadi berikut ini. (M.Black, Joyce, 2014 : 346)
a.    Nyeri dada, perut, punggung, atau lambung yang tidak khas.
b.    Mual atau pusing.
c.    Sesak napas dan kesulitan bernapas.
d.    Kecemasan, kelemahan, atau kelelahan yang tidak dapat dijelaskan
e.    Palpitasi, kringat dingin, pucat
Wanita yang mengalami IMA sering kali datang dengan satu atau lebih manifestasi yang jarang terjadi di atas. (M.Black, Joyce, 2014 : 346)
E.    Klasifikasi Infark Miokard Akut (IMA)
a. Infark Miokard Subendokardial
Infark Miokard Subendokardial terjadi akibat aliran darah subendokardial yang relatif menurun dalam waktu yang lama sebagai akibat perubahan derajat penyempitan arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi, perdarahan dan hipoksia (Rendy & Margareth, 2012 : 87).
b. Infark Miokard Transmural
Pada lebih dari 90% pasien infark miokard transmural berkaitan dengan trombosis koroner. Trombosis sering terjadi di daerah yang mengalami penyempitan arteriosklerosik. Penyebab lain lebih jarang di temukan (Rendy & Margareth, 2012 : 87).
F. Komplikasi Infark Miokard Akut (IMA)
Kemungkinan kematian akibat komplikasi selalu menyertai IMA. Oleh karena itu, tujuan kolaborasi utama antara lain pencegahan komplikasi yang mengancam jiwa atau paling tidak mengenalinya. (M.Black, Joyce, 2014 : 347)
Disritmia. Disritmia merupakan penyebab dari 40 % hingga 50 % kematian setelah IMA. Ritme ektopik muncul pada atau sekitar batas dari jaringan miokardium yang iskemik dan mengalami cedera parah. Miokardium yang rusak juga dapat mengganggu system konduksi, menyebabkan disosiasi atrium dan ventrikel (blok jantung). Supraventrikel takikardia (SVT) kadang kala terjadi sebagai akibat gagal jantung. Reperfusi spontan atau dengan farmakologis dari area yang sebelumnya iskemik juga dapat memicu terjadinya ventrikel disritmia. (M.Black, Joyce, 2014 ; 347)
Syok kardiogenik. Syok kardiogenik berperan hanya pada 9 % kematian akibat IMA, tetapi lebih dari 70 % klien syok meninggal karena sebab ini. Penyebabnya antara lain (1) penurunan kontraksi miokardium dengan penurunan curah jantung, (2) disritmia tak terdeteksi, dan (3) sepsis. (M.Black, Joyce, 2014 :347)
Gagal jantung dan edema paru. Penyebab kematian paling sering pada klien rawat inap dengan gangguan jantung adalah gagal jantung. Gagal jantung melumpuhkan 22 % klien laki-laki dan 46 % wanita yang mengalami IMA serta bertanggung jawab pada sepertiga kematian setelah IMA. (M.Black, Joyce, 2014 :347)
Emboli paru. Emboli paru (PE) dapat terjadi karena flebitis dari vena kaki panggul (trombosis vena) atau karena atrial flutter atau fibrilasi. Emboli paru terjadi pada 10 % hingga 20 % klien pada suatu waktu tertentu, saat serangan akut atau pada periode konvalensi. (M.Black, Joyce, 2014: 347)
Infark miokardum berulang. Dalam 6 tahun setelah IMA pertama, 18 % laki-laki dan 35 % wanita dapat mengalami IMA berulang. Penyebab yang mungkin adalah olahraga berlebih, embolisasi, dan oklusi trombotik lanjutan pada arteri coroner oleh atheroma. (M.Black, Joyce, 2014 : 347)
Komplikasi yang disebabkan oleh nekrosis miokardium. Komplikasi yang terjadi karena nekrosis dari miokardium antara lain aneurisme ventrikel, ruptur jantung (ruptur miokardium), defek septal ventrikel (VSD), dan otot papiler yang ruptur. Komplikasi ini jarang tetapi serius, biasanya terjadi sekitar 5 hingga 7 ahri setelah MI. Jaringan miokardium nekrotik yang lemah dan rapuh akan meningkatkan kerentanan terkena komplikasi ini. (M.Black, Joyce, 2014 : 347)
Perikarditis. Sekitar 28 % klien dengan MI akut transmural akan mengalami pericarditis  dini (dalam 2 hingga 4 hari). Area yang mengalami infark akan bergesekan dengan permukaan pericardium dan menyebabkan hilangnya cairan pelumas. Gesekan friksi pericardium dapat didengar di area prekardial. Klien mengeluh bahwa nyeri dada memburuk dengan gerakan, inspirasi dalam, dan batuk. Nyeri pericarditis akan mereda dengan duduk dan condong ke depan. (M.Black, Joyce, 2014 : 348)
Sindrom dressler (perikarditis akut). Sindrom dressler, suatu bentuk pericarditis, dapat terjadi paling akhir enam minggu hingga beberapa bulan setelah IMA. Walaupun agen penyebabnya tidak diketahui, diduga terjadi karena faktor autoimun. Klien biasanya datang dengan demam berlangsung satu minggu atau lebih, nyeri dadaperikardium, gesekan friksi pericardium, dan kadang kala pleuritis dengan efusi pleura. Ini merupakan fenomena yang akan sembuh sendiri dan tidak ada pengobatan yang telah diketahui. Terapi meliputi aspirin, prednisone, dan analgesic opioid untuk nyeri. Terapi antikoagulasi dapt memicu tamponade kordis dan harus dihindari pada klien ini. (M.Black, Joyce, 2014 : 348)

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
a. Identitas
Perlu ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, alamat, suku, agama, nomor register, pendidikan, tanggal MRS, serta pekerjaan yang berhubungan dengan stress atau sebab dari lingkungan yang tidak menyenangkan. Identitas tersebut digunakan untuk membedakan antara pasien yang satu dengan yang lain dan untuk mementukan resiko penyakit jantung koroner yaitu laki-laki umur di atas 35 tahun dan wanita lebih dari 50 tahun (William C Shoemarker, 2011 : 143)
b. Alasan Masuk Rumah Sakit
Penderita dengan infark miokard akut mengalami nyeri dada, perut, punggung, atau lambung yang tidak khas, mual atau pusing, sesak napas dan kesulitan bernapas. (Ni Luh Gede Y, 2011 : 94)
c. Keluhan Utama
Pasien Infark Miokard Akut mengeluh nyeri pada dada substernal, yang rasanya tajam dan menekan sangat nyeri, terus menerus dan dangkal. Nyeri dapat menyebar ke belakang sternum sampai dada kiri, lengan kiri, leher, rahang, atau bahu kiri. Nyeri miokard kadang-kadang sulit dilokalisasi dan nyeri mungkin dirasakan sampai 30 menit tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin (Ni Luh Gede Y, 2011 : 94)
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien infark miokard akut mengeluh nyeri pada bagian dada yang dirasakan lebih dari 30 menit, nyeri dapat menyebar samapi lengan kiri, rahang dan bahu yang disertai rasa mual, muntah, badan lemah dan pusing. (Ni Luh Gede Y, 2011 : 94)
e. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien infark miokard akut perlu dikaji mungkin pernah mempunyai riwayat diabetes mellitus, karena diabetes mellitus terjadi hilangnya sel endotel vaskuler berakibat berkurangnya produksi nitri oksida sehingga terjadi spasme otot polos dinding pembuluh darah.
Hipersenti yang sebagian diakibatkan dengan adanya penyempitan pada arteri renalis dan hipo perfusi ginjal dan kedua hal ini disebabkan lesi arteri oleh arteroma dan memberikan komplikasi trombo emboli (J.C.E Underwood, 2012 : 130)
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit jantung keluarga, diabetes mellitus, peningkatan kolesterol darah, kegemukan, hipertensi, yang beresiko diturunkan secara genetik berdasarkan kebiasaan keluarganya. (Ni Luh Gede Y, 2011 : 94)
g. Riwayat Psikososial
Rasa takut, gelisah dan cemas merupakan psikologis yang sering muncul pada klien dan keluarga. Hal ini terjadi karena rasa sakit, yang dirasakan oelh klien. Peubhan psikologis tersebut juga muncul akibat kurangnya pengetahuan terhadap penyebab, proses dan penanganan penyakit infark miokard akut. Hal ini terjadi dikarenakan klien kurang kooperatif dengan perawat. (Ni Luh Gede Y, 2011 : 94)
h. Pemeriksaan Fisik
1.  Keadaan Umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien IMA biasanya baik atau compos mentis (CM) dan akan berubah sesuai tingkatan gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf pusat. (Muttaqin, 2010:78)
2. Tanda-Tanda Vital
Didapatkan tanda-tanda vital, suhu tubuh meningkat dan menurun, nadi meningkat lebih dari 20 x/menit. (Huda Nurarif, Kusuma, 2015 : 25)
3.  Pemeriksaan Fisik Persistem
a. Sistem Persyarafan
Kesadaran pasien kompos mentis, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi. (Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
b. Sistem Penglihatan
Pada pasien infark miokard akut penglihatan terganggu dan terjadi perubahan pupil. (Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
c. Sistem Pernafasan
Biasanya pasien infark miokard akut mengalami penyakit paru kronis, napas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernapasan, bunyi napas tambahan (krekels, ronki, mengi), mungkin menunjukkan komplikasi pernapasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena romboembolitik pulmonal, hemoptysis. (Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
d.  Sistem Pendengaran
Tidak ditemukan gangguan pada sistem pendengaran(Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
e. Sistem Pencernaan
Pasien biasanya hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap makanan, mual muntah,perubahan berat badan, perubahan kelembaban kulit. (Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
f.  Sistem Perkemihan
Pasien biasanya oliguria, haluaran urine menurun bila curah jantung menurun berat. (Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
g.  Sistem Kardiovaskuler
Biasanya bunyi jantung irama tidak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun. (Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
h.  Sistem Endokrin
Pasien infark miokard akut biasanya  tidak terdapat gangguan pada sistem endokrin. (Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
i.  Sistem Muskuluskeletal
Biasanya pada pasien infark miokard akut terjadi nyeri, pergerakan ekstremitas menurun dan tonus otot menurun. (Huda Nurarif dan Kusuma,2015 : 25)
j. Sistem Integumen
Pada pasien infark miokard akut turgor kulit menurun, kulit pucat, sianosis. (Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
k. Sistem Reproduksi
Tidak ditemukan gangguan pada sistem pendengaran (Bararah dan Jauhar, 2013 : 124).
4. Pada pemeriksaan EKG
a. Fase hiperakut (beberapa jam permulaan serangan)
Elevasi yang curam dari segmen ST
Gelombang T yang tinggi dan lebar
VAT memanjang
Gelombang Q tampak
b. Fase perkembangan penuh (1-2 hari kemudian)
Gelombang Q patologis
Elevasi segmen ST yang cembung ke atas
Gelombang T yang terbalik (arrowhead)
c. Fase resolusi (beberapa minggu / bulan kemudian)
Gelombang Q patologis tetap ada
Segmen ST mungkin sudah kembali iseolektris
Gelombang T mungkin sudah menjadi normal
Pada pemeriksaan darah (enzim jantung CK & LDH)
a. CKMB berupa serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard creatinine kinase (CK) meninngkat pada 6-8 jam setelah awitan infark dan memuncak antara 24 & 28 jam pertama. Pada 2-4 hari setelah awitan AMI normal
b. Dehidrogenase laktat (LDH) mulai tampak pada serum setelah 24 jam pertama setelah awitan dan akan selama 7-10 hari
c. Petanda biokimia seperti troponin l (Tnl) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebihh baik dari pada CKMB. Troponin C, Tnl dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokard.
(Huda Nurarif dan Kusuma, 2015 : 25)
5. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaannya adalah mengembalikan aliran darah koroner untuk mnyelamatkan jantung dari infark miokard, membatasi luasnya infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung.
Pada prinsipnya, terapi pada kasus ini di tujukan untuk mengatasi nyeri angina dengan cepat, intensif dan mencegah berlanjutnya iskemia serta terjadinya infark miokard akut dan kematian mendadak. Oleh karena setiap kasus berbeda derajat keparahan atau rriwayat penyakitnya, maka cara terapi yang baik adalah individualisasi dan bertahap, dimulai dengan masuk rumah sakit (ICCU) dan istirahat total (bed rest). (Huda Nurarif dan Kusuma, 2015 : 25)
B.     Diagnosa Keperawatan
a.    Nyeri akut berhubungan dengan iskemia miokard akibat oklusi arteri koroner dengan hilang atau terbatasnya aliran darah ke arah miokardium dan nekrosis dari miokardium.
Definisi : pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the study of Pain) : awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
Batasan Karakteristik :
Perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernapasan, laporan isyarat, diaphoresis, perilaku distraksi (mis, berjalan mondarmandir mencari orang lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang), mengekspresikan perilaku (mis. Gelisah, merengek, menangis), masker wajah (mis. Mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu focus meringis), sikap melindungi area nyeri, focus menyempit (mis. gangguan persepsi nyeri, hambatan proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan), indikasi nyeri yang dapat diamati, perubahan posisi untuk menghindari nyeri, sikap tubuh melindungi, dilatasi pupil, melaporkan nyeri secara verbal, gangguan tidur.
Faktor yang Berhubungan :
Agen cedera (mis. biologis, zat kimia, fisik, psikologis)
b.    Penurunan curah jantung b.d perubahan initropik negative pada jantung karena iskemia, cedera, atau infark pada miokardium, dibuktikan oleh perubahan tingkat kesadaran, kelemahan, puisng, hilangnya nadi perifer, suara jantung abnormal, gangguan hemodinamik, dan henti jantung paru.
Definisi : Ketidakadekuatan darah yang dipompa oleh jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh
Batasan Karakteristik :
Perubahan frekuensi/irama jantung : aritmia, bradikardi, takikardi, perubahan EKG, palpitasi.
Perubahan preload : penurunan tekanan vena sentral (central venous pressure, CVP), penurunan tekanan arteri paru (pulmonary artery wedge pressure, PAWP), edema, keletihan, peningkatan CVP, peningkatan PAWP, distensi vena jugular, murmur, peningkatan berat badan
Perubahan afterload : kulit lembab, penurunan nadi perifer, penurunan resistansi vascular paru (pulmonary vascular resistence, PVR), penurunan resistansivaskular sistemik (sistemik vascular resistence, SVR), dyspnea, peningkatan PVR, peningkatan SVR. Oliguria, pengisian kapiler memanjang, perubahan warna kulit, variasi pada pembacaan tekanan darah.
Perubahan kontraktilitas : batuk, crackle, penurunan indeks jantung, penurunan fraksi ejeksi, ortopnea, dyspnea paroksimal nocturnal, penurunan LVSWI (left ventricular stroke work index), penurunan stroke volume index (SVI), bunyi S3, Bunyi S4
Perilaku/emosi : ansietas, gelisah
Faktor yang Berhubungan :
Perubahan afterload, perubahan kontraktilitas, perubahan frekuensi jantung, perubahan preload, perubahan irama, perubahan volume sekuncup
c.    Gangguan pertukaran gas yang b.d penurunan curah jantung yang ditunjukkan oleh sianosis, pengisian kapiler yang terganggu, penurunan tekanan oksigen arteri (PaO2), dan dyspnea.
Definisi : kelebihan atau deficit pada oksigenasi dan atau eliminasi karbon dioksida pada membrane alveolar kapiler.
Batasan Karakteristik :
pH darah arteri abnormal, pH arteri abnormal, pernapasan abnormal (mis. kecepatan, irama, kedalaman), warna kulit abnormal (msi. Pucat, kehitaman), konfusi, sianosis (pada neonatus saja), penurunan karbon dioksida, diaforesis, dyspnea, sakit kepala saat bangun, hiperkapnia, hipoksemia, hipoksia, iritabilitas, napas cuping hidung, gelisah, samnolen, takikardi, gangguan penglihatan.
Faktor yang berhubungan :
Perubahan membrane alveolar kapiler, ventilasi perfusi
d.    Ketakutan
Definisi : respon terhadap persepsi ancaman yang secara sadar dikenali sebagai sebuah bahaya.
Batasan Karakteristik :
Melaporkan isyarat/peringatan, melaporkan kegelisahan, melaporkan rasa takut, melaporkan penurunan kepercayaan diri, melaporkan ansietas, melaporkan kegembiraan, melaporkan peningkatan ketegangan, melaporkan kepanikan, melaporkan teror.
Kognitif : penurunan kemampuan belajar, penurunan kemampuan memecahkan masalah, penurunan produktivitas, mengidentifikasikan objek ketakutan, stimulasi diyakini merupakan ancaman.
Perilaku : perilaku menyerang, perilaku menghindar, impulsive, peningkatan kewaspadaan, focus menyempit pada sumber-sumber ketakutan.
Fisiologis : anoreksia, diare, mulut kering, dyspnea, letih, peningkatan keringat, peningkatan denyut nadi, peningkatan frekuensi napas, peningkatan tekanan darah sistolik, kaku otot, mual, muntah, pucat, dilatasi pupil.
Faktor yang Berhubungan :
Berasal dari luar (mis. kebisingan tiba-tiba, ketinggian, nyeri, penurunan dukungan fisik), Berasal dari dalam (neurotransmitter), kendala bebas, respon belajar (mis. conditioning, mencontoh dari atau identifikasi dengan orang lain), stimulus fobik, gangguan sensorik, berpisah dari sistem pendukung dalam situasi yang berpotensi menimbulkan stress (mis. rawat inap, prosedur rumah sakit), tidak familiar dengan pengalaman lingkungan.
e.    Konstipasi
Definisi : penurunan pada frekuensi normal defekasi yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses atau pengeluaran feses yang kering, keras dan banyak.
Batasan Karakteristik :
Nyeri abdomen, nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi otot, anoreksia, penampilan tidak khas pada lansia (mis. perubahan pada status metal, inkontinensia urinarius, jatuh yang tidak penyebabnya, peningkatan suhu tubuh), borbogirigmi, darah merah pada feses, perubahan pada pola defekasi, penurunan frekuensi, penurunan volume feses, distensi abdomen, rasa rektal penuh, rasa tekanan rektal, keletihan umum, feses keras dan berbentuk, sakit kepala, bising usus hiperaktif, bising usus hipoaktif, peningkatan tekanan abdomen, tidak dapat makan, mual, rembesan feses cair, nyeri pada saat defekasi, massa abdomen yang dapat diraba, adanya feses lunak seperti pasta di dalam rectum, perkusi abdomen pekak, sering flatus, mngejan pada saat defekasi, tidak dapat mengeluarkan feses, muntah.
Faktor yang Berhubungan :
Fungsional : kelemahan otot abdomen, kebiasaan mengabaikan dorongan defekasi, ketidakadekuatan toileting (mis. batasan waktu, posisi untuk defekasi, privasi), kurang aktivitas fisik, kebiasaan defekasi tidak teratur, perubahan lingkungan saat ini.
Psikologis : depresi, stress emosi, konfusi mental
Farmakologis : antasida mengandung aluminium, atikolinergik, antikonvulsan, antidepresan, agens antilipemik, garam bismuth, kasium karbonat, penyekat saluran kalsium, diuretic, garam besi, penyalahgunaan laksatif, agen antiinflamasi non steroid, opiate, fenotiazid, sedative, simpatomimemik
Mekanis : ketidakseimbangan elektrolit, kemoroid, penyakit hirschprung, gangguan neurologis, obesitas, opstruksi pasca bedah, kehamilan, pembesaran prostat, abses rektal, fisura anak rektal, struktur anak rektal, prolaps rektal, ulkus rektal, rektokel, tumor
Fisiologis : perubahan pola makan, perubahan makanan, penurunan motilitas traktus gastrointestinal, dehidrasi, ketidakadekuatan gigi geligi, ketidakadekuatan hygiene oral, asupan serat tidak cukup, asupan cairan tidak cukup, kebiasaan makan buruk
(Huda Nurarif, Kusuma, 2013 dan Bararah, Jauhar, 2013 : 245)
C.    Intervensi Keperawatan
a.    Nyeri akut
Tujuan :
1. Memperlihatkan pengendalian nyeri
2. Menunjukkan tingkat nyeri
Noc
1.    Tingkat Kenyamanan : Tingkat persepsi positif terhadap kemudahan fisik dan psikologis
2.    Pengendalian nyeri :Tindakan individu untuk mengendalikan nyeri
3.    Tingkat nyeri : Keparahan nyeri yang dapat diamati atau dilaporkan
Kriteria hasil
1.    Menunjukkan nyeri
2.    Menunjukkan tingkat nyeri
Intervensi NIC :
Aktivitas Keperawatan
Pengkajian
1.    Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian.
2.    Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 sampai 10 (0 = tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10 = nyeri hebat)
3.    Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh analgesic dan kemungkinan efek sampingnya.
4.    Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan respons pasien.
5.    Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata yang sesuai usia dan tingkatan perkembangan pasien.
6.    Manajemen Nyeri (NIC) :
Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.
Observasi isyarat non verbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang tidak mampu berkomunikasi efektif.
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
1.    Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus diminum, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping, kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus saat mengonsumsi obat tersebut (misalnya, pembatasan aktivitas, fisik, pembatasan diet), dan nama orang yang harus dihubungi bila mengalami nyeri membandel.
2.    Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai.
3.    Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan.
4.    Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau opioid (misalnya risiko ketergantungan atau overdosis)
5.    Manajemen Nyeri (NIC) : Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur.
6.    Manajemen Nyeri (NIC) :
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya, umpan balik biologis, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), hypnosis, relaksasi, imajinasi terbimbing, terapi music, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat atau dingin, dan masase) sebelum, setelah, dan, jika memungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan nyeri, sebelum nyeri terjadi atau meningkat dan bersama penggunaan tindakan peredaan nyeri yang lain.
Aktivitas Kolaboratif
1.    Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiat yang terjadwal (misalnya, setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA
2.    Manajemen Nyeri (NIC) :
Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat
Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri apsien di masa lalu.
Aktivitas Lain
1.    Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian nyeri dan efek samping
2.    Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif di masa lalu seperti, distraksi, relaksasi, atau kompres hangat/dingin
3.    Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman dan aktivitas lain untuk membantu relaksasi, meliputi tindakan sebagai berikut:
Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan relaksasi
Ganti linen tempat tidur, bila diperlukan
Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru, dengan sikap yang mendukung
Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang menyangkut aktivitas perawatan
4.    Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui televisi, radio, tape, dan interaksi dengan pengunjung
5.    Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan respons pasien terhadap analgesik (misalnya “Obat ini akan mengurangi nyeri Anda”)
6.    Eksplorasi perasaan takut ketagihan. Untuk meyakinakan pasien, tanyakan “jika tidak mengalami nyeri, apakah anda tetap membutuhkan obat ini ?”
7.    Manfaat Nyeri (NIC) :
Libatkan pasien dalam modalitas peredaan nyeri, jika memungkinkan
Kendalikan faktor lingkungan yang dapat memengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (misalnya suhu ruangan, pencahayaan, dan kegaduhan)
Pastikan pemberian analgesia terapi atau strategi nonfarmakologis sebelum melakukan prosedur yang menimbulkan nyeri
b.    Penurunan curah jantung b.d perubahan initropik negative pada jantung karena iskemia, cedera, atau infark pada miokardium, dibuktikan oleh perubahan tingkat kesadaran, kelemahan, puisng, hilangnya nadi perifer, suara jantung abnormal, gangguan hemodinamik, dan henti jantung paru.
Tujuan :
1.    Menunjukkan curah jantung yang memuaskan, dibuktikan oleh efektivitas pompa jantung
2.    Menunjukkan status sirkulasi, dibuktikan oleh indicator sebagai berikut : gangguan ekstrem berat, sedang, ringan atau tidak mengalami gangguan
Noc
1.    Tingkat keparahan kehilangan darah
2.    Efektivitas pompa jantung
3.    Status sirkulasi
4.    Perfusi jaringan : organ abdomen
5.    Status tanda vital
Kriteria hasil
1.    Menunjukkan curah jantung yang memuaskan, dibuktikan dengan keefektifan pompa jantung, status sirkulasi, perfusi jaringan (organ abdomen), dan perfusi jaringan (perifer)
2.    Menunjukkan status sirkulasi, dibuktikan denan indicator kegawatan.
Intervensi NIC
1.    Reduksi perdrahan : membatasi kehilangan volume darah selama episode perdarahan
2.    Perawatan jantung : membatasi komplikasi akibat ketidak seeimbangan antara suplai dan kbutuhan oksigen miokard pada pasien yang mengalami gejala kerusakan fungsi jantung.
3.    Perawatan jantung, akut : membatasi komplikasi untuk pasien yang sedang mengalami episode ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard yang mengakibaatkan kerusakan fungsi jantung .
4.    Promosi perfusi serebral : menngkatkan perfusi yang adekuat dan membatasi komplikassi untuk pasien yang mengalami atau beresiko mengalami ketidak adekuatan perfusi serebral.
5.    Perawatan sirkulasi : insufisiensi arteri : meningkatkan sirkulasi arteri.
6.    Perawatan sirkulasi : alat bantu mekanis : memberi dukungan temporer sirkulasi melalui penggunaan alat atau pompa mekanis.
7.    Perawatan sirkulasi : insuvisensi vena : meningkatkan sirkulasi vena
8.    Perawatan embolus : paru : membatasi komplikasi untuk pasien yang mengalami, atau beresiko mengalami sumbatan sirkulasi paru.
9.    Regulasi hemodinamik : mengoptimalkan frekuensi jantung, preload afterload, dan kontraktilitas.
Akivitas keperawatan
Pada umumnya tindakan keperawatan untuk diagnosis ini berfokus pada pemantauan tanda – tanda vital dan gejala penurunan curah jantung, pengkajian peyebab yang mendasari mis, hipovolemia, disritmia, pelksanaan protokol atau program dokter untuk mengatasi penurunan curah jantung, dan pelaksanaan tindakan dukungan, seperti perubahan posisi dan hidrasi.
Pengkajian
1.    Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, aanya sinosis, status pernfasan, dan status mental.
2.    Pantau tanda kelebihan cairan (misalnya, edema dependen, kenaika berat badan)
3.    Kaji toleransi aktivitas pasien dengan memerhatikan adanya awitan nafas pendek, nyeri, palpitasi atau limbung
4.    Evaluasi respon pasien terhadap terapi oksigen
5.    Kaji kerusakan kognitif
6.    Regulasi hemodinamik (NIC) :
Pantau fungsi pacemaker jika perlu
Pentau denyut perifer, pengisian ulang kapiler, dan suhu serta warna ektsremitas
Pantau asupan dan haluaran, haluaran urine dan berat badan pasien jika perlu
Pantau resistensi vaskuler  sistemik dan paru, jika perlu
Auskultasi suara paru terhadap bunyi crakle atau suara napas tambahan lainnya
Pantau dan dokumentasikan frekuensi jantung, irama dan nadi
Penyuluhan untuk pasien / keluarga
1.    Jelaskan tujuan pemberian oksigen per nasal kanul atau sungkup
2.    Instruksikan mengenai pemeliharaan keakuratan asupan dan haluaran
3.    Ajarkan penggunaan, dosis, frekuensi, dan efek samping obat
4.    Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan palpitasi dan nyeri, durasi,  faktor pencetus, daerah, kualitas, dan intensitas
5.    Instruksikan pasien dan keluarga dalam perencaan untuk perawatan di rumah, meliputi pembatasan aktifitas pembatasan diet, dan penggunaan alat terapeutik
6.    Berikan informasi tentang teknik penurunan stres, seperti biofeedback, relaksasi otot progresif, meditasi dan latihan fisik
7.    Ajarkan kebutuhan untuk menimbang berat badan setiap hari
Aktivitas kolaboratif
1.    Konsultasikan dengan dokter menyangkut parameter pemberian atau penghentian obat tekanan darah
2.    Berikan dan titrasikan obat antiaritmia, inotropik, nitrogliserin,dan fasodilator untuk memprtahankan kontraktilitas,preload dan afterload sesuai dengan program medis atau protocol
3.    Berikan anti koagulan untuk mencegah pembentukan trombus perifer, sesuai dengan program atau protocol
4.    Tingkatkan penurunan afterload (misalnya, dengan pompa balon intra aorta ) sesuai dengan program medis / protokol
5.    Lakukan perujukan ke perawat ke petugas sosial, maanajer kasus, atau layanan kesehatan komunitas dan layanan kesehatan di rumah
6.    Lakukan perujukan ke petugas sosial untuk engevaluasi kemampuan membayar obat yang di resepkan
7.    Lakukan perujukan ke pusat rehabiitasi jantung jika di perlukan
Aktivitas lain
1.    Ubah posisi klien ke posisi datar atau trendelenburg ketika tekanan darah pasien berada pada rentang lebih rendah dibandingkan dengan yang biasanya
2.    Untuk hipotensi yang tiba – tiba, berat atau lama, pasang akses intravena untuk pemberian cairan intravena atau obat untuk meningkatkan tekanan darah
3.    Hubungkan efek nilai laboratorium, oksigen, obat, aktivitas, ansietas dan / atau nyeri pada disritmia
4.    Jangan mengukur suhu dari rektum
5.    Ubah posisi pasien setiap dua jam atau pertahankan aktifitas lain yang sesuai  di butuhkan atau di butuhkan untuk menurunkan stasis sirkulasi perifer
6.    Regulasi hemodinamik (NIC)
7.    Minimalkan atau hilangkan stresor lingkungan
Pasang kateter urine,jika di perlukan.
c.    Gangguan pertukaran gas yang b.d penurunan curah jantung yang ditunjukkan oleh sianosis, pengisian kapiler yang terganggu, penurunan tekanan oksigen arteri (PaO2), dan dyspnea.
Tujuan :
1.    Gangguan pertukaran gas akan berkurang
2.    Status penapasan  : pertukaran gas tidak akan terganggu yang dibuktikan oleh indicator gangguan
3.    Status pernapasan : ventilasi tidak akan  terganggu yang dibuktikan oleh indicator gangguan
Noc
1.    Respons Alergi : Sistemik : keparahan  respon hipersensitivitas imun sistemik terhadap antigen lingkungan tertentu
2.    Keseimbangan Elektrolit dan Asam Basa : keseimbangan elektrolit dan non elektrolit dalam kompartemen intrasel dan ekstrasel tubuh
3.    Respon Ventilasi Mekanis : Orang Dewasa : Pertukaran alveolar dan perfusi jaringan yang disokong oleh ventilasi mekanis
4.    Status Pernapasan : Pertukaran Gas : Pertukaran CO2 atau O2 di alveoli untuk mempertahankan konsentrasi gas darah arteri
Kriteria hasil
1.    Gangguan pertukaran gas akan terkurangi yang dibuktikan dengan status pernapasan
2.    Status pernapasan : pertukaaran gas tidak akan terganggu dibuktikan dengan indicator gangguan.
Intervensi NIC
Manajemen Asam Basa: Meningkatkan keseimbangan asam basa dan mencegah komplikasi akibat ketidakseimbangan asam basa.
Manajemen Asam Basa : Asidosis Respiratori : Meningkatkan keseimbangan asam basa dan mencegah komplikasi akibat kadar pCO2 serum yang lebih tinggi dari yang diharapkan
Manajemen Jalan Napas : Memfasilitasi kepatenan jalan napas
Manajemen anafilaksis : Meningkatkan keadekuatan ventilasi dan perfusi ringan untuk individu yang mengalami reaksi alergi (antigen-antibodi) berat
Manajemen Asma : Mengidentifikasi, mengatasi, dan mencegah reaksi terhadap inflamasi/konstriksi di jalan napas
Manajemen elektrolit : Meningkatkan keseimbangan elektrolit  dan mencegah komplikasi akibat kadar elektrolit serum yang tidak normal atau di luar harapan
Pemantauan Tanda Vital : Mengumpulkan dan menganalisis data kardiovaskular, pernapasan, dan suhu tubuh untuk menentukan dan mencegah komplikasi
Aktivitas Keperawatan
Pengkajian
1.    Kaji suara paru, frekuensi napas, kedalaman dan usaha napas dan produksi sputum sebagai indicator keefektifan penggunaan alat penunjang
2.    Pantau saturasi O2 dengan oksimeter nadi
3.    Pantau hasil gas darah (misalnya kadar PaO2 yang rendah, dan PaCO2 yang tinggi menunjukkan perburukan pernapasan)
4.    Pantau kadar elektrolit
5.    Pantau status mental (misalnya tingkat kesadaran, gelisah dan konfusi)
6.    Peningkatan frekuensi pemantauan pada saat pasien tampak somnolen
7.    Observasi terhadap sianosis terutama membrane mukosa mulut
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
1.    Jelaskan penggunaan alat bantu yang diperlukan (oksigen,pengisap, spirometer)
2.    Ajarkan kepada pasien teknik bernapas dan relaksasi
3.    Jelaskan kepada pasien dan keluarga alasan pemberian oksigen dan tindakan lainnya
Aktivitas Kolaboratif
1.    Konsultasikan dengan dokter tentang pentingnya pemeriksaan gas darah arteri (GDA) dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan sesuai dengan adanya perubahan kondisi pasien.
2.    Laporkan perubahan pada data pengkajian terkait (misalnya sensorium pasien, suara napas, pola napas, analisis gas darah, efek obat)
3.    Berikan obat yang diresepkan (misalnya natrium bikarbonat) untuk mempertahankan keseimbangan asam basa
4.    Persiapkan pasien untuk ventilasi mekanis, bila perlu
5.    Pengaturan hemodinamik (NIC) : Berikan obat antiaritmia, jika perlu
Aktivitas Lain
1.    Jelaskan kepada pasien sebelum memulai pelaksanaan prosedur untuk menurunkan ansietas dan meningkatkan rasa kendali
2.    Beri penenangan kepada pasien selama periode gangguan atau kecemasan
3.    Lakukan hygiene oral secara teratur
4.    Lakukan tindakan untuk menurunkan konsumsi oksigen (misalnya pengendalian demam dan nyeri, mengurangi ansietas)
5.    Apabila oksigen diprogramkan bagi pasien yang memiliki masalah pernapasan kronis, pantau aliran oksigen dan pernapasan secara hati-hati karena adanya risiko depresi pernapasan akibat oksigen
d.    Ketakutan
Tujuan :
1.    Mencari informasi untuk menurunkan  ketakutan
2.    Menghindari sumber ketakutan bila mungkin
3.    Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan ketakutan
4.    Memantau penurunan durasi episode
Noc
1.    Tingkat ketakutan : Keparahan manifestasi rasa takut, ketegangan, atau kegelisahan yang berasal dari sumber yang dapat dikenali
2.    Tingkat Ketakutan : Anak-anak : Keparahan manifestasi rasa takut, ketegangan, atau kegelisahan yang berasal dari sumber yang dapat dikenali pada anak-anak dari usia 1 tahun  sampai 17 tahun
3.    Pengendalian Diri Terhadap ketakutan : Tindakan individu untuk mengurangi atau menurunkan perasaan tidak mampu akibat rasa takut ketegangan atau kegelisahan yang berasal dari sumber yang dapat dikenali
Kriteria hasil
1.    Mencari informasi untuk mengurangi ketakutan
2.    Menghindari sumber ketakutan bila mungkin
3.    Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan ketakutan
4.    Mempertahankan control terhadap kehidupan
Intervensi NIC
Pengurangan Ansietas : Meminimalkan rasa cemas, nyeri, firasat atau kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan sumber bahaya yang tidak teridentifikasi
Teknik Penenangan : Menurunkan ansietas pada pasien yang mengalami distress akut
Peningkatan Koping : Membantu pasien beradaptasi dengan persepsi stressor, perubahan atau ancaman yang mengganggu pemenuhan tuntutan hidup dan peran
Kehadiran : Bersama dengan yang lain, baik secara fisik maupun psikologis selama dibutuhkan
Peningkatan Keamanan : Meningkatkan perasaan aman fisik dan psikologis pasien
Aktivitas Keperawatan
Pengkajian
1.    Kaji respon takut subjektif dan objektif pasien
2.    Peningkatan koping (NIC) : Nilai pemahaman pasien terhadap proses penyakitnya
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
1.    Jelaskan semua pemeriksaan dan pengobatan kepada pasien/keluarga
2.    Bantu klien membedakan antara ketakutan rsional dan yang tidak rasional
3.    Ajarkan pasien dan keluarga bagaimana menggunakan imajinasi terbimbing ketika mereka merasa ketakutan
Aktivitas Kolaboratif
1.    Kaji kebutuhan untuk layanan sosialatau intervensi psikiatrik
2.    Dorong diskusi antara pasien dan dokter tentang ketakutan pasien
3.    Adakan konferensi perawatan multidisiplin untuk membuat rencana perawatan
Aktivitas lain
1.    Sering berikan penguatan positif bila pasien mendemonstrasikan perilaku yang dapat menurunkan atau mengurangi rasa takut
2.    Tetap bersama pasien selama menghadapi situasi baru atau ketika pasien merasa sangat ketakutan
3.    Jauhkan sumber ketakutan pasien apabila memungkinkan
4.    Sampaikan penerimaan terhadap persepsi ketakutan pasien untuk mendukung komunikasi terbuka mengenai sumber ketakutan
5.    Berikan perawatan yang berkelanjutan melalui penugasan dan penggunaan rencana perawatan
6.    Sering berikan penguatan verbal dan non verbal yang dapat membantu menurunkan ketakutan pasien
e.    Konstipasi
Tujuan :
1.    Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh defekasi
Pola eliminasi
Feses lemak dan berbentuk
Mengeluarkan feses tanpa bantuan
2.    Konstipasi menurun yang dibuktikan oleh defekasi
Darah di dalam feses
Nyeri saat defekasi
Noc
1. Defekasi : pembentukan dan pengeluaran feses
2. Hidrasi : kecukupan air di dalam kompartemen intrasel dan ekstrasel tubuh
3. Pengendalian gejala : tindakan personal untuk meminimalkan persepsi perubahan negative pada fungsi fisik dan emosi
Kriteria hasil
Konstipasi tidak ada yang diindikasikan dengan gangguan eliminasi defekasi
Intervensi NIC
Manajemen Defekasi : Membentuk dan mempertahankan pola eliminasi defekasi yang teratur
Manajemen Konstipasi/Impaksi : Mencegah dan mengatasi konstipasi/impaksi
Manajemen Cairan : Meningkatkan keseimbangan cairan dan mencegah komplikasi akibat kadar cairan yang tidak normal atau tidak diinginkan
Manajemen Cairan/Elektrolit : Mengatur dan mencegah komplikasi akibat perubahan kadar cairan dan atau elektrolit
Aktivitas Keperawatan
Pada umumnya, tindakan keperawatan untuk diagnosis ini berfokus pada pengkajian untuk dan mengatasi penyebab konstipasi, dan seringkali mencakup kebiasaan eliminasi yang rutin, hidrasi, latihan fisik atau mobilitas dan diet tinggi serat.
Pengkajian
1.    Dapatkan data dasar mengenai program defekasi, aktivitas, pengobatan, dan pola kebiasaan pasien
2.    Kaji dan dokumentasikan
Warna dan konsistensi feses pertama pascaoperasi
Frekuensi, warna dan konsistensi feses
Keluarnya flatus
Adanya impaksi
Ada atau tidak ada bising usus dan distensi abdomen pada keempat kuadran abdomen
3.    Manajemen Konstipasi/Impaksi (NIC)
Pantau tanda dan gejala rupture usus atau peritonitis
Identifikasi faktor (misalnya, pengobatan, tirah baring, dan diet) yang dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap konstipasi
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
1.    Informasikan kepada pasien kemungkinan konstipasi akibat obat
2.    Instrusikan pasien mengenai bantuan eliminasi defekasi yang dapat meningkatkan pola defekasi yang optimal di rumah
3.    Ajarkan kepada pasien tentang efek diet (misalnya cairan dan serat) pada eliminasi
4.    Instruksikan pasien tentang konsekuensi penggunaan laksatif jangka panjang
Aktivitas Kolaboratif
1.    Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan serat dan cairan dalam diet
2.    Minta program dari dokter untuk memberikan bantuan eliminasi, seperti diet tinggi serat, pelunak feses, enema, dan laksatif
Aktivitas Lain
1.    Anjurkan pasien untuk meminta obat nyeri sebelum defekasi untuk memfasilitasi pengeluaran feses tanpa nyeri
2.    Anjurkan aktivitas optimal untuk merangsang eliminasi defekasi pasien
3.    Berikan privasi dan keamanan untuk pasien selama eliminasi defekasi
4.    Berikan perawatan dalam sikap yang menerima, tidak menghakimi
5.    Sediakan cairan sesuai dengan pilihan pasien
D.    Implementasi Keperawatan
Dokumentasi intervensi merupakan catatan tentang tindakan yang diberikan perawat. Dokumentasi intervensi mencatat pelaksanaan, rencana perawatan, pemenuhan kriteria hasil dan tindakan keperawatan mandiri dan tindakan kolaboratif.
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan intervensi dari masing-masing diagnosa tersebut di atas.
Sumber : Bararah, Jauhar, 2013 : 153
E.    Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan
a.    Memperlihatkan berkurangnya kecemasan
1.    Mengidentifikasi rasa takut
2.    Mendiskusikan rasa takut dengan keluarga
3.    Menggunakan pengalaman dahulu sebagai focus perbandingan
4.    Mengekspresikan pandangan positif mengenai hasil pembedahan
5.    Mengekspresikan rasa percaya diri mengenai cara yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit
b.    Menerima pengetahuan mengenai prosedur pembedahan dan perjalanan pascaoperasi
1.    Mengidentifikasi maksud prosedur persiapan pra operasi
2.    Meninjau unit perawatan intensif bila diinginkan
3.    Mengidentifikasi keterbatasan hasil setelah pembedahan
4.    Mendiskusikan lingkungan pasca operasi dengan segera, misalnya pipa, mesin, dan pemeriksaan perawat
5.    Memperagakan aktivitas yang seharusnya dilakukan setelah pembedahan (misalnya, menarik napas dalam, batuk efektif, latihan kaki) (Bararah, Jauhar, 2013 : 153)

DAFTAR PUSTAKA

Bararah, Jauhar. 2013. ASUHAN KEPERAWATAN Panduan Lengkap Menjadi Perawat Profesional. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.
Huda Nurarif, Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jakarta : MediAction Publishing.
Wilkinson, 2010. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Jakarta : EGC.
M. Black. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Prabowo, Pranata. 2014. Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.Yogyakarta : Nuha Medika.

Untuk file lebih lengkap dalam format pdf ASKEP IMA

Posted in Ilmu Keperawatan Gerontik | Leave a comment

ASUHAN KEPERAWATAN BATU SALURAN KEMIH

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN BATU SALURAN KEMIH

KONSEP MEDIS
1.1    Definisi Batu Saluran Kemih
Definisi BSK Batu saluran kemih adalah batu yang terbetuk dari berbagai macam proses kimia di dalam tubuh manusia dan terletak di dalam ginjal serta saluran kemih pada manusia seperti ureter (Pharos, 2012:  hal 4)
Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan obstruksi benda padat pada saluran kencing yang berbentuk karena faktor presifitasi endapan dan senyawa tertentu. Batu tersebut bias berbentuk dari berbagai senyawa, misalnya kalsium oksalat (60%), fosfat (30%), asam urat (5%) dan sistin (1%). (Prabowo. E dan Pranata, 2014: hal 111)

1.2    Etiologi
Menurut (Purnomo, 2011: hal 2) Terbentuknya batu saluran kemih diduga karena ada hubungannya gangguan cairan urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih dehidrasi dan keadaan lain yang masih belum terungkap (idopatik). Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang yaitu :
1.    Faktor intrinsik: herediter (di duga diturunkan orang tuanya) umur, (paling sering di dapatkan pada usia 30-50 tahun) jenis kelamin, (laki-laki tiga lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan).
2.    Faktor ekstrinsik: geografi, iklim dan temperature, asupan air, diet pekerjaan.
Mineralisasi pada semua system biologi merupakan temuan umum. Tidak terkecuali batu saluran kemih, yang merupakan kumpulan kristal yang terdiri dari bermacam-macam Kristal dan matrik organik. Teori yang menjelaskan mengenai penyakit batu saluran kemih kurang lengkap. Proses pembentukan membutuhkan supersaturasi urine. Supersaturasi tergantung pada PH urine, kekuatan ion, konsntrasizat terlarut, dan kompleksasi. (Stoller 2010 : hal 4).
Teori Kristal inhibitor menyatakan bahwa batu terbentuk karena konsentrasi inhibitor  alami yang rendah seperti magnesium, sitrat, firofosfat, dan sejumlah kecil logam.
Teori ini tidak absolit karena tidak semua orang yang inhibitor pembentuk kristalnya rendah terkena batu saluran kemih. (Stoller 2010 : hal 5).
1.    Komponen Kristal batu terutama terdiri dari komponen Kristal dengan ukuran dan transparansi yang mudah di identifikasi dibawah polarisasi mikroskop. Difraksi X-ray terutama untuk menilai geometris dan arsitektur batu. Banyak tahap yang terkait dalam pembentukan batu. Meliputi nukleasi, perkembangan dan agregasi, nukleasi memulai proses dan di induksi oleh beberapa subtansi sepertimatrik protein, Kristal, zatasing dan partikel-partikel lainnya. (Stoller 2010 : hal 5)
2.    Komponen matrik Sejumlah komponen matrik non Kristal dari batu saluran kemih memiliki tipe yang berfariasi. Umumnya antara 2% hingga 10% beratnya terdiri dari protein, dengan sejumlah kecil heksosa dan heksamin. (Stoller, 2010: hal 5)

2.3    Patofisiologi
Menurut (Dinda, 2011: hal 2) Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine), yaitu sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adnya kelainan bawaan pada pelvikalises, divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hyperplasia prostat berigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadi pembentukan batu. (Dinda, 2011: hal 2)
Batu terdiri atas kristal-kristal  yang tersusun oleh bahan-bahan organic yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap larut) kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat Kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat Kristal menempel pada epitel saluran kemih, dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. (Dinda, 2011: hal 2)
Kondisi metasble di pengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urine, kosentrasi solute di dalam urine, laju aliran di dalam saluran kemih, atau adanya koloid di dalam urine, kosentrasi solute di dalam saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu. (Dinda, 2011: hal 2)
Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium ammonium fosfat, batu xanthyn, batu sistein, dan batu jenis lainnya. Meskipun patogenesis pembentukan batu-batu di atas hampir sama, tetapi suasana di dalam saluran kemih yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama. Misalkan batu asam urat mudah terbentuk dalam suasana asam, sedangkan batu magnesium amonium fosfat terbentuk karena urine bersifat basa. (Dinda, 2011: hal 2)

 

Stagnansi urine pada VU
Penurunan urine flow

Patwhay        

Iritabibilitas mukosa ureter
Regangan otot m.detrusor meningkat
Lesi & inflamasi
Nyeri akut
Stress ulcer
Sensitifitas meningkat
HCL meningkat
Nausea vomiting
Ketidakseimbangan Nutrisi:kurang dari kebutuhan tubuh
Robekan vaskuler
Hematuria/gross hematuria
Kebocoran plasma
Absorbsi nutrient inadekuat
Resiko keseimbangan vol.cairan
refluks
Hidronephrosis
Haluaran inadekuat
Retensi urine
Resiko gangguan f.ginjal
Gangguan eliminasi urine
Resiko infeksi
Kolinisasi bakteri meningkat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Prabowo dan Pranata, 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.

2.4    Manifestasi Klinis
Gejala-gejala BSK antara lain:
1.    Kolik renal dan non kolik renal merupakan 2 tipe nyeri yang berasal dari ginjal kolik renal umumnya disebabkan karena batu melewati saluran kolektivus atau saluran sempit ureter, sementara non kolik renal disebabkan oleh distensi dari kapsula ginjal.  (Stoller, 2010: hal: 12)
2.    Hematuria pada penderita BSK seringkali terjadi hematuria (air kemih berwarna seperti air teh) terutama pada obstruksi ureter. (Stoller, 2010: hal: 12)
3.    Infeksi jenis BSK apapun seringkali berhubungan dengan infeksi sekunder akibat obstruksi. (Stoller, 2010: hal: 12)
4.    Demam adanya demam yang berhubungan dengan BSK merupakan kasus darurat karena dapat menyebabkan urosepsis. (Stoller, 2010: hal: 12)
5.    Mual-muntah Obstruksi saluran kemih bagian atas seringkali menyebabkan mual dan muntah. (Stoller, 2010: hal: 12)

2.5    Klasifikasi Batu Saluran Kemih
Menurut (Turk, 2011: hal 11). Klasifikasi Batu saluran kemih dapat diklasifikasikan berdasarkan aspek berikut:
1.    Ukuran batu, lokasi batu, karakteristik X-ray dari batu, penyebab terbentuknya batu, komposisi batu (mineralogi), dan resiko kelompok terjadinya pembentukan batu. (Turk, 2011: hal 12)
2.    Ukuran Batu biasanya dinyatakan dalam milimeter, menggunakan satu atau dua dimensi pengukuran. Batu bisa dikelompokkan panjangnya hingga 5mm, >5-10 mm, > 10-20 mm dan > 20 mm. (Turk, 2011: hal 12)
3.    Lokasi Batu Batu saluran kemih dapat diklasifikasikan berdasarkan posisi anatomi pada saluran kemih pada diagnosa: upper calyx, middle calyx atau lower calyx, renal pelvis, upper ureter, middle ureter ataudistal ureter, urinary bladder. (Turk, 2011: hal 12)
4.    Karakteristik X-ray Batu saluran kemih dapat diklasifikasikan menurut penampakannya pada X-ray. Batu saluran kemih bervarisai berdasarkan komposisi mineral. Jika tidak digunakan komputer tomography Hounsfield Units (HU) mungkin dapat memberi data mengenai massa jenis batu dan komposisi batu (kekerasan batu). (Turk, 2011: hal 12)
5.    Etiologi pembentukan Batu dapat disebabkan oleh infeksi dan bukan infeksi, batu karena kelainan genetik, dan pembentukan batu karena efek samping pengobatan (‘drug stones’). (Turk, 2011: hal 12)
6.    Komposisi Batu (mineralogi) Aspek metabolik memiliki peran penting dala pembentukan batu dan evaluasi metabolik yang dibutuhkan untuk mengatasi kelainan metabolik. Analisis batu yang benar dalam hubungannya dengan kelainan metabolik akan menjadi dasar untuk diagnosa lebih lanjut dan tindakan selanjutnya. Batu biasanya terdiri dari campuran substansi yang berbeda. (Turk, 2011: hal 12)
7.    Kelompok resiko terkena BSK Status resiko dari pembentuk batu adalah dari sebab khusus yang memungkinkan terjadinya atau perkembangan batu dan imperative untuk tindakan farmakologi. Sekitar 50%dari semua yang terkena batu hanya satu yang terkena selama hidupnya. Tingginya kejadian penyakit yang sedikit yang diteliti lebih dari 10% dari semua pembentuk batu. Tipe batu dan keparahan penyakit merupakan determinan yang menyatakan pasien dengan resiko rendah atau resiko tinggi terjadi batu. (Turk, 2011: hal 12)

2.6 Komplikasi Batu Saluran Kemih
Menurut  (S. Wahap, 2013: hal 168) batu saluran kemih selain memicu terjadinya renal colic, ada beberapa komplikasi ada beberapa komplikasi yang di waspadai :
1.    Pembendungan dan pembengkakan ginjal
2.    Kerusakan dan gagal fungsi ginjal,
3.    Infeksi saluran kemih
4.    Timbulnya batu berulang

BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1    Pengkajian
1.    Identitas
Secara otomatis ,tidak factor jenis kelamin dan usia yang signifikan dalam proses pembentukan batu. Namun, angka kejadian urolgitiasis dilapangan sering kali terjadi pada laki-laki dan pada masa usia dewasa. Hal ini dimungkinkan karena pola hidup, aktifitas, dan geografis. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 121)
2.    Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang sering terjadi pada klien batu saluran kemih ialah nyeri pada saluran kemih yang menjalar, berat ringannya tergantung pada lokasi dan besarnya batu, dapat terjadi nyeri/kolik renal klien dapat juga mengalami gangguan gastrointestinal dan perubahan. (Dinda, 2011: hal 2)
3.    Pola psikososial
Hambatan dalam interaksi social dikarenakan adanya ketidaknyamanan (nyeri hebat)  pada pasien, sehingga focus perhatiannya hanya pada sakitnya. Isolasi social tidak terjadi karena bukan merupakan penyakit menular. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 121)
4.    Pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari
a.    Penurunan aktifitas selama sakit terjadi bukan karena kelemahan otot, tetapi dikarenakan gangguan rasa nyaman (nyeri). Kegiatan aktifitas relative dibantu oleh keluarga,misalnya berpakaian, mandi makan,minum dan lain sebagainya,terlebih jika kolik mendadak terjadi. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 121)
b.    Terjadi mual mutah karena peningkatan tingkat stres pasien akibat nyeri hebat. Anoreksia sering kali terjadi karena kondisi ph pencernaan yang asam akibat sekresi HCL berlebihan. Pemenuhan kebutuhan cairan sbenarnya tidak ada masalah. Namun, klien sering kali membatasi minum karena takut urinenya semakin banyak dan memperparah nyeri yang dialami. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 121)
c.    Eliminasi alvi tidak mengalami perubahan fungsi maupun pola, kecuali diikuti oleh penyakit penyerta lainnya. Klien mengalami nyeri saat kencing (disuria, pada diagnosis uretrolithiasis). Hematuria (gross/flek), kencing sedikit (oliguaria), disertai vesika (vesikolithiasis). (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 121)
5.    Pemeriksaan fisik
Anamnese tentang pola eliminasi urine akan memberikan data yang kuat. Oliguria, disuria, gross hematuria menjadi ciri khas dari urolithiasis. Kaji TTV, biasanya tidak perubahan yang mencolok pada urolithiasis. Takikardi akibat nyeri yang hebat, nyeri pada pinggang, distensi vesika pada palpasi vesika (vesikolithiasis/uretrolithiasis), teraba massa keras/batu (uretrolthiasis). (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 122)
a.    Keadaan umum
Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK dapat bervariasi mulai tanpa kelainan fisik sampai tanda-tanda sakit berat tergantung pada letak batu dan penyulit yang ditimbulkan. Terjadi nyeri/kolik renal klien dapat juga mengalami gangguan gastrointestinal dan perubahan. (Dian,  2011: hal 2 )
b.    Tanda-tanda vital
Kesadaran compos mentis, penampilan tampak obesitas, tekanan darah 110/80 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi nafas 20 kali/menit, suhu 36,2 C, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) 29,3 kg/m2. Pada pemeriksaan palpasi regio flank sinistra didapatkan tanda ballotement (+) dan pada perkusi nyeri ketok costovertebrae angle sinistra (+). (Nahdi Tf, 2013: hal 48)
c.    Pemeriksaan fisik persistem
1)    Sistem persyarafan, tingkat kesadaran, GCS, reflex bicara, compos mentis. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
2)    Sistem penglihatan, termasuk penglihatan  pupil isokor, dengan reflex cahaya (+) . (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
3)    Sistem pernafasan, nilai frekuensi nafas, kualitas, suara dan jalan nafas. Atau tidak mengeluh batuk atau sesak. Tidak ada riwayat bronchitis, TB, asma, empisema, pneumonia. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
4)    Sistem pendengaran, tidak ditemukan gangguan pada sistem pendengaran. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
5)    Sistem pencernaan, Mulut dan tenggorokan:  Fungsi mengunyah dan menelan baik, Bising usus normal. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
6)    Sistem abdomen, adanya nyeri tekan abdomen, teraba massa keras atau batu, nyeri ketok pada pinggang. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 122)
7)    Sistem reproduksi tidak ada masalah/gangguan pada sistem reproduksi. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
8)    Sistem kardiovaskuler, tidak ditemukan gangguan pada sistem kardiovaskular. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
9)    Sistem integumen, hangat, kemerahan, pucat. (Dian, 2011 : hal 20)
10)    Sistem muskuluskletal, mengalami intoleransi aktivitas karena nyeri yang dirasakan yang melakukan mobilitas fisik tertentu. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
11)    Sistem perkemihan, adanya oliguria, disuria, gross hematuria, menjadi ciri khas dari urolithiasis, nyeri yang hebat, nyeri ketok pada pinggang, distensi vesika pada palpasi vesika (vesikolithiasis/ urolithiasis, nyeri yang hebat, nyeri ketok pada pinggang, distensi vesika pada palpasi vesika (vesikolithiasis/uretrolithiasis), teraba massa keras/batu (uretrolithiasis). nilai frekuensi buang air kecil dan jumlahnya, Gangguan pola berkemih. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 122)
6.    Pemeriksaan penunjang
a.    Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap, kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat), dan urin lengkap. Hasilnya ditemukan peningkatan kadar leukosit 11.700/μl (normalnya: 5000- 10.000/μl); kimia darah tidak ditemukan peningkatan kadar ureum, kreatinin, maupun asam urat; urin lengkap ditemukan warna keruh, epitel (+), sedimen (+), peningkatan kadar eritrosit 5-7/LPB (normalnya: 0-1/LPB), leukosit 10-11/LPB (0-5/LPB). (Nahdi Tf, 2013: hal 48)
b.    Radiologis
Pada pemeriksaan radiologi dilakukan rontgen Blass Nier Overzicht (BNO) dan ultrasonografi (USG) abdomen. Hasilnya pada rontgen BNO didapatkan tampak bayangan radioopaque pada pielum ginjal setinggi linea paravertebrae sinistra setinggi lumbal III Ukuran 1,5 x 2 cm; USG didapatkan tampak batu pada ginjal kiri di pole atas-tengah-bawah berukuran 1 cm x 1,2 cm x 1,8 cm; tampak pelebaran sistem pelvicokaliseal. (Nahdi Tf, 2013: hal 48)
1.    Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radiopak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radiopak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan batu asama urat bersifat non-opak (radiolusen)
2.    Pielografi Intra Vena (PIV)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batuk semi-opak ataupun batu non-opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos perut. Jika PIV belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungis ginjal sebagai gantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograde.
3.    Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV, yaitu pada keadaan-keadaan : alergi terhadap kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli, hidronefrosis, pionefrosis.(Dinda, 2011:hal 3)
7.    Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan : obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena sesuatu indikasi sosial. Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter atau hidronefrosis dan batu yang sudah menyebabkan infeksi saluran kemih, harus segera dikeluarkan. Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti di atas tetapi diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya mempunyai resiko tinggi dapat menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang menjalakankan profesinya, dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih. (Dinda, 2011:hal 3)

3.2    Diagnosa Keperawatan
Menurut (Prabowo,E dan Pranata 2014: hal 123)
1.    Nyeri akut
Definisi: pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa.
Batasan karakteristik:
a.    Perubahan selera makan
b.    Perubahan tekanan darah
c.    Perubahan prekuensi jantung
d.    Perubahan prekuensi pernafasan
e.    Diaphoresis
f.    Prilaku ditraksi
g.    Sikap melindungi area nyeri
h.    Gannguan tidur
Faktor yang berhubungan :
Agen cedera (misalnya biologis, fisik, dan psikologis) Di tandai dengan
a.    Keluhan nyeri, colik billiary (frequensi nyeri ).
b.    Ekspresi wajah saat nyeri, prilaku yang hati-hati.
c.    Respon autonomik (perubahan pada tekanan darah ,nadi).
d.    Fokus terhadap diri yang terbatas.
2.    Gangguan Eliminasi Urine
Definisi: disfungsi pada eliminasi urine
Batasan karakteristik
a.    Dissurya
b.    Sering berkemih
c.    Inkontinensia
d.    Nokturya
e.    Retensi
f.    Dorongan
Faktor yang berhubungan :
a.    Obstopsi anatomic
b.    Penyebab multiple
3.    Retensi urine
Definisi: pengosongan kandung kemih tidak komplet
Batasan karakteristik:
a.    Tidak ada haluaran urie
b.    Distensi kandung kemih
c.    Menetes
d.    Disuria
e.    Sering berkemih
f.    Inkontenensia aliran berlebih
g.    Residu urine
h.    Sensasi kandung kemih penuh
i.    Berkemih sedikit
Faktor yang Berhubungan :
a.    Sumbatan
b.    Tekanan ureter  tinggi

3.3    Intervensi Keperawatan
1.    Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (biologis, fisik, psikologis)
Tujuan:
a.    Memperlihatkan pengendalian nyeri,yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (1-5; tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu:
1)    Mengenali awitan nyeri
2)    Menggunakan tindakan pencegahan
3)    Melaporkan nyeri dapat dilakukan
b.    Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai indikator berikut (sebutkan 1-5; sangat berat, berat, sedang,   ringan, atau tidak ada):
1)    Ekpresi nyeri pada wajah
2)    Gelisah atau ketegangan otot
3)    Durasi episode nyeri
4)    Merintih dan menangis
5)    Gelisah
Kriteria Hasil NOC :
a.    Tingkat Kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap kemudahan fisik dan psikologis
b.    Pengendalian nyeri:   tindakan individu untuk mengendalikan nyeri
c.    Tingkat nyeri keparahan yang dapat di amati atau dilaporkan
Intervensi NIC :
a.    Pemberian Analgesik
b.    Manajemen medikasi
c.    Manajemen nyeri
d.    Bantuan analgesia yang dikendalikan oleh pasien
e.    Manajemen sedasi

Aktivitas Keperawatan
a.    Pengkajian
1)    Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian
2)    Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 sampai 10 (0=tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10=nyeri hebat)
3)    Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh analgesik dan kemungkinan efek sampingnya
4)    Kaji dampak agama, budaya, kepercyaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan repons pasien
5)    Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata kata sesuai usia  dan tingkat perkembanagan pasien
6)    Manajemen nyeri NIC :
(a)    Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi dan  kualitas dan intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya
(b)    Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka  yag tidak mampu berkomunikasi efektif
b.    Penyuluhan untuk pasien/keluarga
1)    Sertakan dalam intruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus di minum, frekuensi pemberian, kemungkinan efeksamping, kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus saat mengkonsumsi oabat tersebut (misalnya, pembatasan aktivitas fisik, pembatasan diet), dan nama orang yang harus dihubungi bila mengalami nyeri membandel.
2)    Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai
3)    Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan
4)    Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau opiod (misalnya, risiko ketergantungan atau overdosis
5)    Manajemen nyeri (NIC): berikan informasi tenteng nyeri , seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisispasi ketidaknyamanan akibat prosedur
6)    Majemen nyeri (NIC): Ajarkan penggunaan  teknik nonfarmakologis (misalnyaa, umpan balik biologis, transcutaneus elektrical nerve stimulation (tens) hipnosis relaksasi, imajinasi terbimbing, terapai musik, distraksi, terapai bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat atau dingin, dan masase sebelum atau setelah, dan jika memungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan nyeri ; sebelum nyeri  terjadi  atau meningkat; dan berama penggunaan tindakan peredaran nyeri yang lain.
c.    Aktivitas kolaboratif
1)    Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiat yang terjadwal (misalnya, setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA
2)    Manajement nyeri NIC :
(a)    Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat
(b)    Laporkan kepada dokter jika tindakan berhasil
(c)    Laporkan kepada dokter jika tindakn tidak berhasil atau jika keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien di maa lalu.
d.    Aktivitas lain
1)    Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian nyeri dan efek samping
2)    Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyaman yang efektif di masa lalu seperti ,distraksi,relaksasi ,atau kompers hangat dingin
3)    Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman

2.    Gangguan eliminasi urine  berhubungan dengan obstruksi anatomic, dan penyebab multiple.
Tujuan :
a.    Menunjukkan kontinesia urine, yang di buktikan oleh indicator berikut (sebutkan 1-5: selalu, sering, kadanf-kadang, jarang, atau    tidak pernah ditunjukkan):
1)    Infeksi saluran kemih (SDP)[sel darah putih]<100.000)
2)    Kebocoran urine diantara berkemih
b.    Menunjukkan kontenesia urine, yang dibuktikan oleh indicator berikut (sebutkan 1-5:tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu di tunjukkan):
1)    Eliminasi secara mandiri
2)    Mempertahankan pola berkemih yang dapat diduga
Kriteria Hasil NOC :
a.    Kontenesia urine: pengendalian eliminasi urine dari kandung kemih
b.    Eliminasi urine: pengumpulan dan pengeluaran urine
Intervensi NIC :
a.    Pelatihan kandung kemih: meningkatkan fungsi kandung kemih pada individu yang mengalami inkotenensia urine dengan meningkatkan kemampuan kandung kemih untuk menahan urine dan kemampuan pasien untuk menekan urinasi.
b.    Manjemen silminasi urine: mempertahankan pola eliminasi urine yang optimum.
Aktivitas keperawatan
a.    Pengkajian
Manajemen eliminasi urin (NIC) :
1)    Pantau eliminasi urine, meliputi frekuensi, konsisten, bau, volume, dan warna, jika perlu.
2)    Kumpulkan specimen urine porsi tengah untuk urinalis.
b.    Penyuluhan untuk pasien/keluarga
Manajemen eliminasi urine (NIC) :
1)    Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih
2)    Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine, bila diperlukan.
3)    Instruksikan pasien untuk berespons segera terhadap kebutuhan eliminasi.
4)    Ajarkan pasien untuk minum 200 ml cairan pada saat makan, di antara waktu makan, diantara waktu makan, dan awal petang.
c.    Aktivitas kolaboratif
Manajemen eliminasi urine (NIC), rujuk ke dokter jika terdapat tanda dan gejala infeksi saluran kemih.
3.    Retensi Urine berhubungan dengan sumbatan dan tekanan ureter tinggi
Tujuan :
Menunjukkan kontinesia urine, yang dibuktikan oleh indicator berikut (sebutkan 1-5: selalu, sering, kdang-kadang, jarang, atau tidak pernah di tunjukkan):
a.    Kebocoran urine diantara berkemih
b.    Urine residu pasca-berkemih > 100-200 cc
Kriteria Hasil NOC :
a.    Kontinesia urine: pengendalian eliminasi urine dari kandung kemih
b.    Eliminasi urine: pengumpulan dan pengeluaran urine
Intervensi NIC :
a.    Kateterisasi urine
b.    Manajemen eliminasi urine
c.    Perawatan retensi urine
Aktivitas keperawatan
a.    Pengkajian
1)    Identifikasi dan dokumentasikan pola pengosongan kandung kemih
2)    Perawatan retensi urine (NIC) :
(a)    Pantau penggunaan agens non resep dengan antikolinergik atau agonisalfa.
(b)    Pantau efek obat resep, seperti penyekat saluran kalsium dan antikolinergik.
(c)    Pantau asupan dan haluaran.
(d)    Pantau distensi kandung kemih melalui palpasi dan perkusi.
b.    Penyuluhan untu pasien/keluarga
1)    Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih yang di laporkan misalnya: demam, menggigil, nyeri pinggang, hematuria, serta perubahan konsistensi dan bau urine.
2)    Perawatan retensi urine (NIC): instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine.
c.    Aktivitas kolaboratif
1)    Rujuk ke perawat terapi enterostoma untuk instruksi kateterisasi intermiten mandiri penggunaan prosedur bersih setiap 4-6 jam pada saat terjaga
2)    Perawatan retensi urine (NIC): rujuk pada spesialis kontenensia urine.
d.    Aktivitas lain
1)    Lakukan program pelatihan pengosongan kandung kemih
2)    Bagi cairan dalam sehari untuk menjamin asupan yang adekuat tanpa menyebabkan kandung kemih over-distensi
3)    Anjurkan pasien mengonsumsi cairan per oral: _____cc untuk sore hari, dan _____cc untuk malam hari
4)    Perawatan retensi urine (NIC) :
(a)    Berikan privasi untuk eliminasi
(b)    Gunakan kekuatan sugesti dengan mengalirkan air atau membilas toilet
(c)    Stimulasi reflek kandung kemih dengan menempelkan es ke abdomen menekan ke bagian dalam paha atau menagalirkan air
(d)    Berikan cukup waktu untuk pengosongan kandung kemih  (10 menit)

DAFTAR PUSTAKA

Prabowo dan Pranata, 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nahdi TF. Jurnal Medula, Volume. 1 Nomor. 4 / Oktober 2013
Purnomo, B.B. 2010.Pedoman diagnosis & terapi smf urologi LAB ilmu bedah.Malang: Universitas Kedokteran Brawijaya.
Judith.M.Wilkison dan Nancy.R.2013.Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed 9.Jakarta: EGC
Sandy Wahap, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No. 2 / Oktober 2012

fILE FORMAT PDF KLIK LINK BERIKUT askep bsk

Posted in Ilmu Keperawatan Gerontik | 1 Comment

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT JANTUNG KORONER

KONSEP PENYAKIT JANTUNG KORONER

KONSEP MEDIS
2.1 Pengertian Penyakit Jantung Koroner
American heart association (AHA), mendefinisikan penyakit jantung koroner adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang dapat menyebabkan serangan jantung.penumpukan plak pada arteri koroner ini disebut dengan aterosklerosis. (AHA, 2012 hal:14)
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan keadaan dimana terjadi penimbunan plak pembuluh darah koroner. Hal ini menyebabkan arteri koroner menyempit atau tersumbat.arteri koroner merupakan arteri yang menyuplai darah otot jantung dengan membawa oksigen yang banyak.terdapat beberapa factor memicu penyakit ini, yaitu: gaya hidup, factor genetik, usia dan penyakit pentyerta yang lain. (Norhasimah,2010: hal 48)
2.2 Etiologi Penyakit Jantung Koroner
Etiologi penyakit jantung koroner adalah adanya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh arteri koroner. Penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah tersebut dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan nyeri. Dalam kondisi yang parah, kemampuan jantung memompa darah dapat hilang. Hal ini dapat merusak sistem pengontrol irama jantung dan berakhir dan berakhir dengan kematian. (Hermawatirisa,2014:hal 2)
Penyempitan dan penyumbatan arteri koroner disebabkan zat lemak kolesterol dan trigliserida yang semakin lama semakin banyak dan menumpuk di bawah lapisan terdalam endothelium dari dinding pembuluh arteri. Hal ini dapat menyebabkan aliran darah ke otot jantung menjadi berkurang ataupun berhenti, sehingga mengganggu kerja jantung sebagai pemompa darah. Efek dominan dari jantung koroner adalah kehilangan oksigen dan nutrient ke jantung karena aliran darah ke jantung berkurang.  Pembentukan plak lemak dalam arteri memengaruhi pembentukan bekuan aliran darah yang akan mendorong terjadinya serangan jantung. Proses pembentukan plak yang menyebabkan pergeseran arteri tersebut dinamakan arteriosklerosis. (Hermawatirisa, 2014:hal 2)
Awalnya penyakit jantung di monopoli oleh orang tua. Namun, saat ini ada kecenderungan penyakit ini juga diderita oleh pasien di bawah usia 40 tahun. Hal ini biasa terjadi karena adanya pergeseran gaya hidup, kondisi lingkungan dan profesi masyarakat yang memunculkan “tren penyakit”baru yang bersifat degnaratif. Sejumlah prilaku dan gaya hidup yang ditemui pada masyarakat perkotaan antara lain mengonsumsi makanan siap saji yang mengandung kadar lemak jenuh tinggi, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kerja berlebihan, kurang berolahraga, dan stress. (Hermawatirisa, 2014:hal 2)
2.3 Patofisiologi  Penyakit Jantung Koroner
Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan kecil yang ditandai penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan makrofag di seluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya ke tunika media (lapisan otot polos). Arteri yang paling sering terkena adalah arteri koroner, aorta dan arteri-arteri sereberal. (Ariesty, 2011:hal 6).
Langkah pertama dalam pembentukan aterosklerosis dimulai dengan disfungsi lapisan endotel lumen arteri, kondisi ini dapat terjadi setelah cedera pada sel endotel atau dari stimulus lain, cedera pada sel endotel meningkatkan permeabelitas terhadap berbagai komponen plasma, termasuk asam lemak dan triglesirida, sehingga zat ini dapat masuk kedalam arteri, oksidasi asam lemak menghasilkan oksigen radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak pembuluh darah. (Ariesty, 2011:hal 6).
Cedera pada sel endotel dapat mencetuskan reaksi inflamasi dan imun, termasuk menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit ke area cedera, sel darah putih melepaskan sitokin proinflamatori poten yang kemudian memperburuk situasi, menarik lebih banyak sel darah putih dan trombosit ke area lesi, menstimulasi proses pembekuan, mengaktifitas sel T dan B, dan melepaskan senyawa kimia yang berperan sebagai chemoattractant (penarik kimia) yang mengaktifkan siklus inflamasi, pembekuan dan fibrosis. Pada saat ditarik ke area cedera, sal darah putih akan menempel disana oleh aktivasi faktor adhesif endotelial yang bekerja seperti velcro sehingga endotel lengket terutama terhadap sel darah putih, pada saat menempel di lapisan endotelial, monosit dan neutrofil mulai berimigrasi di antara sel-sel endotel keruang interstisial. Di ruang interstisial, monosit yang matang menjadi makrofag dan bersama neutrofil tetap melepaskan sitokin, yang meneruskan siklus inflamasi. Sitokin proinflamatori juga merangsan ploriferasi sel otot polos yang mengakibatkan sel otot polos tumbuh di tunika intima. (Ariesty, 2011:hal 6).
Selain itu kolesterol dan lemak plasma mendapat akses ke tunika intima karena permeabilitas lapisan endotel meningkat, pada tahap indikasi dini kerusakan teradapat lapisan lemak diarteri. Apabila cedera dan inflamasi terus berlanjut, agregasi trombosit meningkat dan mulai terbentuk bekuan darah (tombus), sebagian dinding pembuluh diganti dengan jaringan parut sehingga mengubah struktur dinding pembuluh darah, hasil akhir adalah penimbunan kolesterol dan lemak, pembentukan deposit jaringan parut, pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit dan proliferasi sel otot polos sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan menyempit. Apabila kekakuan ini dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan kemudian terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium sehingga menggunakan glikolisis anerob untuk memenuhi kebutuhan energinya. Proses pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat sehinga menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan dengan angina pectoris. Ketika kekurangan oksigen pada jantung dan sel-sel otot jantung berkepanjangan dan iskemia miokard yang tidak tertasi maka terjadilah kematian otot jantung yang di kenal sebagai miokard infark. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner zat masuk arteri Arteri Proinflamatori Permeabelitas Reaksi inflamasi Cedera sel endotel Sel darah putih menempel di arteri imigrasi keruang interstisial pembuluh kaku & sempit Aliran darah Pembentukan Trombus monosit makrofag Lapisan lemak sel otot polos tumbuh Nyeri Asam laktat terbentuk MCI Kematian. (Ariesty, 2011:hal 6).

Patwhay

2.4    Manifestasi Klinis Penyakit Jantung Koroner
Menurut, Hermawatirisa 2014 : hal 3,Gejala penyakit jantung koroner
1.    Timbulnya rasa nyeri di dada (Angina Pectoris)
2.    Sesak nafas (Dispnea)
3.    Keanehan pada iram denyut jantung
4.    Pusing
5.    Rasa lelah berkepanjangan
6.    Sakit perut, mual dan muntah
Penyakit jantung koroner dapat memberikan manifestasi klinis yang berbeda-beda. Untuk menentukan manifestasi klinisnya perlu melakukan pemeriksaan yang seksama. Dengan memperhatikan klinis penderita, riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi saat istirahat, foto dada, pemeriksaan enzim jantung dapat membedakan subset klinis PJK.

2.5    Klasifikasi Penyakit Jantung Koroner
Faktor risiko terjadinya penyakit jantung antara lain ;
Hiperlipidemi, Hipertensi, Merokok, Diabetes mellitus, kurang aktifitas fisik,   Stress, Jenis Kelamin, Obesitas dan Genetik.
Menurut,( Putra S, dkk, 2013: hal 4) Klasifikasi PJK :
1.    Angina Pektoris Stabil/Stable Angina Pectoris
Penyakit Iskemik disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokard. Di tandai oleh rasa nyeri yang terjadi jika kebutuhan oksigen miokardium melebihi suplainya. Iskemia Miokard dapat bersifat asimtomatis (Iskemia Sunyi/Silent Ischemia), terutama pada pasien diabetes.8 Penyakit ini sindrom klinis episodik karena Iskemia Mi okard transien. Laki-laki merupakan 70% dari pasien dengan Angina Pektoris dan bahkan sebagian besar menyerang pada laki-laki ±50 tahun dan wanita 60 tahun.
2.    Angina Pektoris Tidak Stabil/Unstable Angina Pectoris
Sindroma klinis nyeri dada yang sebagian besar disebabkan oleh disrupsi plak ateroskelrotik dan diikuti kaskade proses patologis yang menurunkan aliran darah koroner, ditandai dengan peningkatan frekuensi, intensitas atau lama nyeri, Angina timbul pada saat melakukan aktivitas ringan atau istirahat, tanpa terbukti adanya nekrosis Miokard.
a.    Terjadi saat istirahat (dengan tenaga minimal) biasanya berlangsung> 10 menit.
b.    Sudah parah dan onset baru (dalam 4-6 minggu sebelumnya), dan
c.    Terjadi dengan pola crescendo (jelas lebih berat, berkepanjangan, atau sering dari sebelumnya).
3.    Angina Varian Prinzmetal
Arteri koroner bisa menjadi kejang, yang mengganggu aliran darah ke otot jantung (Iskemia). Ini terjadi pada orang tanpa penyakit arteri koroner yang signifikan, Namun dua pertiga dari orang dengan Angina Varian mempunyai penyakit parah dalam paling sedikit satu pembuluh, dan kekejangan terjadi pada tempat penyumbatan. Tipe Angina ini tidak umum dan hampir selalu terjadi bila seorang beristirahat – sewaktu tidur. Anda mempunyai risiko meningkat untuk kejang koroner jika anda mempunyai : penyakit arteri koroner yang mendasari, merokok, atau menggunakan obat perangsang atau obat terlarang (seperti kokain). Jika kejang arteri menjadi parah dan terjadi untuk jangka waktu panjang, serangan jantung bisa terjadi.
4.    Infark Miokard Akut/Acute Myocardial Infarction
Nekrosis Miokard Akut akibat gangguan aliran darah arteri koronaria yang bermakna, sebagai akibat oklusi arteri koronaria karena trombus atau spasme hebat yang berlangsung lama. Infark Miokard terbagi 2 :
a.    Non ST Elevasi Miokardial Infark (NSTEMI)
b.    ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI)

2.6 Komplikasi Penyakit Jantung Koroner
Menurut, (Karikaturijo, 2010: hal 11 ) Komplikasi PJK Adapun komplikasi PJK adalah:
1.    Disfungsi ventricular
2.    Aritmia pasca STEMI
3.    Gangguan hemodinamik
4.    Ekstrasistol ventrikel Sindroma Koroner Akut Elevasi ST Tanpa Elevasi ST Infark miokard Angina tak stabil
5.    Takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel
6.    Syok kardiogenik
7.    Gagal jantung kongestif
8.    Perikarditis
9.    Kematian mendadak (Karikaturijo, 2010: hal 11 ).

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1.    Identitas
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan, alamat, tanggal MRS dan diagnosa medis. (Wantiyah,2010: hal 17)
2.    Keluhan utama
Pasien pjk biasanya merasakan nyeri dada dan dapat dilakukan dengan skala nyeri 0-10, 0 tidak nyeri dan 10 nyeri palig tinggi. Pengakajian nyeri secara mendalam menggunakan pendekatan PQRST, meliputi  prepitasi dan penyembuh, kualitas dan kuatitas, intensitas, durasi, lokasi, radiasi/penyebaran,onset.(Wantiyah,2010: hal 18)
3.    Riwayat kesehatan lalu
Dalam hal ini yang perlu dikaji atau di tanyakan pada klien antara lain apakah klien pernah menderita hipertensi atau diabetes millitus, infark miokard atau penyakit jantung koroner itu sendiri sebelumnya. Serta ditanyakan apakah pernah MRS sebelumnya. (Wantiyah,2010: hal 17)
4.    Riwayat kesehatan sekarang
Dalam mengkaji hal ini menggunakan analisa systom PQRST. Untuk membantu klien dalam mengutamakan masalah keluannya secara lengkap. Pada klien PJK umumnya mengalami nyeri dada. (Wantiyah,2010: hal 18)
5.    Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji pada keluarga, apakah didalam keluarga ada yang menderita penyakit jantung koroner. Riwayat penderita PJK umumnya mewarisi juga faktor-faktor risiko lainnya, seperti abnormal kadar kolestrol, dan peningkatan tekanan darah. (A.Fauzi Yahya 2010: hal 28)
6.    Riwayat psikososial
Pada klien PJK biasanya yang muncul pada klien dengan penyakit jantung koroner adalah menyangkal, takut, cemas, dan marah, ketergantungan, depresi dan penerimaan realistis. (Wantiyah,2010: hal 18)
7.    Pola aktivitas dan latihan
Hal ini perlu dilakukan pengkajian pada pasien dengan penyakit jantung koroner untuk menilai kemampuan dan toleransi pasien dalam melakukan aktivitas. Pasien penyakit jantung koroner mengalami penurunan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.(Panthee & Kritpracha, 2011:hal 15)
8.    Pemeriksaan fisik
a.    Keadaan umum
Keadaan umum klien mulai pada saat pertama kali bertemu dengan klien dilanjutkan mengukur tanda-tand vital. Kesadaran klien juga diamati apakah kompos mentis, apatis, samnolen, delirium, semi koma atau koma. Keadaan sakit juga diamati apakah sedang, berat, ringan atau tampak tidak sakit.
b.    Tanda-tanda vital
Kesadaran compos mentis, penampilan tampak obesitas, tekanan darah 180/110 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi nafas 20 kali/menit, suhu 36,2 C. (Gordon, 2015: hal 22)
c.    Pemeriksaan fisik persistem
1)    Sistem persyarafan, meliputi kesadaran, ukuran pupil, pergerakan seluruh ekstermitas dan kemampuan menanggapi respon verbal maupun non verbal. (Aziza, 2010: hal 13)
2)    Sistem penglihatan, pada klien PJK mata mengalami pandangan kabur.(Gordon, 2015: hal 22)
3)    Sistem pendengaran, pada klien PJK pada sistem pendengaran telinga , tidak mengalami gangguan. (Gordon, 2015:hal 22)
4)    Sistem abdomen, bersih, datar dan tidak ada pembesaran hati. (Gordon, 2015:hal 22)
5)    Sistem respirasi, pengkajian dilakukan untuk mengetahui  secara dinit tanda dan gejala tidak adekuatnya ventilasi dan oksigenasi. Pengkajian meliputi persentase fraksi oksigen, volume tidal, frekuensi pernapasan dan modus yang digunakan untuk bernapas. Pastikan posisi ETT tepat pada tempatnya, pemeriksaan analisa gas darah dan elektrolit untuk mendeteksi hipoksemia. (Aziza, 2010: hal 13)
6)    Sistem kardiovaskuler, pengkajian dengan tekhnik inspeksi, auskultrasi, palpasi, dan perkusi perawat melakukan pengukuran tekanan darah; suhu; denyut jantung dan iramanya; pulsasi prifer; dan tempratur kulit. Auskultrasi bunyi jantung dapat menghasilkan bunyi gallop S3 sebagai indikasi gagal jantung atau adanya bunyi gallop S4 tanda hipertensi sebagai komplikasi. Peningkatan irama napas merupakan salah satu tanda cemas atau takut (Wantiyah,2010: hal 18)
7)    Sistem gastrointestinal, pengkajian pada gastrointestinal meliputi auskultrasi bising usus, palpasi abdomen (nyeri, distensi). (Aziza,2010: hal 13)
8)    Sistem muskuluskeletal, pada klien PJK adanya kelemahan dan kelelahan otot sehinggah timbul ketidak mampuan melakukan aktifitas yang diharapkan atau aktifitas yang biasanya dilakukan. (Aziza,2010: hal 13)
9)    Sistem endokrin, biasanya terdapat peningkatan kadar gula darah. (Aziza,2010: hal 13)
10)    Sistem Integumen, pada klien PJK akral terasa hangat, turgor baik. (Gordon, 2015:hal 22)
11)    Sistem perkemihan, kaji ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang, observasi dan palpasi pada daerah abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urine dan kaji tentang jenis cairan yang keluar . (Aziza,2010: hal 13)

9.    Pemeriksaan penunjang
Untuk mendiagnosa PJK secara lebih tepat maka dilakukan pemeriksaan penunjang diantaranya:
a.    EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis, rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG adalah :

1.    Depresi segmen ST > 0,05 mV

Sumber: Debarus.wordpress.com  (2013)
2.    Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di sandapan prekordial.

Sumber: Ekgindonesia.blogspot.com: (2015)
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen ST, namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI. Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut dengan berbagai ciri dan katagori:
1.    Angina pektoris tidak stabil; depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai gelombang Q

Sumber: Abufachri.wordpress.com (2015)
2.    Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam (Kulick, 2014: hal 42).

Sumber: http://www.medicinesia.com:  (2015)
b.    Chest X-Ray (foto dada) Thorax foto mungkin normal atau adanya kardiomegali, CHF (gagal jantung kongestif) atau aneurisma ventrikiler (Kulick, 2014: hal 42).
c.    Latihan tes stres jantung (treadmill)
Treadmill merupakan pemeriksaan penunjang yang standar dan banyak digunakan untuk mendiagnosa PJK, ketika melakukan treadmill detak jantung, irama jantung, dan tekanan darah terus-menerus dipantau, jika arteri koroner mengalami penyumbatan pada saat melakukan latihan maka ditemukan segmen depresi ST pada hasil rekaman (Kulick, 2014: hal 42).
d.    Ekokardiogram
Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar jantung, selama ekokardiogram dapat ditentukan apakah semua bagian dari dinding jantung berkontribusi normal dalam aktivitas memompa. Bagian yang bergerak lemah mungkin telah rusak selama serangan jantung atau menerima terlalu sedikit oksigen, ini mungkin menunjukkan penyakit arteri koroner (Mayo Clinik, 2012 hal 43).
e.    Kateterisasi jantung atau angiografi adalah suatu tindakan invasif minimal dengan memasukkan kateter (selang/pipa plastik) melalui pembuluh darah ke pembuluh darah koroner yang memperdarahi jantung, prosedur ini disebut kateterisasi jantung. Penyuntikkan cairan khusus ke dalam arteri atau intravena ini dikenal sebagai angiogram, tujuan dari tindakan kateterisasi ini adalah untuk mendiagnosa dan sekaligus sebagai tindakan terapi bila ditemukan adanya suatu kelainan (Mayo Clinik, 2012: hal 43).
f.    CT scan (Computerized tomography Coronary angiogram)
Computerized tomography Coronary angiogram/CT Angiografi Koroner adalah pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu memvisualisasikan arteri koroner dan suatu zat pewarna kontras disuntikkan melalui intravena selama CT scan, sehingga dapat menghasilkan gambar arteri jantung, ini juga disebut sebagai ultrafast CT scan yang berguna untuk mendeteksi kalsium dalam deposito lemak yang mempersempit arteri koroner. Jika sejumlah besar kalsium ditemukan, maka memungkinkan terjadinya PJK (Mayo Clinik, 2012: hal 43).
g.    Magnetic resonance angiography (MRA)
Prosedur ini menggunakan teknologi MRI, sering dikombinasikan dengan penyuntikan zat pewarna kontras, yang berguna untuk mendiagnosa adanya penyempitan atau penyumbatan, meskipun pemeriksaan ini tidak sejelas pemeriksaan kateterisasi jantung (Mayo Clinik, 2012: hal 44).
10.    Penatalaksaan
Penatalaksanaan Menurut, Hermawatirisa,2014: hal 12
a.    Hindari makanan kandungan kolesterol yang tinggi
Kolesterol jahat LDL di kenal sebgai penyebab utana terjadinya proses aterosklerosis, yaitu proses pengerasan dinding pembuluh darah, terutama di jantung, otak, ginjal, dan mata.
b.    Konsumsi makanan yang berserat tinggi
c.    Hindari mengonsumsi alcohol.
d.    Merubah gaya hidup, memberhentikan kebiasaan merokok
e.    Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki kolateral koroner sehingga PJK dapat dikurangi, olahraga bermanfaat karena
f.    Memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard
g.    Menurunkan berat badan sehingga lemak lemak tubuh yang berlebih berkurang bersama-sama dengan menurunnya LDL kolesterol
h.    Menurunkan tekanan darah
i.    Meningkatkan kesegaran jasmani

3.2    Diagnosa Keperawatan
1.    Nyeri akut
Definisi: pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti (internasional asosiation for the study of pain) ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari 6 bulan.
Batasan karakteristik :
a.    Mengungkapakan secara verbal atau melaporkan (nyeri) dengan isyarat
b.    Posisi untuk menghindari nyeri
c.    perubahan tonus otot
d.    perubahan tekanan darah, pernafasan, atau nadi, dilatasi pupil
e.    perubahan selera makan
f.    perilaku distrasi
g.    perilaku ekspresif
h.    Perilaku menjaga atau sikap melindungi
i.    fokus menyempit
j.    bukti nyeri yang dapat diamati
k.    berfokus pada diri sendiri
l.    gangguan tidur
Faktor yang berhubungan :
Agens-agens penyebab cedera misalnya: biologis, kimia, fisik, dan psikologis.
2.    Penurunan curah jantung
Definisi: ketidakadekuatan pompa darah oleh jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Batasan karakteristik :
a.    Gangguan Frekuensi dan Irama Jantung
b.    Gangguan Preload
c.    Gangguan Afterload
d.    Gangguan kontraktilitas
e.    Perilaku/Emosi
Faktor yang berhubungan :
a.    Gangguan frekuensi atau irama jantung
b.    Gangguan volume sekuncup
c.    Gangguan preload
d.    Gangguan aferload
e.    Gangguan kontraktifitas
3.    Intoleransi aktivitas
Definisi: ketidak cukupan energi fisiologis atau psikologisuntuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang ingin atau harus dilakukan.
Batasan karakteristik :
a.    Ketidak nyamanan atau dispnea saat beraktivitas melaporkan keletihan atau kelemahan secara verbal.
b.    Frekuensi jantung atau tekanan darah tidak normal sebagai respon terhadap aktivitas
c.    Perubahan EKG yang menunjukkan artitmia atau iskemia
Faktor yang berhubungan :
a.    Tirah dan baring dan imobilitas.
b.    Kelemahan umum
c.    Ketidak seimbangan anatara suplai dan kebetuhan okisgen
d.    Gaya hidup yang kurang gerak

3.3    Intervensi Keperawatan
1.    Nyeri akut
Tujuan:
a.    Memperlihatkan pengendalian nyeri,yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (1-5; tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu:
1)    Mengenali awitan nyeri
2)    Menggunakan tindakan pencegahan
3)    Melaporkan nyeri dapat dilakukan
b.    Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai indikator berikut (sebutkan 1-5; sangat berat, berat, sedang,   ringan, atau tidak ada):
1)    Ekpresi nyeri pada wajah
2)    Gelisah atau ketegangan otot
3)    Durasi episode nyeri
4)    Merintih dan menangis
5)    Gelisah
Kriteria Hasil NOC :
a.    Tingkat Kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap kemudahan fisik dan psikologis
b.    Pengendalian nyeri:   tindakan individu untuk mengendalikan nyeri
c.    Tingkat nyeri keparahan yang dapat di amati atau dilaporkan
Intervensi NIC :
a.    Pemberian Analgesik
b.    Manajemen medikasi
c.    Manajemen nyeri
d.    Bantuan analgesia yang dikendalikan oleh pasien
e.    Manajemen sedasi
Aktivitas Keperawatan
a.    Pengkajian
1)    Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian
2)    Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 sampai 10 (0=tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10=nyeri hebat)
3)    Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh analgesik dan kemungkinan efek sampingnya
4)    Kaji dampak agama, budaya, kepercyaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan repons pasien
5)    Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata kata sesuai usia  dan tingkat perkembanagan pasien
6)    Manajemen nyeri NIC :
(a)    Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi dan  kualitas dan intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya
(b)    Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka  yag tidak mampu berkomunikasi efektif
b.    Penyuluhan untuk pasien/keluarga
1)    Sertakan dalam intruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus di minum, frekuensi pemberian, kemungkinan efeksamping, kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus saat mengkonsumsi oabat tersebut (misalnya, pembatasan aktivitas fisik, pembatasan diet), dan nama orang yang harus dihubungi bila mengalami nyeri membandel.
2)    Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai
3)    Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan
4)    Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau opiod (misalnya, risiko ketergantungan atau overdosis
5)    Manajemen nyeri (NIC): berikan informasi tenteng nyeri , seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisispasi ketidaknyamanan akibat prosedur
6)    Majemen nyeri (NIC): Ajarkan penggunaan  teknik nonfarmakologis (misalnyaa, umpan balik biologis, transcutaneus elektrical nerve stimulation (tens) hipnosis relaksasi, imajinasi terbimbing, terapai musik, distraksi, terapai bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat atau dingin, dan masase sebelum atau setelah, dan jika memungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan nyeri ; sebelum nyeri  terjadi  atau meningkat; dan berama penggunaan tindakan peredaran nyeri yang lain.
c.    Aktivitas kolaboratif
1)    Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiat yang terjadwal (misalnya, setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA
2)    Manajement nyeri NIC :
(a)    Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat
(b)    Laporkan kepada dokter jika tindakan berhasil
(c)    Laporkan kepada dokter jika tindakn tidak berhasil atau jika keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien di maa lalu.
d.    Aktivitas lain
1)    Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian nyeri dan efek samping
2)    Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyaman yang efektif di masa lalu seperti ,distraksi,relaksasi ,atau kompers hangat dingin
3)    Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman
2.    Penurunan curah jantung
Tujuan:  penurunan curah jantung tidak sensitif terhadap isu keperawatan. Oleh sebab itu, perawat sebaiknya tidak bertindak secara mandiri untuk melakukannya; upaya kolaboratif perlu dan penting dilakukan.
Kriteria Hasil NOC :
a.    Tingkat keparahan kehilangan darah : tingkat keparahan pendarahan/hemoragi internal atau eksternal
b.    Efektivitas Pompa Jantung : keadekuatan, volume darah yang diejeksikan dari ventrikel kiri untuk mendukung tekanan perfusi sistemik
c.    Status sirkulasi : tingkat pengaliran darah yang tidak terhambat, satu arah, dan pada tekanan yang sesuai melalui pembuluh darah besar aliran sistemik dan pulmonal.
d.    Perfuisi jaringan : organ abdomen : keadekuatan aliran darah melewati pembuluh darah kecil visera abdomen untuk mempertahankan fungsi organ.
e.    Perfusi jaringan: jantung: keadekuatan aliran darah yang melewati vaskulatur koroner untuk mempertahankan fungsi organ jantung
f.    Perfusi jaringan: serebral : keadekuatan aliran darah yang melewati vaskulatur serebral untuk mempertahankan fungsi otak
g.    Perfusi jaringan: Perifer: keadekutan aliran darah yang melalui pembuluh darah kecil ekstremitas untuk mempertahankan fungsi jaringan
h.    Perfusi jaringan: pulmonal: keadekutan aliran darah yang melewati vaskulatur pulmonal untuk memerfusi unit alveoli/kapiler
i.    Status tanda vital: tingkat suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah dalam rentang normal.
Intervensi NIC :
a.    Reduksi perdarahan
b.    Perawatan jantung
c.    Perawatan jantung, Akut
d.    Promosi Perfusi Serebral
e.    Perawatan Sirkulasi: insufisiensi arteri
f.    Perawatan Sirkulasi : Alat Bantu Mekanis
g.    Perawatan Sirkulasi: Insufisiensi Vena
h.    Perawatan Embolus: Perifer
i.    Perawatan Embolus: Paru
j.    Regulasi Hemodinamik
k.    Pengendalian Hemoragi
l.    Terapi Intravena (IV)
m.    Pemantauan Neurologis
n.    Manajemen syok: Jantung
o.    Manajemen syok: Volume
p.    Pemantauan Tanda Vital
Aktivitas Keperawatan
Pada umumnya, tindakan keperawatan untuk diagnosis ini berfokus pada pemantauan tanda-tanda vital dan gejala penurunan curah jantung, pengkajian penyebab yang mendasari (mis, hipovolemia, disritmia), pelaksanaan protokol atau program dokter untuk mengatasi penurunan curah jantung, dan pelaksanaan tindakan dukungan, seperti perubahan posisi dan hidrasi.
a.    Pengkajian
1)    Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis, status pernapasan, dan status mental
2)    Pantau tanda kelebihan cairan (misalnya, edema dependen, kenaikan berat badan)
3)    Kaji toleransi aktivitas pasien dengan memerhatikan adanya awitan napas pendek, nyeri, palpitasi, atau limbung
4)    Evaluasi respons pasien terhadap terapi oksigen
5)    Kaji keruskan kognitif
6)    Regulasi hemodinamik (NIC)
(a)    Pantau fungsi pacemaker, jika perlu
(b)    Pantau denyut perifer, pengisian ulang kapiler, dan suhu serta warna ekstremitas
(c)    Pantau asupan dan haluaran, haluaran urine, dan berat badan pasien, jika perlu
(d)    Pantau resistensi vaskular sistemik dan paru, jika perlu
(e)    Auskultasi suara paru terhadap bunyi crackle atau suara napas tambahan lainnya
(f)    Pantau dan dokumentasikan frekuensi jantung, irama, dan nadi
b.    Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
1)    Jelaskan tujuan pemberian oksigen perkanula nasal atau sungkup
2)    Instruksikan mengenai pemeliharaan keakuratan asupan dan haluaran
3)    Ajarkan pengguanaan, dosis, frekuensi, dan efek samping obat
4)    Jarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan palpitasi dan nyeri, durasi, faktor pencetus, daerah, kualitas, dan intensitas
5)    Instruksikan pasien dan keluarga dalam perencanaan untuk perawatan di rumah, meliputi pembatasan aktivitas, pembatasan diet, dan penggunaan alat terapeutik
6)    Berikan informasi tentang teknik penurunan stres, seperti biofeedback, relaksasi otot progesif, meditasi dan latihan fisik
7)    Ajarkan kebutuhan untuk menimbang berat badan setiap hari.
c.    Aktifitas Kolaboratif
1)    Konsultasikan dengan dokter menyangkut parameter pemberian atau penghentian obat tekanan darah
2)    Berikan dan titrasikan obat antiaritmia, inotropik, nitrogliserin, dan vasodilator untuk mempertahankan kontraktilitas, preload, dan afterload sesuai dengan program medis atau protokol
3)    Berikan antikoagulan untuk mencegah pembentukan trombus perifer, sesuai dengan program atau protokol
4)    Tingkatkan penurunan afterload (misalnya, dengan pompa balon inta-aorta) sesuai dengan program medis atau protokol
5)    Lakukan perujukan ke perawat praktisi lanjutan untuk tindak-lanjut, jika diperlukan
6)    Pertimbangkan perujukan ke petugas sosial, manajer kasus atau layanan kesehatan komunitas dan layanan kesehatan di rumah
7)    Lakukan perujukan ke petugas sosisal untuk mengevaluasi kemampuan membayar obat yang diresepkan
8)    Lakukan perujukan ke pusat rehabilitasi jantung jika diperlukan
d.    Aktifitas Lain
1)    Ubah posisi pasien ke posisi datar atau Trendelenburg ketika tekanan darah pasien berada pada rentang lebih rendah dibandingkan dengan yang biasanya
2)    Untuk hipotensi yang tiba-tiba, berat atau lama, pasang akses intravena untuk pemberian cairan intravena atau obat untuk meningkatkan tekanan darah
3)    Hubungkan efek nilai laboratorium, oksigen, obat, aktivitas, ansietas, dan/atau nyeri pada disritmia
4)    Jangan mengukur suhu dari rektum
5)    Ubah posisi pasien setiap dua jam atau pertahankan aktivitas lain yang sesuai atau dibutuhkan untuk menurunkan stasis sirkulasi perifer
6)    Regulasi Hemodinamik (NIC) :
(a)    Minimalkan atau hilangkan stresor lingkungan
(b)    Pasang kateter urine, jika diperlukan

3.    Intoleransi aktivitas
Definisi: ketidak cukupan energi fisiologis atau psikologisuntuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang ingin atau harus dilakukan.
Tujuan:
a.    Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, yang dibuktikan oleh toleransi aktivitas, ketahanan, penghematan energy, kebugaran fisik,  energi psikomotorik, dan perawatan diri: aktivitas kehidpan sehari hari (AKSI)
b.    Menujukkan aktivitas toleransi, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut seberat, disebutkan 1-5 gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami gangguan :
1)    saturasi oksigen saat aktivitas
2)    frekuensi pernapsan saat beraktivitas
3)    kemampuan untuk berbicara saat beraktivitas fisik
c.    Mendemonstrasikan penghematan energi, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-15:tidak pernah, jarang, kadang kadang, sering atau selalu ditampilkan) :
1)    Meyadari keterbasan energi
2)    Menyeimbangkan aktivtas dan istirahat
3)    Mengatur jadwal aktivitas untuk menghemat energy
Kriteria Hasil NOC :
a.    Tolereransi aktivitas:respons fisiologis terhadap geraka yang memakan energi dalam aktivitas sehari-hari.
b.    Ketahanan: kapasitas unutuk menyelesaikan aktivitas
c.    Peng hemat energi: tindakan individu untuk mengola energi untuk memulai dan menyelesaikan aktiviatas.
d.    Kebugaran fisik: pelaksanaan aktivitas fisik yang penuh fitalitas
e.    Energi psikomotorik: dorongan dan energi idividu untuk mempertahankan aktivitas hidup sehari-hari, nutrisi dan keamanan personal
f.    Perwatan diri: ativitas kehidupa sehari-hari (aksi): kemampuan untuk melalukan tugasa-tugas fisik yang paling dasar dan aktivitas perwatan pribadi secara mandiri denga atau tanpa alat bantu.
g.    Perawatan diri aktivitas kehidupan sehari hari instrumental(AKSI) :kemmpuan untuk melakukuan aktvitas yang dibutuhkan dalam fungsi dirumah atau komunitas secara amandiri dengan atau tampa alat bantu.
Intervensi NIC :
a.    Terapi aktivitas:memberi anjuran tentang dan aktivitas fisik, kognitif, sosial, dan spritual, yang spesifik untuk meningkatkan tentang, frekuensi, atau durasi aktivitas individu (atau kelompok)
b.    Menejemen energi: mengsur engunan energi untuk mengatasi atau mencegah kelelahan dan mengoptimalkan fungsi
c.    Menejemen lingkungan: memanipulasi lingkungan sekitr pasien untuk memperoleh manfaat terapeotik, sekimulasi sensorik, dan pesejahteraan psikilogis
d.    Terapi latian fisik: mobilitas sendi : menggunakan geakan tubuh aktif atau pasief umtuk memerthankan atau memperbaiki fleksi bilitas sendi.
e.    Terapai latian fisik: pengendalian otot: mengunakan aktivitas atau protokol latihan yang spesifik untuk meningkatkan atau memulihkan gerakan tubuh yang terkontrol
f.    Promosi latian fisik: latian kekuatan: mefasilitasi latian otot resistif secara rutin untuk mempertahankan dan meningkatkan kekuatan otot
g.    Bantuan pemeliharaan rumah: membantu apsien dan kluarga untuk menjaga rumah sebagai tempat tinggal yang besih,aman dan, menyenangkan
h.    Menejemen alam perasaan: memberi rasa keamanan, stabilitasi pemulihan, dan pemeliharaan pasien yang mengalami disfunsi alam perasaan baik depresi namun peningkatan alam perasaan
i.    Bantuan perawatan diri: membantu individu untuk melakukan AKS
j.    Bantuan perawtan diri aksi: membantu dan mengarahkan individu untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari hari instrumental (AKSI) yang diperlukan untuk berfungsi dirumah atu dikomunitas
Aktivitas keperawatan
a.    Pengkajian.
1)    Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri,ambulasi,dan melakukan aks dan aksi
2)    Kaji respon emosi,sosial,dan spiritual terhadap aktivitas
3)    Evaluasi motifasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktifitas
4)    Menejemen energi (NIC)
(a)    Tentukan penyebeb keletihan (misalnya,perawat,nyeri,dan pegobatan).
(b)    Pantau respon kardioresparitori terhadap aktivitas (misalnya, takikardia,disritmia lain lain,dispnea,diaforesis,pucat,tekanan hemodinamik,dan frekuensi pernapasan).
(c)    Pantau respon oksigen pasien (misalnya,denyut nadi,irama jantung, dan frekuensi pernapasan) terhadap aktivitas perawatan diri atau aktivitas keperawatan.
(d)    Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi yag adekuat.
(e)    Pantau dan dokumentasikan pola tidur pasien dan lamanya waktu tidur dalam jam
b.    Penyuluhan untuk pasien/keluarga
Instruksi kepada pasien dan keluarga dalam:
1)    Pengunaan teknik napas terkontrol selama aktivitas, jika perlu
2)    Mengenali tanda dan gejala intoleran aktivitas, termasuk kondisi yang perlu dilaporkan kepada dokter
3)    Pentingnya nutrisi yang baik
4)    Penggunaan peralatan,s eperti oksigen, selama aktivitas
5)    Penggunaan teknik relaksasi (misalnya, distraksi, visualisasi) selama aktivitas
6)    Dampak intoleran aktivitas terhadap tanggung jawab peran dalam keluarga dan tempat
7)    Tindakan untuk menghemat energi, sebagai contoh: menyimpan alat atau benda yang sering digunakan di tempat yang mudah di jangkau
8)    Menejemen energi (NIC)
(a)    Ajarkan kepada pasien dan orang terdekat tentang teknik perawatan diri yang akan meminimalkan konsumsi oksigen (misalnya,pemantaun mandiri dan teknik langkah untuk melakukan AKS)
(b)    Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik menejemen waktu untuk mencegah kelelahan
c.    Aktivitas kolaboratif
1)    Berikan pengobatan nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri merupakan salah satu faktor penyebab
2)    Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi,fisik (misalnaya, untuk latihan ketahanan), atau rekreasi untuk merecanakan dan mematau program aktivitas,jika perlu.
3)    Untuk pasien yang mengalami sakit jiwa, rujuk ke layanan kesehatan jiwa di rumah
4)    Rujuk pasien ke pelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan pelayanan bantuan perawatan rumah, jika perlu
5)    Rujuk pasien ke ahli gizi untuk pencernaan diet guna meningkatkan asupan makanan yang kaya energi
6)    Rujuk pasien ke pusat rehabilitas jantung jika keletihan berhubungan dengan penyakit jantung
d.    Aktivitas lain
1)    Hindari menjadwalkan pelaksaan aktivitas perawat selama periode istirahat
2)    Bantu pasien untuk mengubah posisi secar berkala, bersandar,duduk,berdiri,dan ambulasi, sesuai toleransi
3)    Pantau tanda tanda vital sebelum,selama,dan setelah aktivitas; hentikan aktivitas jika tanda tanda vital tidak dalam rentang normal bagi pasien atau jika anda tanda tanda bahwa aktivitas tidak dapat ditoleransi (misalnya, nyeri, dada, pucat, vertigo, dispnea)
4)    Rencanakan aktivitas bersama pasien dan keluarga yang meningkatkan kemandirian dan ketahanan,sebagai contoh:
(a)    Anjuran periode untuk istirahat dan aktivitas secara bergantian
(b)    Buat tujuan yang sederhana, realitas, dan dapat dicapai oleh pasien yang dapat meningkatkan kemandirian dan harga diri
5)    Manajemen energi (NIC)
(a)    Bantu pasien untuk mengidentifikasi pilihan aktivitas
(b)    Rencanakan aktivitas pada periode saat pasien memiliki energi paling banyak
(c)    Bantu dengan akttivitas fisik teratur misalnaya: ambulasi,  berpindah, mengubah posisi, dan perawatan personal), jika perlu
(d)    Batasi rangsangan lingkungan (seperti cahaya dan kebisingan)
(e)    Untuk mengfasilitasi relaksasi
(f)    Batu pasien untuk melakukan pemantauan mandiri denag membuat dokumentasi tertulis yang mencatat asupan kalori dan energi, jika perlu.

DAFTAR PUSTAKA
Risa Hermawati, Haris Candra Dewi.2014. Penyakit Jantung Koroner. Jakarta: Kandas media (Imprint agromedia pustaka).
Annisa dan anjar.Jurnal GASTER Vol. 10 No. 1 /Februari 2013
Judith.M.Wilkison dan Nancy.R.2013.Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed 9.Jakarta: EGC
Putra S, Panda L, Rotty. 2013. Profil penyakit jantung koroner. Manado: fakultas kedokteran.
Rochmayanti, 2011. Analis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan penyakit jantun koroner. Jakarta: fakultas ilmu keperawatan
A.Fauzi Yahya.2010.Penaklukan No.1: Mencegah dan mengatasi penyakit jantung koroner.Bandung:Qanita

Materi dalam format PDF klik link berikut askep pjk

Posted in Ilmu Keperawatan Gerontik | Leave a comment